CHAPTER 5

46 28 73
                                    

Sekolah meramai kala jarum jam nyaris menunjukkan pukul tujuh

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Sekolah meramai kala jarum jam nyaris menunjukkan pukul tujuh. Pemuda tinggi berkulit putih yang baru keluar dari ruang jurnalistik dengan tangan tersimpan di saku celana khas jurusan Bahasa di SMA Singgasana itu menatap ke depan. Kakinya sudah siap menaiki anak tangga penghubung lantai dua ke lantai tiga.

Namun, sebelum pemuda berambut hitam pekat itu mendaratkan sebelah kakinya ke anak tangga pertama, ada sosok yang menarik tangannya dari belakang dan membuatnya terperanjat. Dia menoleh guna melihat siapa pelakunya, dan mengembuskan napas singkat tanpa embel-embel tersenyum kala mengetahui sosok tersebut.

Dia Amara Selgiana. Teman sebangku sekaligus sahabatnya sejak mengenyam pendidikan SMP. “Gue dari tadi nyariin lo tahu nggak. Tas lo ada di kelas, tapi orangnya nggak ada. Eh, nggak tahunya lo di sini. Dari mana aja lo, Ar?”

“Ruang jurnalistik,” balas Arya singkat.

Amara berdecak. Pemuda itu benar-benar tidak bisa menghapus sifat dingin kepada lawan bicara. Mungkin sifat dingin Arya telah mendapat status permanen sehingga tidak bisa diotak-atik sama sekali. Amara jelas paham mengapa Arya bersikap demikian kepada semua orang.

Arya tidak banyak bicara lantaran tidak ingin menyakiti siapapun dengan perkataannya. Pada dasarnya, mulut adalah akar yang gampang membuat orang lain sakit hati. Jadi, Arya memilih bersikap dingin ketimbang menyakiti orang lain melalui perkataannya. Seperti istilah mulutmu harimaumu, Arya tidak ingin seperti itu.

“Ngapain lo di sana?”

“Apa gue perlu menjawab pertanyaan yang jawabannya udah diketahui oleh si penanya?” tanya Arya seformal mungkin alih-alih menjawab impulsif. Amara menggeleng. “Enggak, kan? Ya udah.”

“Ar, kenapa, sih, lo ngeyel banget dibilangin? Lo itu nggak boleh capek-capek. Lagian, pihak sekolah juga udah nyuruh lo buat nyerahin posisi publisis ke Luvita. Lo itu nggak boleh ca—”

Mengenggam kedua tangan Amara secara tiba-tiba membuat gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Kepekaan Amara terhadap Arya sangat tinggi sehingga sudah mengerti tanpa dijelaskan terlebih dahulu.

“Lo tahu gue, kan, Mar?” tanya Arya seraya menatap dalam netra Amara yang pada akhirnya membuat lawan bicara membeku. “Gue nggak bisa ngelepas tanggung jawab gitu aja.”

“Iya, gue tahu. Gue ngerti, tapi lo juga harus ngertiin diri lo juga dong. Selama ini, lo selalu mikirin orang lain, tapi sedikit pun lo nggak pernah mikirin diri lo sendiri. Ar, gue nggak pengin terjadi apa-apa sama lo—”

“Amara, please ... nggak usah berlebihan! Toh, sebentar lagi kita ujian, dan otomatis posisi publisis nggak akan menjadi tanggung jawab gue lagi, kan?”

KRISTINA [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin