"Baik, Pak." Pak Hadi beranjak dari tempat duduknya, sementara Hasiah, terlihat enggan untuk berdiri. Ia tertarik untuk mendengarkan percakapan selanjutnya. Akan tetapi, Pak Hadi memaksanya untuk pergi dari sana.

"Nduk ..." lirih Pak Hadi.

"Nggih Pak," balas Hasiah seiring dengan hembusan napas lewat mulut. Langkah mereka sedikit tergesa-gesa, Pak Hadi memaksa Hasiah untuk berjalan cepat, padahal gadis itu masih ingin menyimak percakapan antara sang kiai dan juga muridnya.

"Mad, aku harus bagaimana? Di sini atau kembali ke kamar sesuai perintah Kiai?" Tanya Ilham sedikit berbisik.

"Nurut saja, Ham. Lagipula, aku yakin kamu tidak mengerti, apa yang akan dikatakan beliau. Pergilah, sebentar lagi aku menyusulmu," jawab Ahmad tanpa mengalihkan pandangannya. Ia menatap lekat-lekat lelaki tua yang duduk sejajar dengan posisinya.

"Baik, Mad. Tapi, jangan lama-lama ya," ucap Ilham sembari berdiri, kemudian berjalan mendekati Kiai Sobirin, berpamitan dengan menjabat tangan dan mencium punggung tangan sang kiai.

"Istirahat ya, Ham. Cepatlah tidur," titah sang Kiai.

"Nggih, Pak Kiai." Balas Ilham. Selang beberapa menit, pemuda itu sudah tak terlihat lagi. Tersisa dua orang yang kini saling memandang satu sama lain.

"Tahukah kamu Mad, Ki Alif adalah dalang dari tragedi berdarah yang terjadi di desa. Saya memang sengaja, membuatmu mengingat setiap kejadian yang pernah terjadi di sana, imajinasimu sungguh luar biasa, saking hebatnya, kamu juga bisa menciptakan suasana yang baru, di mana Ilham ikut masuk ke dalam peristiwa yang kamu alami. Kamu itu bukan pemuda biasa, Mad. Kamu mempunyai kelainan. Saya ingin menyembuhkanmu, sebelum terlambat." Kiai Sobiri memulai percakapan, setelah sekian lama mereka saling diam.

"Setahu saya, bapak saya itu sudah meninggal. Lalu, mengapa Panjenengan begitu takut? Kalau benar, bapak adalah dalang dibalik peristiwa mengerikan itu, mengapa Panjenengan justru melampiaskannya kepada saya? Mala petaka apa yang terjadi, jika saya tidak ke desa itu?" Ahmad kembali bertanya.

"Apa kamu tidak takut, Mad. Jika Adiba benar-benar muncul secara nyata? Apa kamu yakin, ada manusia sehebat itu di dunia ini? Mala petaka yang saya maksud, adalah terulangnya kembali peristiwa berdarah itu, di saat kamu berhenti peduli." Jawab sang Kiai.

"Berhenti peduli, apa maksudnya?"

Kiai Sobirin kembali terdiam. "Maaf, Mad." Batinnya.

***

Dengan langkah sedikit tertatih, Ilham berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Letak kediaman Kiai Sobirin hanya berjarak beberapa meter dari asrama para santri. Sepanjang jalan, Ilham berusaha mencerna setiap kalimat yang diucapkan sang kiai. Tak sadar, langkahnya semakin menjauh, bukannya menuju kamar, melainkan menuju halaman belakang.

"Ham!" Sapa seseorang.

"Ah, ya!" Sahut Ilham menoleh ke arah orang yang menyapanya. Seketika, dahinya mengernyit. Tidak ada siapa pun di sana. Ilham mengedarkan pandangan, beberapa pohon dan rumput liar yang ia lihat. Siluet seseorang pun sama sekali tak ada.

"Aih, siapa yang memanggilku," batin Ilham sambil mengangkat peci hitamnya, kemudian menggaruk pelan kulit kepala yang gatal.

Ilham menggaruk kepala terus menerus. Ia merasa sensasi gatal yang luar biasa. Ia tak berhenti menggaruk-garuk.

"Eh ..." Ilham berhenti sejenak. Ada sesuatu yang menggeliat di sela-sela jarinya. Ia mengambil sesuatu tersebut, dan melihatnya dengan seksama.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now