09. Gue Tau Lo Pasti Bisa, Tapi..

5 0 0
                                    

Qila dan Zefa sudah berada di dalam mobil milik Zefa. Keduanya sepakat untuk pergi ke toko buku setelah kelas terakhir hari ini selesai.

"Qil..." panggil Zefa sambil memasang seatbelt.

"Ya?"

"Soal kejadian kemarin malem, gimana bisa lo ditolongin sama cowok? Lo kenal sama dia?" tanya Zefa, sontak Qila menoleh dan tersenyum kecil.

"Dia tetangga gue, Jorji namanya." jawab Qila.

"Terus?"

"Katanya dia gak sengaja ngeliat gue pergi pake baju kebuka terus dia ikutin gue." tutur Qila apa adanya.

"DIA MESUM?" pekik Zefa saat itu juga. Qila yang baru saja akan menyesap minum, jelas terkejut mendengar suara temannya itu. Alhasil air di botol yang ia genggam tumpah sedikit akibat hentakan tubuhnya.

"Kampret lo! Ngagetin aja sih."

Mendengar itu Zefa malah tertawa. Tangan kirinya membantu Qila mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka air yang tumpah. Keingin-tahuan sang supir pun belum berhenti sampai di situ.

"Motivasinya dia ngikutin lo apa?" tambah Zefa sambil berusaha untuk tetap fokus mengarahkan pandangannya ke jalan.

"Gak tau. Semuanya kejadian begitu aja. Kalo ditanya kenapa bisa, ya gue bingung mau jawab apa."

Sebenarnya masih ada rasa penasaran dalam diri Zefa soal sosok bernama Jorji itu, namun ia tersadar dan memilih untuk mengalihkan pembicaraannya agar teman di sampingnya itu tidak harus mengingat lagi kejadian naas kemarin malam.

Mereka tiba di toko buku yang ada di samping mall tak jauh dari kampus. Zefa memarkirkan mobilnya dekat dengan pintu masuk toko buku agar keduanya tidak perlu berjalan terlalu jauh ke dalam toko buku tersebut.

Setibanya di dalam, mereka berdua lalu berpencar ke arah rak buku yang berbeda.

Qila mengambil ponsel dari dalam tasnya yang baru saja berdering. Dengan segera ia menyentuh tombol hijau untuk menerima panggilan saat melihat nama kontak Ibunya yang terpampang di sana.

"Assalamu'alaikum sayang, gimana kabarnya Nak?" sapa Astari pertama kali. Qila berjalan ke ujung lorong rak buku agar mendapatkan suasana yang lebih tenang.

Gadis itu menarik sudut bibirnya, "Waalaikumsalam Bun, alhamdulillah Qila sehat."

"Bunda kangen banget sama Qila. Maafin bunda ya Nak." Suara ibunya berubah menjadi sedikit parau.

Ada rasa sakit yang terasa dari ucapan ibunya barusan. Hal itu membuat Qila terdiam. Setiap kali ia mendengarkan kata maaf dari ibunya, entah mengapa hatinya sakit bukan main.

"Bunda ngapain minta maaf emang lagi lebaran?" ledek Qila berusaha untuk tidak larut dalam suasana sendu.

Anak bungsu itu tahu betul kerinduan ibunya yang sangat besar. Tentu saja ia juga merasakan hal yang sama, sebagaimana perasaan seorang anak yang harus tinggal jauh dari orang tuanya.

Namun sampai saat ini, keadaan memaksanya untuk tetap tegar tiap kali dirinya berkeinginan pulang ke rumahnya. Tembok tinggi yang diciptakan oleh kakaknya sendiri membuat ia dan ibunya sulit berkomunikasi.

"Abang....."

Qila menghentikan kegiatannya. Dadanya sesak mendengar apa yang baru saja ibunya katakan. Jerian dipanggil ke kantor polisi karena terlibat perkelahian dengan sekelompok geng motor.

"Terus kondisi Bunda gimana? Baik-baik aja kan sama tante Risa?" Gadis itu tahu pasti kalau ibunya sedang tidak baik-baik saja. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Sialan! Anak laki-laki mana yang pantas berperilaku seperti ini? Terlebih ia adalah anak sulung yang mana sudah seharusnya menjadi pengganti sosok laki-laki seperti ayah. Sudah seharusnya ia menjadi pelindung bagi ibu dan adiknya setelah ayahnya meninggal dunia. Namun, kenyataan berkata lain. Jerian malah bertingkah lebih buruk dari sebelumnya.

Qila terpaku mendengar ibunya berkata kalau Jerian juga menjadi tukang mabuk akhir-akhir ini. Kepalanya mendadak dingin, menahan emosi yang rasanya akan meledak saat itu juga.

***

Qila mengambil beberapa potong pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas. Masa bodoh dengan Jerian yang akan seperti apa nantinya saat ia melihat wajah adiknya itu. Itupun kalau dia ada di rumah. Kali ini, Qila tidak bisa diam begitu saja mengetahui kondisi ibunya yang terancam.

Ingin sekali rasanya ia membawa ibunya pergi dari rumah, tapi ia sadar kalau dirinya hanyalah mahasiswa yang belum berpenghasilan. Bagaimana ia memenuhi kebutuhan ibunya kalau untuk diri sendiri saja masih sering kesulitan?

Dengan pikiran yang sedikit kalut, Qila memesan ojek online yang akan mengantarkannya ke rumah. Padahal sebelumnya Zefa sudah menawarkan diri untuk mengantar Qila, namun gadis itu menolaknya mentah-mentah karena takut merepotkan Zefa.

Belum ada 5 menit berlalu, suara motor sudah terdengar dari depan gerbang kos. Qila berpikiran itu pasti ojek online yang ia pesan. Setelah memastikan tidak ada sambungan elektronik dan gas yang masih menyala, Qila keluar kamar membawa tasnya yang berisikan pakaian.

"Lo mau kemana malem-malem?" tanya Jorji saat melihat Qila keluar dengan membawa sebuah tas ransel. Ternyata suara motor itu milik Jorji yang baru saja tiba dari kampus.

"Gu-gue mau pulang ke rumah." jawab Qila. Kini tatapan keduanya bertemu.

"Jangan bilang naik ojek online? Biar gue anterin."

Jorji yang sudah membuka kunci kamarnya mendadak menguncinya kembali dan berjalan menghampiri Qila.

Sial, kenapa jantung gadis itu mendadak berdebar cepat?

"Gue udah pesen ojol. Gapapa gue bisa sendiri kok." tutur Qila mencoba untuk tetap tenang melihat pria itu sudah semakin dekat dengan posisinya berdiri saat ini.

"Iya, gue tau lo pasti bisa. Tapi, ini udah malem." Mendengar itu, Qila langsung diam seribu bahasa.

Bersamaan dengan itu, datang sebuah motor yang sudah dipastikan bahwa itu adalah ojol pesanan Qila. Saat sang supir menoleh ke arah kos, Jorji sontak menghampiri pria yang mengemudikan motor matic itu.

"Pak, maaf pesanan atas nama Qila ya?" tanya Jorji sesampainya di sana. Qila masih terdiam melihat apa yang terjadi di depan matanya.

"Iya mas. Ke kampung Berlian kan?" jawab si Bapak supir.

"Ongkosnya berapa Pak?" tanya Jorji lagi.

....

Storm and Seaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن