+the decision+

202 24 1
                                    

☘☘☘

Waktu berjalan cepat, saat-saat bersama sang ayah mulai terbayang begitu saja kala peti mati mulai memasuki liang lahat.

Demi pencipta langit dan bumi, tak pernah lewat di pikirannya akan menyaksikan proses pemakaman sang ayah. Bella begitu menikmati waktu-waktunya bersama Bill sampai lupa sang ayah hanyalah manusia biasa.

Selepas pemakaman, seluruh pelayat yang mulanya memenuhi kediaman Rosalva mulai mengambil langkah pergi termasuk keluarga sang ayah yang memang selalu acuh tak acuh.
Keluarga dari ibunya apa lagi. Hubungan mereka terbilang rumit dan sialnya Bella baru merasakan impact dari ke-tidakharmonisan itu sekarang. Kala rasa kesepian memeluknya dalam gelapnya malam.

Bella terduduk menghadap jendela yang terbuka lebar. Salah satu kebiasaan gadis itu, memerhatikan sunyinya suasana luar. Deru angin terlihat bertiup cukup kencang, berhembus tak tertahan melalui tirai kemudian menyapu wajah sendunya.

Ah.. Jika sang ayah masih ada, Ia pasti sudah mengomeli Bella yang suka sekali menantang angin malam seperti ini.

"Papa-- Hiks! Maaf ya Bella nakal.."

Lagi, mata bengkak itu mengeluarkan cairan bening. Entah sudah berapa liter Bella menumpahkan air mata beberapa hari belakangan, tak terhitung.

Kalau saja, kalau saja Bella menahan sang ayah untuk tidak bepergian sebelumnya, mungkin dukanya kini hanyalah mimpi.

Kalau saja Bella tidak hanya menjadi gadis manja dan bisa mengambil alih separuh tugas sang ayah, mungkin penyakit tersebut tak menggerogoti tubuh Bill.

Bella hancur dan begitu larut dalam duka. Katakanlah Ia masih dalam fase tawar-menawar, berandai-andai akan sesuatu yang seharusnya Ia lakukan.

Perempuan muda itu masih begitu naif sampai tak berpikir dua kali akan akibat kematian sang ayah.

"Nona Bella.." Panggilan lembut bersama ketukan pintu itu berhasil mengalihkan atensinya.

Bella menggigit bibirnya kuat, menahan isak tangis yang bisa saja pecah kala Rosie -kepala pelayan- memilih membuka pintu kamarnya.

"Anda sama sekali belum menyentuh makanan, Nona."

Makan? Bagaimana Bella bisa makan, Ia bahkan sama sekali tak bernafsu. Bella memilih tak menggubris Rosie dan malah membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Bella menutup mata dan jatuh tertidur.

Dan seolah tau Bella masih membutuhkan waktu lebih, Rosie tak lagi mengusik Nona mudanya.

Pagi menjelang dengan suasana suram di kediaman Rosalva. Masih di tengah rasa duka yang kental semua pekerja menunaikan tugas dengan semestinya. Bagaimanapun kewajiban mereka melaksanakan tugas karena Bill sudah membayar mereka untuk satu tahun penuh. Dan lagi para pekerja terlebih pelayan merupakan pekerja yang sudah mengabdi bertahun-tahun, jadi perihal kesetiaan tidak perlu diragukan. Beberapa dari mereka bahkan masih terlihat menitikan air mata mengingat nasib Tuan mereka yang malang.

Hingga saat tengah hari, Bella belum juga keluar dari kamarnya membuat para pelayan mulai terlihat gelisah. Rasa khawatir kian tak terbendung, Rosie terlihat bergerak terlebih dahulu menuju pintu kamar Bella, namun baru sampai di ambang pintu, Alex terlebih dulu memberi perintah untuk pergi.

"Biar saya saja, anda bisa pergi."

Wanita yang sudah menginjak usia 50an itu terlihat ragu menatap Alex. Sisi terdalam hatinya masih meragukan pria gagah itu. Ditambah lagi pada saat pemakaman, batang hidung Alex sama sekali tak terlihat.

"Saya perlu berbicara dengan Nona Bella mengenai beberapa hal penting." Rosie menarik nafas dalam. Ia enggan tapi wanita itu memilih membiarkan Alex.

"Sepenting- pentingnya hal itu, tolong bujuk Nona untuk makan lebih dulu. Sebagai seseorang yang ditugaskan untuk menjaganya, kau tentu tidak ingin sesuatu terjadi pada Nona Bella 'kan?"

In The Palm Of His HandOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz