"Trey! Turun, gih. Lo nanti gatel-gatel yang repot Ibu!" Kalila berdecak pada Trey yang mulai menggaruk lengannya. Cowok itu turun perlahan-lahan.

Sementara Callahan langsung melompat dan mendarat di atas tanah berakar. Dia mengaduh, melompat-lompat sambil megang bagian bawah sepatunya. Senyumnya langsung terbit saat menghadap Kalila. Telunjuknya mengarah ke dirinya sendiri. "Gue! Gue!" Ekspresinya penuh harap. "Enggak lo omelin?"

"Apa, sih?" Kalila berdecak. Dia beralih pada Trey yang baru saja turun sambil meringis. Cowok itu berhenti di hadapan Kalila, lalu berbalik menyodorkan punggungnya yang terhalang kaos.

"Garukin bentar," pinta Trey.

Kalila memutar bola mata, tetapi tetap menggaruk punggung—tepatnya kaos—cowok itu.

Callahan tiba-tiba berbalik dan menyodorkan punggungnya juga. "Gue juga! Gue juga!"

Kalila berdecak. "Apa, sih. Lo enggak gue kenal."

Trey menoleh pada Kala dengan tatapan penuh kemenangan.

"Udah!" Kalila memukul punggung Trey.

Kala mengambil sebuah mangga yang berukuran paling besar. Tak mau kalah, Trey juga melakukan hal yang sama. Keduanya mendatangi Kalila dan masing-masing menyodorkan buah tersebut. Kalila menerimanya dengan senyum merekah. Tak mungkin dia menolak mangga harum manis. Akan dia simpan sampai matang di dalam kamarnya dengan baik.

"Thank you!" seru Kalila.

"Hei, hei, kalian bagi ke gue juga, dong!" seru Anggini. "Gue tadi yang usir anak-anak yang rebutan mangga kalian, loh!"

"Ambil aja kalau mau," balas Trey. Anggini langsung berlari ke arah kardus.

Sementara Callahan, cowok itu langsung mengambil buah mangga besar lainnya. Dia membawanya dan berhenti di depan Fritzi. "Nih, buat lo."

Kalila tak sadar tersenyum. Terutama karena Fritzi yang menerima mangga dari Callahan dengan malu-malu. Kalila merasa senang saja karena Fritzi tak lagi memperlihatkan ekspresi datar. Tapi, tunggu dulu, apa Callahan menganggap Kalila sebagai teman pertama makanya Kala menjadikannya prioritas pertama bukan Fritzi?

Itu memang lebih masuk akal daripada teori bahwa Kala menyukai Kalila karena di mata Kalila, Kala lebih tertarik pada Fritzi. Bukan padanya.

***

Siswa-siswi di kelas itu diperintahkan untuk belajar sendiri karena guru yang seharusnya mengisi waktu mengajar tak hadir ke sekolah. Siswa-siswi teladan akan menurut. Mereka duduk di bangku masing-masing dengan sebuah buku paket yang terbuka. Sementara siswa-siswi yang bersikap tak peduli akan berlari ke sana kemari sambil tertawa hingga ditegur ketua kelas, ada yang tidur dengan berbaring di lantai, ada yang tidur dalam posisi duduk di bangku masing-masing.

Setengah tahun lagi masa-masa SMA akan berakhir. Jiro akan meninggalkan momen-momen yang mungkin akan dia rindukan.

Dua kancing teratasnya sengaja dia buka hingga terlihat kaos oblong putih yang menjadi dalaman. Gerah. Tak ada AC di kelas ini. Hanya ada sedikit angin yang masuk melalui celah-celah jendela bagian atas yang terbuka. Cowok itu masih duduk di bangkunya. Baru saja dia terbangun karena barisan kedua yang berisik.

Bangku di sampingnya kosong. Ashana sedang di pojok belakang. Duduk bersila sembari membaca sebuah buku paket. Terkadang keningnya berkerut samar. Terkadang cewek itu menaikkan sebelah alisnya. Jiro memperhatikan dengan saksama. Tak dia sadari, muncul senyum samar-samar di wajah cowok itu.

"Lo serius banget," kata Jiro. Ashana langsung mendongak padanya. Cewek itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Ah, gue ganggu, ya?"

"Enggak, sih...." Ashana menggeleng pelan. Kembali cewek itu menunduk dan meremas ujung roknya. Ada bekas basah yang tercetak di rok abu-abunya.

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now