20

4 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۚ  وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ  وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ    وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
QS. Al-Baqarah[2]:216

"Benar dengan Abimanyu Ravendra dari Madrasah Aiyah Tarbiyatul Islam Soko Tuban?" tanya seorang wanita penjaga daftar hadir di depan kantor kementerian pendidikan.

"Benar, dengan saya sendiri." Ubay menyerahkan identitas dan beberapa berkas sebagai syarat pendaftaran.

Resepsionis tersebut tersenyum dan memeriksa kelengkapan berkas Ubay kemudian mempersilakannya untuk duduk. "Mohon ditunggu, ya, Kak. Olimpiade matematika susulan akan dilaksanakan sepuluh menit lagi!"

Ubay duduk di tempat yang telah disediakan sambil membaca kisi-kisi soal. Tidak ada keraguan dalam hatinya karena sudah memasrahkan segala hal kepada Allah. Ini bukanlah Abimanyu Ravendra yang penakut seperti dulu. Dia tidak lagi gemetar ketika melihat soal-soal karena sudah memberanikan diri untuk melawan ketakutan tersebut. Ubay sudah siap dengan berbagai macam persoalan yang ada karena dalam hatinya hanya ada Allah, sebaik-baiknya perencana.

"Bismillahhirrohmanirrohim," ucapnya ketika komputer di depannya mulai ada kata 'log in' itu berarti olimpiade sudah dimulai.

Waktu penyelesaian soal adalah 2x 60 menit untuk menjawab 50 soal pilihan ganda. Tangan Ubay begitu lihai memainkan pensil di atas kertas kemudian menjawab soal di komputer setelah menemukan hasil. Beberapa soal yang ada membuatnya mendesah karena belum sempat dipelajari. Persiapan selama enam bulan terakhir bahkan masih kurang matang untuknya. Soal-soal ini lebih sulit dari yang dibayangkan.

Dua jam berlalu sangat cepat, masih sisa 5 soal terakhir belum sempat dijawab tetapi hasil sudah harus dikumpulkan. Ubay mengacak tambut tebalnya frustrasi, ia merasa gagal kali ini. "Kenapa susah banget soalnya, astagfirullah. Mana gue lupa rumus lagi, aaarrrgghhh!" erangnya.

"Kenapa, Bay?" Pak Nadzir menghampiri tempat duduk Ubay.

Remaja laki-laki tersebut menunduk, "Lima soal tidak terjawab karena waktu habis, Pak."

"Nggak apa-apa, kamu sudah berusaha!"

***

Pengumuman hasil olimpiade telah keluar, tapi Ubay belum berkesempatan untuk mendapatkan juara. Dia perlu berjuang sekali lagi, kali ini bukan untuk siapapun kecuali dirinya sendiri. Ubay kembali aktif belajar hingga larut malam, mencoba mengotak atik soal yang belum terpecahkan saat lomba kemarin. Pukul dua belas malam, ia masih terjaga ditemani secangkir coklat panas di meja belajarnya.

Yuli mendapati hal tersebut hanya menggeleng, kebiasaan baru putranya sejak satu tahun terakhir memang belajar hingga lupa waktu. Dia bahkan tidak tahu alasan mengapa Ubay tidak punya rasa bosan ketika membaca, padahal dulu cowok itu selalu menghindar saat melihat lembar kerja siswa. Ubay yang beralasan mual, pusing, mulas, kini menjadi sosok yang berbeda. Bahkan buku berukuran tebal sudah menjadi sahabatnya. "Bang, istirahat dulu! Besok dilanjutkan lagi."

"Ibuk masih bangun? Apanya yang sakit? Nyerinya kambuh lagi, ya? Biar Ubay buatin—"

"Nggak usah, ibuk udah sembuh," Yuli melebarkan kedua tanyanya, "Lihat! Wes nggak ada yang sakit lagi, to?"

Ubay berdiri menghampiri ibunya, "Ibuk butuh sesuatu?"

"Ibuk mau kamu tidur sekarang!" pungkas Yuli berbalik akan kembali tidur di kamarnya.

Ubay mencegah kepergian sang ibu dengan meraih punggung tangan kanannya lalu dicim. "Do'ain Ubay, ya, Buk!"

"Tanpa kamu minta yo ibuk wes do'a setiap hari, Bang," balas Yuli berlagak sinis.

"Maksudnya nggak gitu, ibukku cantik," remaja laki-laki bertubuh gempal tersebut memeluk ibunya dari belakang. "Ubay mau ikut tes SMNPTN. Do'ain Ubay biar lolos dan bisa kuliah dengan beasiswa full."

Mata Yuli berbinar kemudian menarik sang putra agar berdiri di depannya. "Iya, dadio bocah seng pinter tapi jangan lupa akhlaknya dijaga. Ibuk sama bapak cuma bisa bantu do'a dari rumah, kamu harus semangat berjuang mencapai mimpi-mimpi kamu!"

"Siap komandan!" Ubay mengangkat tangan kanannya seperti sikap hormat.

"Itu hormat bukan siap," canda Yuli.

***

Hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri akan keluar hari ini. Survey yang dilakukan beberapa hari lalu dengan memfoto beberapa bagian rumah mungkin membuahkan hasil yang diharapkan. Beasiswa bisa datang selain dari prestasi karena dampak rumah kayu tempat tinggal Ubay pun kurang layak. Sebuah laptop sudah bertengger di meja depan Ubay. Laptop tersebut didapat dari sekolah sebagai fasilitas Ubay untuk belajar ketika akan mengikuti lomba-lomba akademik.

Disana ada Sukardi yang terus memutar tasbih sambil menatap layar laptop. Ubay pun tak henti melafalkan do'a dengan si kembar berada di pangkuannya. Sementara Yuli sedak melaksanakan sholat dhuha di dalam. Ia akan semakin cemas ketika melihat laptop, maka dari itu Yuli memilih untuk berdo'a setelah selesai sholat dhuha. "Allahumma sholli ala sayyidina muhammad."

Hasilnya sudah keluar, Ubay memeriksa nama dengan memasukkan beberapa kode kemudian terdiam.

"Gimana? Berhasil kan?" tanya Sukardi penuh harap.

"Abang, kalo ditanya bapak halus jawab!" Rafa menggoyangkan lengan sang kakak. Disusul oleh Fara yang ikut merengek agar Ubay mau bicara.

Cowok itu hanya diam, kemudian air matanya meleleh membasahi pipi.

"Rencana Allah lebih indah, Bay!" Sukardi menepuk punggung sang putra.

Bukannya memeluk ayahnya, Ubay justru mengangkat si kembar agar turun dari pangkuannya. Cowok itu langsung bersujud syukur di depan sang ayah. "Subhaanallaah wal hamdu lillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu Akbar."

"Ubay, kenapa, le?"

"UBAY LOLOS, UBAY LOLOS, PAK!!" serunya terlihat energic setelah melakukan sujud syukur. "Ubay diterima masuk PTN tanpa tes."

"Alkhamdulillah, Ya Rabb ... Alkhamdulillah." Sukardi ikut sujud syukur mendengar jawaban sang putra. Berita gembira ini harus tersebar di masyarakat.

Yuli keluar dari dalam kamar masih mengenakan mukena putih, "Lolos? Bang Ubay lolos? Putra kita kuliah, Pak?"

"Iya Buk, ini hasilnya!" antusias Sukardi mengangkat laptop yang terpajang nama Abimanyu Ravendra disana.

Yuli membekap mulut menahan haru, tangisnya pecah kemudian memeluk putra sulungnya. Lalu mencium pipi kanan, kiri, dan kening Ubay. "Alkhamdulillah ini balasan dari jerih payah kamu, Nak!"

Suasana haru bercampur kebahagiaan yang besar tercipta. Si kembar ikut kegirangan mendapati keluarganya yang begitu bahagia. Walaupun sebenarnya mereka pun belum sepenuhnya paham mengenai apa yang orang-orang itu bicarakan. "Yeay, yeayy!

Sukardi ikut meneteskan air mata sambil memeluk putra sulungnya. Dia benar-benar tidak menyangka, seorang Ubay yang selalu diragukan karena otaknya yang sedikit lambat ternyata bisa membawa orang tuanya menangis bangga. "Maafkan bapak karena selalu berusaha membuat harapanmu patah hanya karena kurang pandai, Le...."

"Maaf karena kurangnya dukungan bapak gara-gara keraguan itu! Kamu berhasil, kamu berhasil menunjukkan bahwa kamu bisa menjadi yang terbaik." Sukardi tersenyum menatap Ubay. Senyuman paling tulus dan menyimpan banyak kebahagiaan.

"Perjuangan kamu baru akan dimulai, buat bapak sama ibuk bangga, ya!" Yuli menepuk pundak Ubay dan kembali mendekapnya.

I'am Still Standingحيث تعيش القصص. اكتشف الآن