19

2 0 0
                                    

=> HAPPY READING! <=
.........

Seburuk-buruknya manusia, jangan pernah melakukan hal ini :
1. Meninggalkan sholat
2. Menjelekkan guru/pengajar kita
3. Menyakiti hati orang tua
4. Melupakan almamater madrasah
—Pesan Pak Zainuri—

Rasa sakit menyelimuti tubuh seorang siswa yang terbaring di atas brankar. Wajahnya pucat pasi hingga untuk bernafas saja terlalu sulit. Pandangan mata kabur, tapi pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Jika boleh memilih, lebih baik dirinya mati dan tidak merasakan apapun daripada harus berada dalam kesakitan seperti ini. Namun, takdir membuat Izar menelan rasa sakit untuk menyadari sesuatu.

Suara samar terdengar dari balik pintu IGD yang ditempatinya. Izar menebak bahwa itu adalah seorang dokter. "Dia kehabisan banyak darah, tapi kami harus melakukan tindakan operasi secepatnya."

"Golongan darah AB positif, stoknya sudah kosong, Dokter." Suara wanita menyusulnya.

Izar mendesis pelan sambil menutup mata. Di tengah rasa sakit yang melanda, Ubay berbicara dengan suara lantang menanggapi dokter tadi. "Saya, golongan darah saya AB."

"Baiklah, ikuti suster itu untuk memastikan kecocokannya!" pungkas sang dokter.

Di dalam ruangan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka berbicara, telinga Izar masih ditajamkan untuk mendengar. Ia menangkap satu suara, sepertinya itu Adam. "Ubay, tapi lo harus berangkat olimpiade sekarang juga."

Ubay melepaskan jaz olimpiade nasional berwarna hijaunya. Kemudian melempar benda itu kepada Adam. "Buat gue, keselamatan Izar jauh lebih penting."

"Tapi ini tentang almamater sekolah, kalo lo nggak hadir—"

"Tapi ini tentang nyawa seseorang, kalo gue hadir berarti sama aja dengan sengaja bunuh dia," potong Ubay menirukan gaya bahasa teman sekelasnya itu.

Adam bersikukuh dengan keinginannya karena tidak ingin mengambil resiko mengenai reputasi sekolah. "Bay, jangan keras kepala gini, dong!"

"Oh ya? Lo nggak ngizinin gue keras kepala tapi mau rubah gue jadi orang egois? Itu lebih kejam, bego!" sarkas Ubay menatap tajam bola mata Adam hingga nyali cowok itu menciut.

"Tapi—"

Tanpa mendengarkan apapun lagi, Ubay melenggang pergi meninggalkan ruang IGD menuju tempat transfusi darah. Izar termenung, rasa sakitnya diabaikan setelah mendengar pembelaan sang sahabat. Ia membuka mata melihat kondisi sekitar yang serba remang. Lalu, Izar mendongak menatap langit-langit rumah sakit sambil meneteskan air mata. "Ya Allah, gue udah jahat banget sama dia, tapi kenapa Ubay masih segitunya belain gue?"

Setelah mengatakan kalimat tersebut, rasa sakit di sekujur tubuh Izar terutama pada bagian kaki sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia meringis saat merasakan darah yang seolah sudah terkuras habis karena sejak tadi terus mengalir keluar. Tubuhnya semakin lemas dan sulit digerakkan, hingga pada akhirnya semua sudah gelap.

***

Suasana tetap saja hening walaupun beberapa orang berlalu lalang. Ada seorang anak kecil yang tangannya diinfus, lansia dengan kursi rodanya, bahkan tidak orang-orang sehat yang tubuhnya ikut memucat setelah mendapati kondisi kerabatnya. Ubay duduk di kirsi panjang dekat ruang operasi sambil mengamati gerak gerik mereka sejak tadi. Pikirannya mulai kacau karena panik, Ubay sangat ketakutan akan kehilangan sang sahabat.

Seseorang yang ditunggu akhirnya keluar dari ruang operasi dengan stetoskop mengganggu di lehernya. Ubay berdiri dan langsung menodong dokter itu menggunakan pertanyaan. "Bagaimana kondisi sahabat saya, Dokter?"

"Alkhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun," jawab sang dokter sambil tersenyum ramah. "Ini semua karena bantuan darah kamu, jika saja tidak ada donor tepat waktu mungkin pasien akan kehabisan darahnya."

"Alkhamdulillah, Ya Allah!" Ubay meraup wajah menggunakan telapak tangan sebagai bentuk rasa syukur. "Boleh saya masuk ke dalam, Dok?"

Dokter kembali menyunggingkan senyum, kali ini dia menepuk pelan pundak Ubay. "Tentu saja, tapi pasien masih dalam pengaruh obat jadi kesadarannya belum pulih sempurna."

"Terima kasih banyak, Dokter!" antusiasnya langsung masuk ke ruangan tempat Izar dirawat.

Pintu terbuka, aroma obat-obatan menyengat indra penciuman. Ruangan ini didominasi warna putih dengan elektrokardiograf serta banyaknya kabel bertengger di dekat brankar. Seorang remaja laki-laki bertubuh jakung terbaring lemah disana dengan nasal kanul di hidup dan kaki sebelah kiri dibalut perban. Kepalanya juga terdapat plester kecil untuk menutup luka.

Mata Izar mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk di matanya. Hal pertama yang dilihat adalah bayangan Ubay berdiri di sebelah brankar. "Bay ...."

"Nggak-nggak, lo baru selesai operasi, jadi jangan banyak gerak!" Remaja laki-laki bertubuh gempal tersebut mencegah Izar yang berusaha bangun dari tempatnya berbaring.

Mata Izar berkaca-kaca menatap bola mata kecoklatan teduh milik sang sahabat. Ia ingat betul mengenai kepedulian yang diberikan oleh Ubay hingga mengesampingkan olimpiadenya. Sebuah lomba yang selama ini didambakan dan ditunggu-tunggu. "Maafin gue, Bay. Gue sahabat yang buruk!"

"Jangan ngomong gitu, Zar! Lo sahabat terbaik yang pernah gue kenal," balas Ubay.

Izar memejamkan mata, bersamaan dengan itu air matanya meleleh. "Kenapa lo baik banget? Gue bahkan nggak pantes dapetin teman sebaik lo."

"Sssttt!" Ubay menempelkan telunjuknya di bibir pucat sang sahabat. "Nggak boleh ngomong gitu, gue udah maafin lo, kok. Dan satu lagi, nggak ada kata maaf dan terima kasih dalam persahabatan."

"Apa orang kayak gue bisa sahabatan lagi sama lo? Seharusnya lo marah sama gue...." lirih Izar.

Ubay menggeleng, "Gue nggak marah, sama sekali tidak. Izar, gue beruntung bisa ketemu sama orang kayak lo. Ada banyak pelajaran yang gue dapat dalam waktu singkat, thaks for everything!"

Izar ingin sekali memeluk Ubay dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Namun, tubuhnya masih sulit digerakkan hingga ia memilih untuk menggenggam tangan sahabatnya. "Terima kasih banyak, Abimanyu Ravendra. Maafin gue karena belum bisa jadi sahabat yang baik."

"Istirahat, ya! Gue harus kembali ke sekolah untuk minta maaf karena menunda pemberangkatan olimpiade. Mereka semua pasti kecewa," pamit Ubay.

"Maaf, maaf, maaf, ini semua gara-gara gue. Andai aja waktu itu gue nggak—"

"Nggak boleh bilang gitu, semua terjadi atas kehendak Allah, oke!" Remaja berambut tebal tersebut menepuk pundak Izar pelan. "Gue pergi dulu, jaga diri baik-baik!"

***

Ubay menunduk malu setelah kembali ke sekolah dimana banyak orang menatapnya dengan penuh kekecewaan. Semua ini diluar kendali, jelas ada penyesalan dalam hatinya karena telah melewatkan kesempatan olimpiade matematika tingkat nasional yang selama ini ditunggu banyak orang. Kesempatan untuk mengharumkan nama madrasah telah berlalu begitu saja. Orang pertama yang akan ditemui adalah Pak Nadzir, beliau pasti juga merasa sangat kecewa.

"Assalamualaikum, Pak!"

"Ubay, bagaimana keadaan Izar?" tanya Pak Nadzir menyambut kedatangannya dengan ramah. Tidak ada raut kekecewaan terpancar di wajah beliau.

Ubay menunduk, "Operasinya berjalan lancar, Pak. Maafkan saya karena sudah mengecewakan."

"Tidak tidak, kamu tidak mengecewakan siapapun. Justru saya merasa sangat bangga atas apa yang kamu lakukan." Senyuman Pak Nadzir merekah sempurna.

Cowok berseragam putih abu-abu tersebut merasa heran, bagaimana mungkin Pak Nadzir bisa menerima ini dengan mudah? "Tapi bagaimana dengan olimpiade itu, Pak?"

"Karena kebaikan yang telah kamu lakukan, Allah membalas segalanya dengan setimpal. Olimpiade susulan akan diadakan besok, sekolah kita berhasil mendapatkan keringanan."

Ada sebuah kelegaan besar dalam hati Ubay, berita itu sukses membuatnya antusias. "Alkhamdulillah, Allah maha baik!"

I'am Still StandingOnde as histórias ganham vida. Descobre agora