"Lagi bahas apa?" Ubay yang baru datang ikut bergabung di meja mereka.

"Dih, sok polos," bisik Adam kepada Idris.

Ubay bisa mendengarkan bisikan itu, tapi dia mencoba tetap tersenyum menghadapi mereka. Sesuatu yang aneh telah terjadi disini. Padahal dia hanya ingin mengisi perut setelah selesai mengerjakan soal matematika di halaman terakhir.

"Ngapain lo kesini, nggak belajar? Nanti rangkingnya turun, loh," sindir Idris.

Ubay berusaha mencerna kalimat pedas yang didengar. Dia pikir itu hanya sebatas gurauan saja. "Maksud kalian apa, ya?"

"Sok alim, najis," sarkas Izar meninggalkan meja mereka disusul oleh yang lainnya. Cowok itu tersenyum penuh kemenangan setelah berhasil meninggalkan Ubay, kini tidak ada lagi yang mau berteman dengannya. —gue akan buat lo kesepian lagi, Abimanyu Ravendra.

***

"ABANG PULANG!!!" Sepanjang perjalanan Ubay mengangkat tinggi piala pertamanya untuk ditunjukkan kepada semua orang. Dia begitu gembira bisa mendapatkan benda berwarna emas tersebut. "Bapak, Ibuk, adek, lihat piala abang!"

Karena teriakan yang begitu kencang, tetangganya berdatangan ingin memeriksa apa yang sedang terjadi kepada Ubay. Mereka melihat piala itu dengan berbagai macam tatapan. "Halah, gini doang kok heboh."

"Iya, anak saya punya lebih banyak. Kamu baru dapat satu aja teriak-teriak, norak banget!" cibir ibu-ibu yang kebetulan sedang berada di depan rumah.

Beberapa orang datang lagi mengerumuni Ubay karena penasaran. Namun, bukannya memberi apresiasi, mereka justru mengucapkan kalimat pedas. "Kamu curang, ya?"

"Astagfirullah, kenapa ibuk bisa bilang gitu? Ini hasil kerja keras Bang Ubay sendiri. Saya sering melihat dia belajar sampai larut malam bahkan ketiduran di atas tumpukan buku." Yuli membela putra sulungnya karena memang dia sangat paham bagaimana jerih payah Ubay selama ini.

Salah satu wanita disana memincingkan mata, "Ya pasti dibela, dong, Buk. Namanya juga anak sendiri, ya nggak?"

Terhitung lima wanita yang lainnya mengangguk mengiyakan ucapan orang itu. "Bener banget, baru aja kemarin dia dapat rangking terakhir di kelas, masak iya sekarang bisa juara kabupaten."

"Yaudahlah ibuk-ibuk, kita pergi aja! Buang-buang waktu ngladenin orang sombong."

Ubay mencengkram kuat-kuat piala ditangannya. Bukan seperti ini yang diharapkan. Dunia terasa begitu kejam dan tidak adil, bagaimana bisa sebuah perjuangan besar dinilai rendah? Apakah Ubay memang tampak seburuk itu hingga prestasinya saja sulit diterima masyarakat?

"Sudah, jangan dipikirkan!" hibur Sukardi membawa masuk putranya.

"Bang, Lafa kalo uda gede juga bisa dapet itu. Malah buuuanyaakk!" Rafa membuka kedua tangannya lebar seolah menggambarkan sesuatu yang berjumlah sangat banyak.

"Tapi Rafa harus bisa ngomong 'er' dulu, ya nggak, Bang?" ejek Fara menbolak balikkan piala Ubay yang sedang dipegang.

Ubay hanya tersenyum menanggapi kepolosan adik-adiknya. Ucapan ibu-ibu tadi masih memenuhi kepalanya sehingga tidak berselera melakukan apapun.

"Abaang ...." rengek si kembar merasa tidak dipedulikan.

Cowok bertubuh gempal tersebut terkesiap, "Eh, i—iya."

"Apanya yang iya?" si kembar merasa geram.

"Iya, Fara cantik dan Rafa ganteng!" bujuk Ubay menoel hidung mungil mereka secara bergantian.

Yuli datang dari dapur membawa sebuah kantung plastik transparan besar lalu menyodorkannya kepada sang putra. "Pialanya bungkus ini biar nggak berdebu!"

Ubay menerima plastik tersebut lalu mengambil piala dari tangan Fara dan membungkusnya dengan hati-hati.

"Apa Ubay terlalu sombong?" tanyanya tiba-tiba. "Padahal Ubay gini karena seneng banget akhirnya bisa dapat piala. Itu berlebihan, ya?" lirihnya lagi.

Yuli dan Sukardi saling bertatapan, "Itu wajar, Le," ucap mereka serempak.

Sukardi menepuk bahu putra sulungnya, "Mempedulikan ucapan orang lain itu cuma nyikso batinem tok. Sekarang lakukan opo wae sing terbaik menurut kata hatimu. Mereka bisanya ngomong tanpa melihat seberapa keras perjuanganmu."

"Bapak bener, kalo abang berjuang nggak usah mikir wong liyo. Nek sampeyan kalah gara-gara ucapan mereka, itu tandanya abang nyerah di tengah jalan. Orang lain mung iso melihat lalu menyimpulkan sak penake dewe, jadi nggak ada gunanya peduli sama ucapan mereka," tutur Yuli.

Ubay rasa perkataan orang tuanya benar. Kesimpulan yang diambil orang-orang tidak begitu penting, karena itu hanya akan menyusahkan perjalanan kita. Jadi, Ubay memilih diam, dia berani maju berarti harus bisa melewati segala rintangan yang ada. Terutama cibiran orang-orang.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now