XI

13 0 0
                                    

XI. Perjumpaan Tak Terduga

Acara Kumpul Suka-Suka berlangsung meriah. Peserta dari berbagai fakultas berkumpul jadi satu. Walau hanya kurang lebih lima puluh orang yang hadir, klub baca dan bersantai itu dipenuhi kehangatan. Mahasiswa-mahasiswi yang sebelumnya tidak Aura kenal menyapa gadis itu ramah, lalu mengajaknya mengobrol tentang apa saja hingga menemukan kesamaan ketertarikan. Name tag warna-warni yang dibagikan panitia makin mempermudah perkenalan. Sebentar saja, semua orang sudah berbaur akrab.

Aura berjumpa mahasiswi farmasi yang berjualan tote bag hasil lukisan sendiri untuk tambahan uang saku (dalam hati, ia merasa mahasiswi itu harusnya masuk jurusan DKV saja), mahasiswa psikologi yang mengajar anak-anak jalanan di akhir pekan (Aura kagum, tetapi yakin ia tak bakalan sabar menghadapi dua lusin anak-anak yang ribut dan lincah), serta mahasiswi ekonomi yang gemar membaca buku-buku kiri (Aura yakin mahasiswi ini sering berdebat melawan para dosen di kelas).

Selama ini, Aura mengira dirinya membosankan dan tidak menarik. Apa uniknya mahasiswi biologi yang sehari-hari hanya kuliah, praktikum, dan rapat kepanitiaan? Mahasiswi yang waktu luangnya dihabiskan dengan menelusuri media sosial atau menonton drama Korea, dan yang buku bacaannya terbatas pada novel-novel young adult yang sedang populer? Namun, di luar dugaannya, orang-orang menyukai kisah kesehariannya. Pun tidak ada yang menganggap remeh novel setebal kurang dari dua ratus lima puluh halaman yang ia bawa, meski mayoritas peserta sudah akrab dengan bacaan sastra dan filsafat yang serba berat.

"Aura, sini! Kenalan sama teman-temanku," panggil Lukas dari sudut ruangan. Pemuda itu sedang berbincang dengan tiga mahasiswa sebaya. Gadis itu meletakkan piring kue yang sudah kosong, lalu berjalan ke samping Lukas. Tanpa dikomando, ketiga pemuda pun langsung ramai menggoda sang calon dokter.

"Wah, tumben bawa cewek, Kas. Setelah sekian lama, akhirnya punya gandengan juga kamu, ya!" Pemuda gemuk berkacamata terkekeh. Fabian, Teknik Informatika 2022, demikian info yang tertera di name tag. Aura terkenang akan masa-masa orientasi, tatkala name tag jadi satu-satunya andalannya untuk mengenali warga kampus yang lain.

"Um, kita teman SD, kok," sahut Aura buru-buru. Ia melirik untuk mengetahui reaksi Lukas. Syukurlah, pemuda itu kelihatan tenang. Sungguh menyebalkan bagaimana masyarakat sulit memahami bahwa dua insan berlainan jenis kelamin bisa berteman biasa saja. Andai mereka jatuh cinta di lain hari, bahkan andai mereka memutuskan untuk menikah, itu urusan nanti. Sekarang, Aura masih betah sendiri. Tak sanggup ia kembali patah hati jika ternyata semuanya tak berjalan lancar.

"Benar, kita teman SD." Lukas terkekeh. "Ra, kenalin Fabian, Ilham, dan Reza. Kami berempat dulu satu grup waktu acara diklat mahasiswa baru. Eh, ternyata malah keterusan main bareng sampai sekarang."

"Ah, ya. Kenalin, aku Aura dari fakultas MIPA," ucap si gadis dengan canggung. "Kalian sudah lama gabung di klub ini?"

"Wah, dari semester satu. Aku yang menyeret tiga orang ini ke sini!" Pemuda berambut cepak berjuluk Ilham Saputra tersenyum lebar. "Sebagai anak muda, kita perlu banget meningkatkan kesadaran literasi, kan?"

"Halah, bilang saja kalau kamu mau ngedeketin Febri! Pakai sok-sokan bilang mau meningkatkan kesadaran literasi segala!" Pemuda jangkung berambut keriting, yang bernama Reza, menjitak kepala kawannya penuh canda. Tawa pun pecah di antara keempat lelaki itu, sampai Ilham mendadak buru-buru meletakkan telunjuk di depan bibir sambil mendesis nyaring.

"Sudah, oi, sudah! Febri ke sini, tuh!" desisnya. Dari meja santapan, seorang gadis ayu mendekat. Kaki jenjangnya terbalut celana kain berpotongan lebar, sedang tubuh bagian atasnya tertutup kemeja longgar dan cardigan rajut berpola bunga. Sekilas memori melintas dalam benak Aura. Gadis itu sering muncul dari dalam kelas-kelas Aidan. Pun sorot mata gadis itu seolah mengenalinya.

"Lagi ngomongin aku, ya?" Suara merdunya melempar tanya. "Dasar cowok, dari dulu nggak pernah capek ngomongin cewek. Ngomong-ngomong, ini bukannya pacarnya Aidan, ya? Kok tumben ada di sini?"

"Kalian saling kenal? Aku yang ngajakin Aura," sahut Lukas bingung. Pemuda itu melirik Aura, dan Aura membalasnya dengan mengangkat bahu. Ada lebih dari seratus orang dalam satu angkatan program sarjana hukum. Tentu mustahil Aura mengenal seluruh kawan seangkatan Aidan.

"Yah, dibilang kenal juga nggak, sih." Febri menyibakkan rambut panjangnya ke balik punggung. "Tapi aku sering lihat dia kumpul sama Aidan. Sudah lama aku pengen ngajak dia bicara, tapi aku selalu nggak menemukan kesempatan yang tepat. Aku ngerasa Aidan terlalu banyak nyembunyiin masa lalunya, dan ada satu hal penting yang kurasa perlu diketahui Aura. Setidaknya supaya Aura nggak merasa Aidan adalah buaya brengsek yang suka ghosting orang seenaknya."

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Where stories live. Discover now