III

7 0 0
                                    

III. Orang Asing dan Secangkir Teh

Kejora Café and Eatery senantiasa dipenuhi pengunjung. Baik ketika mentari bersinar, maupun saat mentari telah pergi untuk terbit di belahan bumi yang lain, selalu ada mahasiswa-mahasiswi Universitas Angkasa di dalam dinding-dinding kacanya. Pagi hari setelah genap seminggu Aidan pergi, barulah Aura menginjakkan kaki kembali ke tempat itu.

Satu set meja dan sepasang kursi rotan di samping pohon palem merah masih kosong melompong, seolah menunggu hingga para pengunjung setia kembali untuk menduduki mereka.  Selama dua tahun terakhir, Aura dan Aidan sudah mengklaim tempat itu sebagai milik mereka. Kini, setelah ia sendiri, Aura ragu dirinya masih layak menempati sudut tersebut. Maka, ia pilih sebuah kursi tinggi, menghadap meja panjang yang menggantung dari dinding, bersama para pengunjung tunggal lainnya.

"Tumben sendirian, Mbak?" sapa Leoni, mahasiswi psikologi semester tiga yang setahun terakhir bekerja paruh waktu di kafe tersebut.

"Aku sama Aidan udahan, Ni." Aura memaksa diri untuk tersenyum. Leoni sudah seperti saksi bisu perjalanan cinta mereka. Gadis pendiam itu tahu bagaimana cara meracik cappucino yang tidak terlalu manis, tetapi juga tidak terlalu pahit untuk lidah Aidan. Ia juga hapal bahwa Aura selalu meminum teh hitam dengan oat milk dan madu, alih-alih susu dan boba. Meski mereka jarang saling bicara, ada kesepahaman bisu antara Aura dan Leoni, yang seringkali mereka sampaikan hanya berbekal ekspresi wajah dan gestur tubuh.

"Ah." Kilatan sendu muncul di mata Leoni. Aura mengartikannya sebagai tanda simpati. Apakah kamu mau bicara soal itu, atau haruskah aku meninggalkanmu sendirian? Lebih lanjut, demikianlah Aura menafsir bahu terangkat dan gerak kepala sang pelayan. Gadis itu mengangguk, mempersilakan Leoni ke belakang mengantar kertas pesanan. Mahasiswi psikologi bertubuh jangkung itu kembali lima menit kemudian sambil membawa pesanan Aura dan telinga untuk mendengarkan.

"Memangnya kalian ada masalah apa?" tanya Leoni.

"Nggak tahu, Ni. Sebulan yang lalu kita masih baik-baik saja. Tapi, sekitar dua minggu lalu, setelah Aidan kembali dari mudik, dia mulai berubah. Dia jadi lebih pendiam. Kadang-kadang dia melamun kayak mikirin sesuatu, tapi aku nggak tahu apa yang mengganggu pikirannya. Tahu-tahu dua hari lalu dia bilang kalau kami sebaiknya udahan saja. Aku nggak ngerti ada apa dengan dia. For whatever reason, he just thought that our relationship won't be feasible in the long run." Aura menyesap tehnya lamat-lamat. Matanya menerawang, memandangi daun pohon palem yang melambai-lambai pelan tertiup angin. Teh terasa hambar di lidahnya tanpa kehadiran Aidan. Sulit sekali lehernya menelan cairan berwarna cokelat susu itu.

"Jadi dia sama sekali nggak kasih kamu penjelasan apa-apa?"

"Nggak, Ni." Aura menggeleng pelan. "Kosnya sudah kosong. Nomor hapenya nggak aktif.  Tadi pagi, baru aku tahu kalau dia sudah mengundurkan diri dari kampus. Aku nggak punya nomor telepon keluarganya. Aku juga nggak kenal teman-temannya. Kami memang memutuskan untuk saling menghargai privasi masing-masing, termasuk soal hubungan pertemanan, tapi kuharap dulu aku berusaha supaya lebih dekat dengan sahabat-sahabatnya."

"Kabur? Jujur, aku nggak pernah membayangkan Aidan kabur." Leoni mengangkat alis. "Dia kelihatannya bertanggung jawab. Kami pernah satu kepanitiaan bersama waktu acara dies natalis universitas tahun lalu. Biarpun aku bisa melihat kalau cowok itu memang orang introver, sih. Dia jarang bicara soal hal-hal di luar kerjaan."

"Bahkan padaku dia tetap menjaga jarak." Aura mulai memutar-mutar cangkirnya. Kuku panjangnya menimbulkan suara tik tik pelan pada dinding cangkir porselen berwarna putih gading itu. "Dia hampir nggak pernah cerita soal keluarganya. Itu pun harus aku yang tanya duluan. Apalagi soal masa lalunya. Aku nggak tahu dia alumni SMA mana. Aku nggak tahu apa dia pernah punya hewan peliharaan waktu kecil. Aku tahu dia punya dua adik, tapi aku nggak tahu sekarang adik-adiknya kelas berapa. Aku tahu orang tuanya punya toko bangunan di Pontianak, tapi aku nggak tahu seperti apa rupa tokonya. Nama tokonya pun aku nggak tahu. Sekarang, baru aku sadar kalau aku dan dia hampir seperti orang asing saja."

Aura tidak pernah tahu seberapa dalam pasangan pada umumnya mengenal seluk beluk satu sama lain. Aidan adalah pengalaman pertamanya, sekaligus yang ia harapkan menjadi pengalaman terakhir. Ketika ia melihat bahwa Aidan tidak nyaman membicarakan hal-hal pribadi, ia berusaha maklum dan berhenti bertanya. Ia sendiri telah bercerita banyak hal pada sang pemuda. Sudah beberapa kali Aidan berbicara dengan orang tua Aura lewat panggilan video, meski gadis itu belum berani membawa sang kekasih pulang bersama ke kampung halamannya di Madiun. Telinga Aidan sudah mendengar pengalaman-pengalaman absurd dan memalukan Aura waktu kecil. Sebagian besar belum pernah Aura ceritakan pada orang lain.

Pengunjung-pengunjung lain berdatangan ke kafe. Leoni pergi melayani mereka Kini, sembari duduk berteman sepi, Aura mulai mempertanyakan relasi yang ia miliki. Barangkali selama ini ialah yang terlalu berpikir muluk-muluk. Barangkali selama ini ialah yang kelewat serius, sedang Aidan hanya bersenang-senang belaka.

Sialan, kadang nasib memang suka bercanda, sedang hati suka bertindak dungu.

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Where stories live. Discover now