IV

3 0 0
                                    

IV. Berbeda tapi Sama

Namanya Samuel Siahaan.

Setahu Aura, pemuda bertubuh tinggi besar dari jurusan hukum itu adalah salah satu dari segelintir insan yang mampu memperoleh kepercayaan dari seorang Aidan Devandra. Aura sendiri nyaris tidak pernah bicara dengan pemuda itu. Hanya sekali mereka pernah berbincang, yaitu saat Aidan memperkenalkan mereka berdua pada satu sama lain. Namun, demi mengetahui kabar Aidan, Aura rela mengesampingkan rasa canggung untuk mengajak pemuda itu berbincang.

"Kamu yakin mau bicara sama dia? Menurutku ini ide buruk, Ra. Siapa tahu kamu malah lebih sakit hati kalau terus menerus berusaha mencari kebenaran." Kartika berbisik di telinga Aura. Tatkala mendengar bahwa sahabatnya akan mencari tahu kabar Aidan lewat orang-orang yang dekat dengan pemuda itu, Kartika berusaha keras mengubah pikiran Aura. Apa daya, bila Aura sudah bertekad bulat, hujan badai pun takkan menggoyahkan keputusannya. Oleh karena itu, walau dengan berat hati, Kartika pun menemani sang sahabat.

"Aku harus, Kar. I need to know what really happened to Aidan. Andai dia ada cewek lain, atau orang tuannya ternyata nggak merestui hubungan kami dan menyuruh Aidan memutuskan hubungan, aku nggak bakal sakit hati. Yang pasti, aku nggak mau hubungan kami berakhir tanpa kepastian kayak gini," jawab Aura sungguh-sungguh.

Kedua gadis itu berdiri di depan gedung HA sambil menunggu sesi moot court berakhir. Dari cerita Aidan, Aura selalu menganggap kelas itu sebagai kelas praktikum bagi anak hukum. Memang pasti isinya berbeda jauh, tetapi Aura mengasosiasikannya seperti kelas praktikum yang rutin ia kerjakan di laboratorium mikrobiologi. Satu lagi usahanya untuk menghubungkan diri dengan Aidan, meski ia tahu dunia keilmuan mereka bagai bumi dan langit.

"Hei, kamu pernah kepikiran, nggak, kalau sebenarnya kita sama-sama belajar hukum? Bedanya, aku mempelajari hukum manusia, sedangkan kamu mempelajari hukum alam."

Demikian suatu kali Aidan pernah bertutur. Aura masih ingat bahwa hari itu adalah kencan kedua mereka setelah jadian. Mereka mencoba warung sate ayam yang baru buka di depan kampus. Agak overrated menurut Aura, tetapi sangat enak menurut Aidan. Terlepas dari perbedaan pendapat mereka soal sate itu, Aura percaya bahwa hari itu adalah salah satu kencan yang akan ia kenang sepanjang sisa hidupnya.

"Wah, kamu harus tahu kalau aku belajar supaya bisa melanggar hukum." Aura mengenang kembali jawabannya waktu itu. "Mulai semester tiga, aku mengambil peminatan bioteknologi. Para ahli bioteknologi belajar supaya dapat memanipulasi fungsi-fungsi alamiah untuk kepentingan manusia. Menurutku itu keren. Di luar negeri, ada yang bisa mengubah virus menjadi sarana untuk membunuh sel kanker. Ada juga yang bisa memodifikasi gen bakteri supaya bakteri itu bisa memproduksi obat bagi manusia. Bukankah mengambil sesuatu yang mematikan, lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang bermanfaat, adalah sebuah pencapaian besar bagi umat manusia?"

"Ceritakan lebih jauh. Aku suka kalau kamu bicara soal hal-hal yang kamu sukai seperti itu." Sekonyong-konyong, Aidan tersenyum. Senyum paling manis yang pernah Aura ingat. Masih terpatri jelas dalam memorinya bagaimana sinar mentari sore yang keemasan menerpa lekuk wajah sang pemuda. Masih ia ingat betapa iris mata cokelat tua pemuda itu berbinar bagaikan madu di bawah sinar mentari. Masih ia ingat deretan gigi putih yang malu-malu menyembul di antara lekuk bibir pemuda itu.

Aku merindukanmu. Aura menggigit bibir, berusaha menenggelamkan emosi yang tahu-tahu menyeruak. Kaca-kaca di pintu ruang moot court dilapisi film gelap. Aura tidak bisa melihat kegiatan di dalam. Namun, dari suara obrolan dan bunyi kursi-kursi digeser, ia yakin Samuel sebentar lagi keluar. Gadis itu menarik napas panjang. Ia atur raut muka agar kelihatan tenang. Ia tak mau tampak bagaikan perempuan gila yang putus asa mengejar-ngejar pria.

Tepat pukul setengah dua, para mahasiswa hukum keluar. Si pemuda jangkung berkulit sawo matang menonjol di antara kerumunan itu. Ditemani Kartika, Aura segera mendekat. Sejenak ia menelan ludah, gugup akan sapaan yang hendak ia lontarkan.

Ah sudahlah. Entah dia mengingatku atau tidak, aku toh tetap harus bicara.

"Anu, permisi, Samuel!" Aura berseru menggunakan suara paling percaya diri yang ia mampu keluarkan. "Kamu temannya Aidan, kan? Masih ingat aku? Aku Aura, pacarnya Aidan. Boleh aku tanya-tanya sebentar?"

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum