VI

9 0 0
                                    

VI. Fragmen-Fragmen Tertinggal

Kos putra berpagar biru itu masih kokoh berdiri. Tahun lalu, pagarnya hitam. Tahun sebelumnya lagi, pagarnya cokelat. Entah mengapa pemilik kos gemar betul mewarnai pagar tersebut. Mungkin karena keseringan diserempet motor mahasiswa yang pulang terlalu malam, atau memang sang pemilik acap bosan dengan warna yang itu-itu saja.

Aura belum pernah masuk lebih dalam dari berandanya. Bapak pemilik kos memang ketat menjaga ketertiban para pemuda tanggung yang menyewa kamar di sana. Termasuk, tidak boleh membawa tamu perempuan masuk ke dalam rumah. Biasanya, bila Aidan yang meminta untuk bertemu, Aura akan menelepon pemuda itu setelah sampai di depan pagar. Setelah Aidan keluar, mereka akan berjalan kaki menuju salah satu tempat makan di sekitar kampus. Atau, bila sedang ingin tamasya lebih jauh, Aidan akan memboncengnya dengan motor merah menyala yang spionnya retak sebelah.

Sial, Aura baru ingat kalau ia tidak lagi punya sosok untuk ditunggu di depan pagar setinggi dada itu.

Pukul lima sore, bapak pemilik kos keluar untuk menyirami tanaman di halaman depan. Tidak lupa sambil bersiul menggoda dua ekor burung jalak yang digantung dalam sepasang sangkar di plafon teras. Pak Suyitno namanya, berusia lima puluh tahun, sudah bercerai dengan istrinya, dan tinggal di lantai satu rumah besar bertingkat tiga itu. Aura segera masuk dan menyapa.

"Wah, Mbak Aura ternyata. Cari siapa, Mbak?" Pak Suyitno bertanya ramah.

"Hehe, sudah lama saya nggak ke sini, Pak, sejak Aidan pindah. Bapak sehat-sehat, kan?"

"Syukurlah sehat, Mbak. Aidan sendiri gimana kabarnya sekarang? Bapak dengar dia pulang ke Pontianak. Jarang Bapak punya anak kos yang kayak Aidan itu. Cowok, tapi rajin bersih-bersih rumah." Pak Suyitno mematikan keran. Air menetes-netes dari ujung selang ke permukaan daun keladi warna-warni. Aura tersenyum kecil mengingat betapa Aidan memang cinta kebersihan. Bahkan di hari-hari tersibuk, pakaiannya selalu rapi dan tubuhnya selalu wangi.

Calon pengacara memang harus rapi, Ra. Mana mungkin aku meyakinkan orang lain kalau jaga penampilan diri sendiri saja aku nggak bisa?

"Saya juga kurang tahu, Pak. Kami sudah nggak pernah kontakan lagi setelah Aidan pergi." Aura menjawab lirih. "Aku bahkan baru tahu hari ini kalau dia ternyata sudah pulang ke kotanya."

"Yah, waktu Aidan pindah, Bapak sudah tanya kenapa dia buru-buru berangkat. Katanya dia mau ngejar pesawat, takut terlambat. Dia nggak bilang, sih, mau ke mana, tapi orang tuanya sendiri yang jemput. Jadi, Bapak anggap dia pulang. Bapak nggak nyangka kalian ternyata akhirnya putus. Padahal Bapak sudah nggak sabar nunggu undangan dari kalian, lho." Pak Suyitno berusaha berkelakar untuk mencairkan suasana. Kumis tebalnya bergoyang naik turun waktu ia tertawa.

"Apa dia ninggalin sesuatu di sini?Mungkin pesan atau barang?" tanya Aura lagi. Matanya berbinar penuh asa. Setelah menemukan jalan buntu pada Samuel, gadis itu sungguh berharap ada orang lain yang mengetahui keadaan Aidan. Terutama di hari-hari terakhir sebelum pemuda itu memutuskan untuk menghilang.

"Kalau ada pesan khusus buat kamu, pasti sudah Bapak sampaikan sejak dulu, Mbak. Tapi, ada beberapa kardus yang dia tinggal. Katanya isinya terserah mau diloak atau disumbangkan. Kalau Mbak mau lihat, masih ada di gudang. Sini, Mbak, ikut Bapak sebentar."

Usai menggulung selang, Pak Suyitno berjalan memasuki garasi. Aura mengikuti dari belakang. Dari gudang, pria paruh baya itu mengeluarkan dua kardus bekas air mineral yang terlakban rapat. Ia bawa kedua kardus itu ke meja beranda, lalu ia iris lakban yang menutupi.

"Ini, coba kamu lihat-lihat sendiri saja. Bapak mau bersih-bersih dulu." Pak Suyitno pamit minta diri.

Aura duduk di kursi beranda. Perlahan, ia buka kedua kardus itu. Di sebelah atas, hanya baju-baju bekas yang ia temukan. Jas almamater Aidan terlipat rapi. Nama sang pemuda masih tersulam di bawah lambang universitas. Di bawah, tergeletak berbagai benda. Mug berlogo fakultas hukum, buku tulis kosong, topi, piring hadiah deterjen, kotak tisu, toples, bahkan payung lipat. Isi kardus kedua pun kurang lebih sama. Namun, di sebelah bawah, terselip di antara jaket bekas dan sarung bantal butut, Aura menemukan sebuah kaleng biskuit mungil berbentuk persegi panjang. Hati-hati ia guncang kaleng itu. Terasa berat di tangan si gadis, dan terdengar suara berkelotak dari dalam. Dengan kuku, Aura berusaha membuka kotak.

Klang!

Tutup kaleng terpelanting ke lantai. Berlembar-lembar foto balas menatap Aura. Entah sejak kapan, Aidan telah mencetak foto-foto kebersamaan mereka di atas kertas polaroid. Setiap karcis bioskop yang pernah mereka beli, setiap bill makanan yang mereka santap dalam kencan, pembatas buku dan gelang kertas dari setiap bazar dan event yang pernah mereka datangi, semua ada di dalam. Di tengah, sehelai kartu merah jambu tergeletak. Seketika, mata Aura berkaca-kaca. Kartu berbentuk hati itu pemberiannya untuk Aidan pada hari Valentine tahun lalu. Tulisan tangan mungil dengan tinta merah masih jelas tertera.

For my love, the one that's all mine, happy Valentine.

Aidan telah menambahkan tulisan lain di dalam kartu. Di bawah tulisan tangan Aura, tertulis huruf-huruf tegak dengan tinta sekelam malam tanpa bintang.

Aura, maaf aku nggak sempat menyampaikan pesan ini kepadamu secara langsung.  Thank you for everything. Thank you for the past two years, and thank you for the good and bad days we have spent together. May someday we meet again, somewhere only the stars know.

"Ah, ya, Mbak Aura, Aidan minta Bapak memberikan kotak itu ke kamu, tapi Bapak lupa. Maaf, ya." Sekonyong-konyong, Pak Suyitno berucap. "Kamu boleh bawa kotak itu kalau ma— Lho, Mbak Aura nangis?"

"Nggak apa-apa, Pak. Makasih, ya. Saya pergi dulu." Aura bergegas pergi sambil mendekap kaleng biskuit di dada. Kuku-kukunya sakit karena mencengkeram sudut logam terlalu erat, tetapi gadis itu tidak peduli.

"Lihat saja, Aidan. Aku akan menemukanmu," gumam Aura penuh tekad. "We shall meet again, no matter what happens."

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Where stories live. Discover now