1. Pertemuan

122 10 7
                                    

Jakarta, 2022

Diatas bangku tribun, terdengar suara menggema memenuhi ruangan yang dipenuhi suporter dari dua kelompok yang saling bertanding memperebutkan gelar sebagai yang terbaik.

Disisi lain, terlihat seorang pria dengan pakaian basket yang melekat di tubuhnya berjalan lurus kearah tribun menghampiri wanita yang siap menyambutnya dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kak Eric tadi keren banget" ucap wanita itu penuh semangat dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

Pria yang dipanggil Eric itu tersenyum, membelai puncak kepala wanita yang kini menatapnya lurus dengan banyak pertanyaan di kepalanya, sebelum keduanya saling melempar senyum.

Interaksi keduanya tidaklah luput dari perhatian ratusan pasang mata yang kini seolah kamera yang menyorot keduanya.

"Razel, ikut yuk?" Ajak Eric sembari menggenggam jari jemari Razel.

Razel yang bingung, segera melihat kearah Eric yang tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Razel yang masih tertanam di otaknya.

"Ke bawah, aku pengen kasih sesuatu" ucap Eric.

"Yaudah, ayok!"

Keduanya turun dari tribun penonton dengan Eric yang menggenggam erat tangan Razel seolah takut sesuatu akan memisahkan keduanya.

Tepat sesaat keduanya sampai di tengah lapangan. Terlihat dari arah kursi penonton yang membentuk formasi dari papan putih membentuk sebuah kalimat yang membuat Razel sulit berkata-kata. Matanya berkaca-kaca, hingga tak sadar tangan Eric yang semula menggandengnya kini telah memegang sebuket bunga dan berlutut di depannya.

"Razel, bintang memang indah dan bintang juga selalu ada di sisi bulan. Tapi tahukah kamu, jika bulan hanya ingin satu bintang yang berada di dekatnya? Menemaninya melewati malam sunyi hingga terbit fajar. Razel, kamu tau? Gak ada yang sempurna di dunia ini, tapi aku ingin jadi sempurna karena seseorang berada disisiku... dan orang itu kamu, Razel" ucap Eric dengan posisi berjongkok di depan Razel.

Pandangan Razel lurus ke depan, dia tidak sanggup berkata-kata. Terlalu sulit menjelaskan perasaannya saat ini. Dia bahagia, namun disisi lain dia juga takut.

Disisi lain, Eric tidak hentinya melempar senyum. Tangannya ia ulurkan memegang tangan Razel yang terasa dingin karena gugup.

"Razel.." panggil Eric.

"Maukah kamu menjadi pacarku?? Menemaniku??" Tanya Kak Eric.

"Terima"

"Terima"

"Terima"

Teriakan penonton menggema memenuhi ruangan, disusul suara drum yang semakin menambah meriah suasana yang sebenarnya cukup canggung untuk Razel.

Sekali lagi Razel dibuat semakin merasa bingung terhadap keputusan yang akan di ambilnya. Tanpa sadar, pandangan Razel kosong hingga tidak menyadari jika sedari tadi Eric memanggil namanya.

"Raz..

"Kak.. aku.." potong Razel, namun ia sedikit ragu akan keputusannya.

"Gapapa, kakak paham ini pasti sulit buat kamu. Kakak gak akan paksa kamu. Kakak akan beri kamu waktu buat berfikir"

"Kak maaf, tapi..

"Gapapa, Zel. It's okay" jelas Eric.

"Kamu haus kan? Kakak ambilin minum ya? Tunggu disini!" Perintah Eric sebelum pergi meninggalkan Razel dengan senyum yang ia tarik paksa.

Namun, belum sampai lima meter. Razel telah terlebih dahulu berlari mendahuluinya dengan kepala yang ia miringkan ke kanan dan senyum lebar di wajahnya.

If We Love AgainWo Geschichten leben. Entdecke jetzt