05

12.5K 40 0
                                    


Lynn tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia semacam mengalami ketegangan dan kurang nyaman dengan tempat baru.

Tentu, kasur yang ditempati semalam berbeda rasa akan punyanya di Inggris. Hal tersebut memicu insomnia.

Memang, faktor utama Lynn tak bisa lelap tidur karena pikiran yang kusut. Banyak hal mengisi kepalanya, sehingga menjadi kusut dan bekerja lebih ekstra.

Harusnya lelah. Memudahkan dirinya untuk beristirahat. Tapi, tidak demikian dialami. Malah mengalami insomnia.

Tidur dua jam saja dengan baik.

Terbangun tepat pukul setengah enam pagi, dalam kondisi kepala sakit serta badan yang sedikit pegal-pegal.

Perut Lynn pun keroncongan karena ia terakhir makan kemarin, tepat sebelum pukul enam sore di bandara.

Itu pun hanya dua bungkus roti yang ditambah sebotol susu kesukaannya.

Porsi terbilang sedikit. Bahkan, sudah sejak tengah malam, mulai tanda-tanda lapar menyerang. Tapi, bisa diabaikan.

Kini, tak dapat lagi ditahan.

Dan, awalnya Lynn berencana keluar mencari supermarket. Pasti tidak akan jauh dari kompleks perumahan Macc.

Namun kemudian, dipikirkan ulang.

Faktor paling utama yang membuatnya ragu pergi adalah daerah masih terasa begitu asing. Apalagi, baru pertama kali mendarat di New Zealand.

Belum dua puluh empat jam juga.

Bukan takut akan ada pihak-pihak jahat di luar sana nanti bisa ditemui secara tak sengaja. Hanya saja, enggan didapat masalah di negara orang lain.

"Kau sudah bangun dari tadi bukan?"

Lynn kaget bukan main karena dengar alunan suara berat Macch yang begitu dikenali, melontarkan pertanyaan.

Keterkejutan bertambah, saat sadar pria itu tengah berdiri dekat ambang pintu ruangan tidur tengah ditempatinya.

Andai tak memakai handuk saja, maka kekagetan tidak akan besar. Bisa juga dihindari rasa malu di hadapan Macc.

Namun, ia sudah terlambat.

"Selamat pagi, Uncle." Lynn menyapa dengan senatural mungkin.

Senyuman diukir juga lebar. Ia hanya berharap tak menampakkan kegugupan semakin besar yang tengah melanda.

Dipusatkan pandangan pada Macc. Pria itu tengah menjelajahkan tatapan dari kepala hingga ke mata kakinya.

Sekilas saja memandang. Tapi, tetap dapat ciptakan perasaan tak keruan dalam diri Lynn, secara mendadak.

Debaran jantung semakin menggila. Ia tak mampu mengendalikan detakannya agar bisa kembali ke normal.

"Kau belum berpakaian, ya? Kau pasti baru selesai mandi pasti."

"Iya, Uncle." Lynn melontarkan jawaban pendek. Ia bisa lancar luncurkan.

"Cepatlah pakai pakaianmu. Aku sudah buat omelet kesukaanmu. Kita sarapan bersama. Aku tunggu di meja makan."

"Baik, Uncle." Lynn dengan segera lagi, memberikan tanggapannya.

Macc dilihat mengukir senyuman lebih lebar, sebelum benar-benar menutup pintu ruangan tidur ditempatinya.

Hampir satu menit, Lynn berdiri diam dengan tubuh masih membeku.

Baru bergegas bergerak menuju lemari, saat teringat akan ucapan Macc.

Diambil celana pendek dan kaus saja.

Cepat dikenakan. Gerakan kedua tangan pun gesit, tanpa ada halangan berarti.

Tak digunakan make up sama sekali.

Lantas, berjalan cepat keluar kamar. Ia tak mau membuat Macc menunggunya lebih lama lagi. Apalagi, pria itu punya kesibukan yang harus dikerjakan.

Ketika sampai di areal ruang makan, telah didapati Macc berada di salah satu kursi dan duduk dengan nyaman.

Langsung saja, dirinya bergabung.

"Aku masih tidak pandai memasak. Kau tidak harus menyukai makananku."

"Kalau rasanya buruk, buang saja."

Lynn menggeleng pelan, seraya diambil garpu dan pisau. Hendak memotong omelet. Tentu, lantas disantapnya.

Namun, lebih dulu akan diberi balasan atas ucapan Macc. Tak mungkin dapat diabaikan apa pun perkataan pria itu.

"Aku akan coba dulu. Kalau enak, pasti akan aku habiskan semuanya."

"Dan, untuk nanti malam, biar aku saja yang memasak, Uncle. Kau sudah tahu aku bisa memasak dengan enak."

"Aku ingin kau memasak, Lyn. Tapi, jika Nora tahu, dia akan mengomeliku."

"Jangan beri tahu Mom, Uncle. Apalagi, dia tidak ada di sini bersama kita."

"Aku harus membantumu. Aku bersedia juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di sini." Lynn berujar mantap."

"Aku harus membalas kebaikanmu atas tanah dan uang itu, Uncle. Aku akan lakukan apa pun untuk membalas."

Aku sudah sangat siap menyerahkan kegadisanku juga, imbuh Lynn hanya di dalam hati. Tak bisa diungkapkannya secara terang-terangan pada Macc.

Bukan sekarang, tapi di lain waktu.

"Sebagai asisten rumah tangga? Nora bisa saja membunuhku, Lynn."

"Jangan beri tahu Mom, Dad. Hanya ada rahasia ini di antara kita, Uncle. Aku tidak punya pekerjaan sekarang."

"Aku pikirkan dulu, Lynn. Aku mustahil bisa perkerjakan kau sebagai asisten rumah tangga. Kau keponakanku."

"Mantan keponakanmu, Uncle." Lynn pun buru-buru meralatnya.

"Mom dan Dad sudah berpisah. Kau dan aku, bukan lagi keluarga. Iya, 'kan?"

CERITA PANAS DEWASA II (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang