Bab 1

682 60 0
                                    

Ketukan kitten heels menggema, mengiringi langkah Laurin yang baru saja selesai mencoba beberapa gaun untuk dipakainya dalam acara ulang tahun mertuanya malam ini.

"Ganti," Ujar Kaivan. Pria itu duduk di sofa dengan santainya. Sementara sang istrinya telah lelah terus berganti pakaian.

"Mas Kai, gaun ini kurang apa lagi? Dadanya nggak rendah. Belakang juga tertutup," bela Laurin.

"Pahamu terekspos, Sayang. Kamu cantik pakai itu, tapi lebih baik jika kamu memakai itu ketika di kamar denganku saja."

Laurin seketika melotot. Mengapa suaminya tidak bisa melihat situasi sekarang? Ucapan kotor itu bisa di dengar oleh tiga perempuan yang sejak tadi membantunya berganti pakaian.

"Tenang, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia."

Ah, Laurin lupa kalau mereka sedang ada di tanah kelahiran suaminya. Wanita ayu itu pun memilih menggandeng tangan Kaivan dan menarik pria itu memasuki ruang ganti yang disana terdapat belasan gaun yang masih belum ia sentuh.

"Pilih yang mana. Aku udah nggak mau coba lagi, capek." ujar Laurin. Ia membiarkan Kaivan untuk memilih gaun yang cocok untuknya sementara ia memangil karyawan tadi untuk membantunya berganti pakaian.

Selesai berganti pakaian, Laurin melihat suaminya telah berada di luar dengan ponsel hitam mengkilap di telinga. Ketika mata mereka saling tatap, Kaivan pun segera mengucapkan kata-kata perpisahan kepada seseorang di seberang sana.

"I'll be there soon." Kaivan pun menyimpan kembali ponselnya di saku. Pria berbaju biru itu mengamati istrinya yang telah kembali memakai rok satin silk putih dengan atasan blouse biru cerah dengan aksen pita di leher.

"Udah?" tanya Kaivan.

Laurin tersenyum ia mengamit lengan suaminya dan mengajak pria itu keluar dari butik mahal ini. Meski mereka telah kenal selama lebih dari 5 tahun, Laurin masih tidak terbiasa dengan segala kemewahan suaminya. Alis Laurin berkerut bingung saat menyadari ada dua mobil yang sudah bersiap di depan butik.

"Kita pergi bersama kan?" tanya Laurin dengan was-was.

Bukan jawaban yang ia inginkan yang Laurin dapat. Kaivan justru membawa tangan kanan Laurin untuk ia tempelkan di bibirnya.

"Sorry, Baby. I have to go." Iris mata Kaivan menunjukkan raut wajah penuh sesal.

Laurin menelan rasa kecewanya sendiri. Padahal di pagi yang hujan seperti ini, ia ingin menikmati hari pertama mereka di kota ini dengan berbincang di dalam mobil sepanjang jalan. Laurin suka ketika Kaivan bercerita mengenai masa kecilnya di kota ini dan seluk beluk kota ini.

Namun sayang, ia melupakan fakta bahwa suaminya adalah orang yang sangat sibuk. Bahkan, ketika mereka berada jauh dari kantor, Kaivan tetap akan meninggalkan dirinya bersama sopir seorang demi pekerjaan.

"Aku akan pulang sebelum malam. Nanti kita bersiap bersama."

Laurin mendapat kecupan perpisahan di kening. Tanpa menunggu istrinya berangkat terlebih dahulu, Kaivan langsung menerjang hujan dan segera masuk ke mobil dengan pintu yang telah dibukakan oleh sopirnya.

Laurin memandangi mobil yang mengangkut suaminya dengan hati hampa. Setelah dirinya berhasil memenangkan perdebatan tentang dirinya yang tetap ingin bekerja meski harus ditempatkan di salah satu perusahaan keluarga Kaivan, Kaivan justru semakin sering meninggalkan dirinya seperti saat ini. Kaivan pulang dan pergi sesuka hati. Perginya pun tanpa penjelasan yang benar. Berbeda dengan dirinya yang harus melaporkan siapa saja yang ia temui, Kaivan tinggal bilang urusan pekerjaan dan Laurin pun dipaksa diam.

Menyerah [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang