"Mas, Mas Ilham!" Tegur Adiba.

"Ya, Ba!" Ilham segera mengalihkan pandangan.

"Tutup matamu, Mas." Pinta Adiba.

"Kenapa?" Ilham mengernyit.

"Aku takut, Mas akan menyukainya," balas Adiba dengan tatapan berlinang.

Ilham terkejut mendengarnya. Entah, ia merasa ucapan Adiba ada benarnya. Bukanya merasa risih atau ingin muntah, Ilham justru menikmati pemandangan yang ia saksikan tadi. Di mana, ia juga merasa sedikit haus, saat melihat Baskara meminum darah.

"Astaghfirullahaladzim," Ilham mengelus wajah dan menghela napas panjang.

"Adiba! Ke mana pun kamu pergi, saya pasti menemukanmu!" Baskara menendang tubuh Pak Usman yang terbujur kaku. Kemudian berjalan keluar rumah dengan tangan menenteng celurit.

Setelah kepergian Baskara, Adiba dan Ilham bergegas keluar dari kamar Putri. Adiba memandang sendu ke arah kepala Pak Usman berada. Pria tua itu sudah banyak membantunya dikala masih hidup. Semua yang terjadi benar-benar mengikis kewarasan mentalnya. Sampai detik ini pun, ia tidak tahu apa tujuan sebenarnya dari sang pelaku.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ba?" Tanya Ilham dengan wajah datar.

***

Malam semakin larut. Sedangkan Ahmad masih saja terjaga. Sesekali ia melirik jasad Suparta yang masih dibiarkan tergeletak di tanah. Sementara Yudi, entah mengapa sikapnya mendadak berubah. Sudah hampir dua jam ia mengurung diri di kamar. Katanya, sedang tidak enak badan. Ahmad hanya tersenyum saat Yudi mengatakan kalimat itu.

"Alasan klasik," batinnya saat itu.

Ahmad mencoba memejamkan mata. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat sang Nyai Sekar begitu berambisi untuk menghabisi nyawanya. Pada saat itu, Pak Heru yang sedang beradu mulut dengan  Suparta tiba-tiba saja diserang dari arah belakang. Beberapa anak buah Pak Asep datang membantu Nyai Sekar, termasuk Baskara. Akan tetapi, pria itu masih menggunakan penutup wajah. Ia tidak ingin di cap sebagai pengkhianat di desa, padahal sudah jelas dia berkhianat.

"Suparta! Akhirnya kamu muncul juga," suara Nyai Sekar mengejutkan Pak Heru, Kiai Habidin dan juga yang lain.

"Saya tidak ada urusan denganmu, Inah! Saya hanya ingin bertemu dengan bajingan ini!" Seru Suparta sambil menunjuk ke arah Pak Heru. Sedangkan Pak Heru sendiri sedang di ringkus oleh Baskara dan rekannya.

"Kamu pasti menanyakan tentang anakmu, Parta! Dukun sakti sepertimu bisa-bisanya ditipu oleh pria tengik macam Heru! Ha ha ha! Dasar bodoh!" Ejek Nyai Sekar dengan tawanya yang khas.

"Diam wanita jalang!" Umpat Suparta.

"Hai kalian semua yang ada di sini, kalian semua harus tahu, dia (sambil menunjuk ke Pak Heru) adalah dalang dari kerusuhan ini! Dia juga yang sudah menipu kalian, dengan membawa nama saya ke dalam setiap peristiwa-peristiwa janggal yang terjadi di desa! Bahkan, dia juga sudah tega menjerumuskan putrinya sendiri ke lembah hitam, hanya untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil! Mustika batu biru yang berada di area sungai belakang rumah Asih!" Terang Nyai Sekar.

Semua orang yang berada di lokasi sangat terkejut mendengar ucapan Nyai Sekar. Terutama Ahmad. Pemuda itu, terlihat sangat syok. Langkah kaki yang seharusnya meninggalkan tempat itu, kini menjadi kaku dan terhenti di satu titik.

"Mustika batu biru," lirih Ahmad.

"Benar begitu, Ru?" Tanya Pak Usman secara tak sengaja.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now