3. Tangisan Kala

19.1K 804 32
                                    

Gadis itu tidak main-main dengan ucapannya, dia betulan pergi dari rumah Tristan setelah mengganti baju. Tritan pun tidak melarangnya, walau jujur saja, ada sedikit waswas di hatinya mengingat Khanza akan pulang sendirian larut malam.

“Akak mau pelgi? Akak ga mau jadi mamanya Caya?” Satu-satunya orang yang tidak ingin Khanza pergi adalah Kala yang terus terjaga. Padahal biasanya, bocah laki-laki itu sudah tidur pulas bila jarum jam menunjuk angka duabelas. “Tadi Akak udah danji mau main ama Cala telus. Kenapa cekalang mau pelgi?”

“Kala, Kakak harus pulang ke rumah Kakak. Karena orang tuanya Kakak bakal khawatir dan bisa aja marah kalau Kakak nggak pulang-pulang,” jelas Khanza lembut. Sangat bertolak belakang dengan suara Tristan yang kerap kali terdengar kasar.

“Sana cepat pergi,” usir Tristan tegas sebab tidak mau Khanza menarik lebih banyak perhatian Kala.

“Jangan ucil Akak.” Kala meminta, matanya berkaca-kaca seperti akan menangis.

“Diam. Kalau nggak kamu yang bakal saya usir.” Pemuda itu melotot. Tatapannya yang menyeramkan berhasil membuat Kala bungkam. Menahan tangisnya agar tidak pecah di hadapan Tristan.

Khanza menghela. “Jangan terlalu kasar sama anak kecil. Nggak baik.”

“Saya nggak peduli.”

“Papa kan ga cuka olang ingkal danji, tadi Akak danji mau main telus ama Caya tapi cekalang kenapa mau pelgi? Jadi Papa ayo malahin Akak bial ga pelgi dali cini,” rengek anak itu meski ada sedikit takut dalam benaknya. Sekarang air mata yang dia tahan turun begitu saja.

Khanza sendiri mulai menggigit bibir sembari merutuki dirinya dalam hati gara-gara terlampau meremehkan janji yang ia ucapkan pada anak itu tadi.

Tristan berdecak geram. Lalu tanpa aba-aba, ia menarik tangan Kala dan memaksa anak itu masuk ke kamarnya.

“Ga mau! Ga mau macuk kamal, Caya mau main ama Akak!” Kala terus berteriak dan mencoba melepaskan diri dari cekalan Tristan. Sayangnya, upayanya tidak berguna. Tristan berhasil mendorongnya ke kamar sebelum kemudian mengunci pintu dari luar.

Mata Khanza terbelalak, mulutnya terbuka, dadanya berdegup cepat ketika suara tangisan dan teriakan Kala sampai di telinganya.

“Kamu bukan Tristan yang pernah saya kenal,” ucap gadis itu sambil geleng kepala tidak habis pikir. “Tristan yang saya kenal nggak mungkin sekasar ini sama anak kecil. Apalagi itu anaknya sendiri.”

“Emang.” Tristan mendekati Khanza. Saking dekatnya sampai gadis itu harus mundur beberapa langkah. “Karena Tristan yang kamu kenal udah mati semenjak anak sialan itu ada.”

Mata Tristan tidak hanya diliputi kemarahan, tetapi juga tampak menyeramkan bagi Khanza. Membuatnya kehilangan seluruh kalimat yang ingin ia ucapkan. 

“Sekarang pergi dari rumah saya.” Pemuda itu menunjuk ke arah pintu yang berada di belakang Khanza.

“Tanpa kamu suruh pun saya bakal pergi dari rumah ini,” balas Khanza ketus sambil meraih tasnya di atas sofa. Ia bersyukur pemuda itu tidak membuang tas itu saat menolongnya kemarin malam.

“Bagus, jangan tunjukin lagi muka kamu di depan saya.”

Khanza tidak menjawab, ia langsung pergi dari hadapan Tristan walau suara tangisan Kala masih menusuk-nusuk telinganya. Jujur Khanza gelisah, tetapi cara Tristan menatapnya dengan penuh kebencian membuatnya memantapkan diri untuk hengkang dari tempat itu secepatnya.

Begitu Khanza tidak ada lagi di sana, Tristan berjalan gontai ke arah sofa. Lantas duduk di sana sembari menyugar rambutnya ke belakang. Baru hendak menenangkan diri, ia sudah menemukan sebuah amplop coklat besar tergeletak di atas meja. Dalam sekali lihat ia langsung tahu jika benda itu adalah milik Khanza.

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Where stories live. Discover now