15. Kita Malam Ini

134 11 15
                                    

"Karang, kamu malu?" tanya Mars sambil memeluk Karang yang bersembunyi di balik selimut. "Kenapa kamu harus malu samaku, sih." Mars masih saja gemas dengan tingkah Karang, tetapi sang empunya malah bertambah malu di dalam selimutnya.

"Ayolah keluar, Sayang," kata Mars lagi dengan nada manja, tetapi di saat bersamaan terdengar seperti meledek.

Karang membuka selimutnya lalu menendang Mars hingga jatuh ke lantai. "Aduh!"

Karang tidak peduli dengan ringisan Mars dan kembali merebahkan diri di tempat tidur.

"S-sakit. Tolong, Karang. Kepalaku terbentur kaki meja dan berdarah."

Khawatir, Karang beranjak dari tempat tidur dan mendapati Mars tergeletak di lantai. Ditepuk-tepuknya pelan wajah lelaki itu guna membangunkannya, tetapi Mars belum juga membuka mata.

Aku harus meminta bantuan ibu atau kak Kinar, ucap Karang dalam hati sebelum beranjak. Namun, tarikan seseorang berhasil membuatnya jatuh ke pelukan Mars.

"Kamu khawatir banget, ya, sama aku?" tanya Mars sambil mengeratkan pelukannya.

Kening Karang berkerut. Kau mengerjaiku! katanya yang hanya bisa didengar sendiri. Ia memukul keras punggung Mars sebagai bentuk protes.

"Lagian kamu jahat amat nendang aku sampai jatuh kaya gitu. Untungnya kepalaku gak bocor beneran," kata Mars lagi.

Kau itu terlalu lebay, balas Karang yang sayangnya tidak dapat didengar oleh Mars.

Mars melepaskan pelukannya setelah menyadari Karang memberontak seakan meminta dilepaskan. "Kamu marah denganku?"

Karang diam dengan wajah cemberut.

"Iya, iya, aku minta maaf. Lain kali gak akan diulangi."

Anggap aku percaya padamu, kata Karang lagi dalam benaknya sebelum menganggukkan kepala.

"Kenapa aku baru menyadari kalau kamu itu selucu ini?" Mars mengusak-mengusak rambut Karang yang lagi-lagi membuat wajah sang empunya memerah.

Dengan malu Karang mengambil tangan Mars dan menuliskan sesuatu di telapak tangannya. "Sudah, ayo tidur."

Mars mengulurkan tangan guna membantu Karang berdiri. Ia lalu menempatkan kedua tangannya di pundak Karang. "Ya, ayo tidur."

[Jangan berpikir melakukan yang aneh-aneh padaku!] Pesan Karang sebelum merebahkan diri di kasur.

"Aku gak berpikiran begitu loh, tapi sepertinya patut dicoba," balas Mars dengan jahilnya.

[Mars!] Karang bersidekap di depan dada.

"Oke. Aku gak akan melakukan apa pun tanpa seizinmu, kok."

Karang menatap dengan penuh selidik. [Awas aja!] Ia memang tidak bisa mempercayai Mars sepenuhnya.

"Kamu boleh memukulku kalau aku melakukan itu." Mars menjatuhkan tubuhnya ke kasur lalu memejamkan mata.

Karang mengamati Mars sejenak sebelum ikut merebahkan diri di kasur. Percaya atau tidak percaya pada Mars, ia tetap harus tidur malam ini.

Lengan yang melingkar di perut sukses membuat netra Karang membola. Ia menatap tajam pada Mars yang ada di belakangnya.

"Apa? Aku hanya memelukmu. Memangnya aneh memeluk pasangan sendiri selagi tidur?" Mars menjawab seakan tahu pertanyaan yang bersarang di kepala Karang.

Seolah menolak peduli, Karang kembali memejamkan mata, tetapi jantungnya berdetak lebih kencang sehingga membuatnya sulit untuk tertidur. Entah mengapa pula rasa kantuk tidak datang dan waktu enggan membuatnya terlelap.

Ini semua salahmu, Mars. Aku jadi gak bisa tidur gini. Karang mengomel dalam hati sambil mengamati wajah tidur Mars. Sekian lama mereka tidak bertemu, tetapi Mars tidak pernah berubah. Ia masih menjadi Mars yang dikenal oleh Karang.

Aku gak pernah menyangka kalau kau akan kembali, Mars. Kupikir kau akan sangat membenciku. Yah, memang seperti Mars. Sulit untuk ditebak.

Karang bergeming di tempatnya lalu memberikan kecupan singkat di bibir Mars sebelum berbalik. Berharap Mars tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.

"Karang, kamu diam-diam menciumku."

Sontak saja Karang membuka mata. Ternyata Mars menyadari apa yang telah dilakukannya. [Sebelumnya siapa yang mencuri ciumanku?] Ia lalu menunjukkan pesan yang diketik di catatan ponsel pada lelaki itu.

"Jadi kamu ingin membalas? Ya, aku gak masalah, tapi kamu harus tanggung  jawab karena ciumanmu membangunkanku."

Ucapan Mars sukses mencetak kerutan di kening Karang. [Tanggung jawab apanya? Aku capek dan mau istirahat. Lihat di luar juga sedang hujan.]

"Yah, kamu benar. Aku bahkan kehujanan sebelumnya. Jadi, tolong hangatkan aku."

Mars bergerak mendekat seiring dengan Karang yang berusaha menjauh. Tetapi, ke mana Karang bisa pergi? Kini ia terpojok di sudut tempat tidur.

"Sekarang kamu gak bisa mengelak lagi, Sayang," bisik Mars tepat di telinga Karang lalu meniupnya pelan. Sekujur tubuh Karang meremang seketika.

Karang hendak pergi dari sana, tetapi Mars dengan cepat mengunci pergerakannya. "Kamu gak akan bisa lari ke mana pun," katanya disertai senyuman.

Mars semakin memperkecil jarak antara keduanya. Karang yang tidak bisa pergi ke mana pun memilih menutup mata.

Sejujurnya, Mars memang berniat mencium Karang dengan serius. Tetapi, melihat tubuh Karang yang sedikit bergetar, membuatnya menyadari bahwa Karang takut. "Tampaknya aku terlalu bersemangat sampai mengabaikan perasaanmu. Maaf, ya. Kamu pasti takut," tukasnya sebelum mengusap kepala Karang lembut.

"Ayo tidur. Kamu pasti lelah," kata Mars lagi sambil menepuk-nepuk kasur. "Aku gak akan peluk kamu, kok."

Senyum yang terbit di bibir Mars pada kalimat terakhirnya entah mengapa membuat hati Karang merasa tidak enak. Ada denyut tidak biasa di sana.

Karang mengangguk dan hendak memposisikan diri di samping Mars. Namun, petir besar menggelegar yang sontak membuat Karang berhambur cepat ke pelukan Mars dan memeluknya erat.

"Jangan takut. Aku ada di sini." Mars berucap lembut sambil mengusap-usap pelan punggung Karang. Ia ingat betul bahwa sejak dulu, Karang sangat takut dengan yang namanya petir.

"Pasti melelahkan karena selama ini kamu hanya mengandalkan diri sendiri. Memeluk diri sendiri setiap kali ada petir. Tapi sekarang enggak lagi, Karang. Sekarang kamu punya aku. Kamu bebas memelukku kapan pun dan selama apa pun yang kamu mau. Kuakui aku nggak bisa menghilangkan rasa takutmu, tapi seenggaknya, kamu bisa merasa sedikit lega karena kamu gak sendiri lagi," tukas Mars yang juga mengeratkan pelukannya pada Karang, seakan menyalurkan kehangatan.

Karang tahu di luaran sana, petir masih menggelegar, tetapi ucapan Mars dapat didengarnya dengan jelas. Seperti sebuah lullaby pengantar tidur yang menenangkan. Membuat Karang seketika lupa dengan rasa takutnya.

Aku gak pernah tahu kalau Mars bisa selembut ini. Gak cuma pelukannya yang hangat, tapi kata-katanya juga. Andai kau bisa mendengar suara hatiku, Mars, maka aku gak perlu bersusah payah menuliskannya di sebuah kertas, catatan ponsel atau bahkan di telapak tanganmu.

"Jika bisa memutar waktu, aku ingin menjadi orang yang lebih peka terhadap sekitar. Terlebih peka terhadap perasaanmu. Kurasa, jika aku lebih cepat menyadarinya sejak awal, maka kita gak akan berakhir seperti ini." Mars bergumam pelan, tetapi Karang dapat mendengarnya meskipun samar.

Kau menyesal, Mars? Untuk apa? Semuanya telah terjadi dan aku gak pernah menyesalkan semuanya, sambung Karang dalam hati. Ia lalu melepas pelukannya dan menuliskan sesuatu di telapak tangan Mars. "Jangan menyesal karena semuanya telah terjadi dan aku gak mau kamu menyalahkan diri sendiri. Semuanya berjalan baik selama ada kamu di sini."

Bersambung...

Karang gemes banget dah 🤧😩

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sunshine HurricaneWhere stories live. Discover now