4. Pamit

142 21 2
                                    

Nah, double update. Besok-besok gak tahu lagi, deh 🤧😅

Happy reading, guys 🌈✨

***

Seiring berjalannya waktu, Mars hidup dengan tenang bersama Kinar. Sudah seminggu lebih ia menetap di rumah sederhana itu. Keadaannya juga membaik dari waktu ke waktu. Pria itu bahkan sering membantu Kinar berjualan dan mendapatkan uang. Memang, bukan merupakan keahliannya, tetapi Mars tidak akan berdiam di tempatnya tanpa melakukan apa-apa.

"Keadaanmu bagaimana? Sudah membaik, kan?" Kinar bertanya dengan mata berbinar. Terlihat jelas jika pria itu dalam kondisi baik, tetapi ia tetap memilih bertanya pada sang empu.

"Aku baik," jawabnya singkat. "Terima kasih karena menampung dan merawatku di sini."

"Tidak masalah. Kamu juga sudah membantuku berjualan. Setidaknya, kehadiranmu tidak terlalu membebaniku."

Ucapan Kinar membuat Mars terkekeh. "Mau marah, tapi benar aku beban di sini. Kau pasti kerepotan merawatku dan ibumu. Ah, iya, bagaimana keadaan ibumu? Aku ingin menjenguk sekaligus berpamitan."

Kening Kinar seketika berkerut. "Kamu mau pulang sekarang? Setelah sembuh lalu pergi?"

"Mau gimana lagi? Aku gak mungkin di sini selamanya, kan?"

Kinar menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Oke. Aku akan membawamu pada ibuku. Keadaannya sudah membaik, sih."

Mars menatap semangat Kinar. Dengan cepat ia menyelesaikan makannya lalu membereskan peralatan makan itu dan membawanya ke dapur. Tinggal di rumah itu nyaman, tetapi tidak ada yang lebih nyaman dibandingkan menetap di rumah sendiri. Begitupula dengan Mars yang merindukan kasur tidurnya yang mungkin sudah berdebu dan berlumut karena terlalu lama ditinggal sang pemilik.

"Kelihatannya kamu senang sekali. Sudah kangen berat dengan rumah dan pacarmu?" Kinar bertanya sambil menyikut Mars yang ada di sebelahnya.

"Mengenai rumah benar, tapi untuk pacar salah. Aku gak punya pacar, woy!"

"Masa? Cowok modelan sepertimu ini belum punya pacar? Aku kok gak percaya, ya? Kau berbohong, kan, padaku?" Jari telunjuk itu diarahkan Kinar pada sang empu.

"Aku jujur, loh. Sampai detik ini aku belum punya pacar. Lebih tepatnya gak tertarik aja gitu. Gak tahu kenapa." Mars menjawab sambil mengedikkan bahu.

Kinar menghentikan langkah lalu menutup mulut dengan kedua tangan. "Jangan bilang kamu suka sama cowok?" tebaknya.

"Suka cowok, ya? Entahlah. Aku juga gak begitu yakin. Untuk sekarang, aku ingin fokus dengan karir dan menjadi sukses. Masalah pasangan, akan datang dengan sendirinya."

"Jodoh emang gak ke mana, tapi kalau kau ke mana-mana dan tidak berusaha menjemputnya, maka akan sia-sia. Kamu harus bergerak menemukan dia yang mungkin sudah menunggu kedatanganmu."

"Ngurus diri sendiri aja aku gak becus, gimana mau mengurus orang lain? Nanti, saat aku sudah sukses dan berhasil menjaga diri sendiri dan memiliki keyakinan menjaga orang lain, akan kutemukan dia. Akan kupastikan dia menjadi seseorang paling beruntung."

"Mulai deh, gombalan cowok cap kardus kaya kamu gitu. Gak kebayang."

Mars terkekeh. "Kau gak kebayang, aku pun lebih gak kebayang. Gak tahu kenapa bisa bicara begitu. Padahal belum kepikiran untuk nikah dan mengurus keluarga," balasnya. "Kalau kau gimana? Apa gak kesepian tinggal berdua dengan ibumu? Sekarang malah sendiri karena ibumu lagi dirawat di rumah sakit."

"Kesepian, sih, iya. Lumrah dirasakan setiap orang. Aku tidak hanya tinggal berdua dengan ibuku saja, kok. Ada adikku, tetapi dia lagi sibuk dan tidak tinggal di rumah untuk sementara waktu."

Mars ber-oh ria. Obrolan itu berakhir saat mereka memasuki kawasan rumah sakit. Bau obat seketika menguar dan menelusup masuk ke indera penciuman Mars. Sejujurnya, ia tidak begitu suka dengan bau rumah sakit.

Kedua kaki itu dibawa melangkah memasuki rumah sakit lebih dalam. Melewati lorong-lorong panjang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah ruang rawat. Kinar perlahan membuka pintu ruang rawat tersebut. Seorang wanita terlihat berbaring sambil menonton televisi.

"Bu, kenapa tidak istirahat?" Kinar berlari kecil menghampiri sang ibu yang terlihat menonton acara televisi dengan nyaman dan tenang.

"Ibu bosan, ih," sahut sang ibu.

"Ibu istirahat biar cepat sembuh dan pulang," kata Kinar lagi.

"Ibu baru aja bangun loh," balas sang ibu tidak mau kalah. "Kamu siapa?" Kening wanita itu berkerut kala melihat orang asing datang dan memasuki ruang rawatnya tanpa permisi.

"Dia Mars, Bu. Orang yang Kinar tolong waktu itu. Sekarang dia udah sembuh dan mau berpamitan dengan Ibu," jelas sang putri singkat.

"Iya, Bu. Kedatangan saya ke sini ingin berpamitan. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih pada Kinar yang telah merawat saya selama ini. Terima kasih banyak. Kebaikan Kinar tidak akan pernah saya lupakan. Semoga Ibu juga cepat sembuh dan bisa berkumpul kembali bersama keluarga," ungkap Mars sopan.

"Syukurlah jika keadaanmu sudah baik-baik saja. Kapan-kapan, kamu boleh loh, mampir ke sini. Nanti Ibu masakin sesuatu, deh. Kita makan siang bareng."

"Terima kasih, Bu. Kapan-kapan saya mampir. Ibu juga harus banyak-banyak istirahat biar cepat sembuh dan bisa masak untuk saya."

Wanita itu mengulas senyum. Sebelum pamitan, Mars berbincang sejenak dengan Kinar dan ibunya. Tanpa terasa, waktu cepat sekali berlalu. Langit mulai menampakkan sinar jingga indah yang memanjakan mata.

"Aku pamit, ya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang kau lakukan untukku. Lain kali, aku akan mampir dan membalas budi baik yang kau lakukan," cetus Mars.

"Tidak perlu. Aku melakukannya ikhlas. Tetapi jika kamu mau mampir, tidak masalah. Aku dan ibu akan menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka."

Mars mengangguk pelan lalu berbalik. Ia kemudian naik ke perahu penyeberangan. Tangan itu dilambaikan sejenak pada Kinar yang juga melambaikan tangan di bibir daratan.

"Kenapa rasanya begitu berat meninggalkan kampung ini? Seperti ada sesuatu yang tidak ingin kutinggalkan di sini." Mars berucap dalam hati. Semakin jauh perahu itu bergerak, semakin berat hatinya meninggalkan kampung yang menjadi tempat tinggalnya selama kurang lebih seminggu itu.

Pergerakan perahu berhenti. Mars bersama penumpang lain beranjak meninggalkan perahu dan mulai berpencar. Sebelum pergi, pria itu sempat bertanya di mana ia bisa menemukan terminal bus.

"Tahu gini mending aku minta si Kinar antar sampai ke terminal bus. Semoga aja aku gak nyasar." Harap Mars menggerakkan kakinya pelan.
Indera pendengarannya menangkap pergerakan di sekitar. Ia lalu menggerakkan kakinya cepat menuju terminal bus yang menjadi tempat tujuannya. 

"Siapa yang mengikutiku," tanya Mars dalam benaknya. Kakinya dibawa melangkah cepat sebelum berbelok di sebuah gang.

Seseorang dengan mengenakan hoodie bewarna hitam dan topi celingak-celinguk di gang yang sebelumnya sempat dilewati oleh Mars.

"Kau mencariku?"

Suara itu seketika membuat sang penguntit berbalik. Ia lalu berlari meninggalkan Mars yang tengah memangkas jarak dengannya.

"Dasar pengecut. Jangan kabur!" Mars berlari menyusul penguntit itu. Tidak sulit untuknya menangkap basah sang pengintip.

"Kena kau, penguntit gila." Mars menyeringai. Topi yang dikenakan si penguntit itu dibuka. Kedua netranya seketika membola kala melihat wajah asli penguntit. "Kau ...."

Bersambung...

Siapa, ya, si penguntit itu? 🤔

Sunshine HurricaneWhere stories live. Discover now