d-20 | someone who feels like a holiday

Start from the beginning
                                    

Winny dan Trinda yang sepuluh menit terakhir cosplay menjadi pesulap, demi bisa merapikan apartment Winny yang tadinya kayak Titanic supaya lebih rapi dikit sebelum menyambut tamu mereka, kontan menghentikan seluruh aktivitas. Susah payah keduanya mengatur napas yang sebelumnya ngos-ngosan.

"Sorry, mendadak mampir." Saga kelihatan tidak enak hati.

Well, Winny-Theo di apartment cuma pas tidur doang. Kalau lagi nggak capek, karena Senin-Jumat magang, mereka baru akan beres-beres saat weekend. Entah apa alasan mereka pada weekend kali ini, sehingga tidak melakukan pekerjaan rumah. Yang jelas saat Saga tiba, keadaannya masih jauh dari layak huni.

"It's okay, Ga. Hujannya serem banget di luar. Malah gue yang nggak enak karena lagi berantakan." Winny mempersilakan Saga duduk.

Trinda membawakan nampan berisi empat cangkir kopi.

Long story short, Saga dan Trinda sama-sama nggak bisa pulang karena bukannya reda, hujan malah makin menjadi-jadi, dan banjir di luar makin tinggi.

"Thank God, it's Saturday." Winny meringis saat mereka makan malam berempat. "Paling nggak, masih bisa sabar nunggu sampai besok. Kalau masih belum surut, ya mobil kalian tinggal aja di sini, silakan berenang pulangnya."

Trinda berdecak. Tapi masa banjir nyalahin Winny, padahal lokasi apart-nya bukan di daerah langganan banjir? Ya memang Jakarta lagi serentak kena musibah aja.

Satu-satunya yang Trinda sesalkan adalah, selama menunggu hujan reda, suasana apartment betul-betul krik-krik.

Theo kayak mayat hidup, mungkin kurang tidur semalam.

Saga juga sebelas-dua belas, jadi omongan mereka berdua sama sekali nggak seru sampai kemudian Theo pamit tidur duluan karena sudah nggak kuat.

Lama-kelamaan Trinda dan Winny jadi ikut-ikutan mengantuk.

"Gue juga mau tidur, deh." Akhirnya Winny menguap setelah menahan-nahan diri berjam-jam. "Trinda ke kamar gue aja. Theo gue bangunin, biar ngungsi ke kamar satunya sama Saga, tapi ntar kudu pelukan tidurnya biar nggak jatuh, soalnya cuma ada kasur single di sana."

Saga dengan mata tinggal lima watt menggeleng pelan. "Santai. Nggak usah dibangunin Theonya. Biar Trinda pake kamar tamu, gue di sofa ini aja."

Keputusan yang bagus, batin Trinda. Karena satu-satunya perabotan yang dibeli sendiri oleh Winny adalah sofanya yang kelewat empuk kayak awan. Sisanya, perabot bawaan dari pemilik sebelumnya. Dan kasur di kamar tamu, nggak usah ditanya, sudah pasti keras kayak perjuangan hidup.

"Ya udah, gue ambilin bantal sama selimut dulu." Winny pun berlalu menuju kamarnya.


~


Hari Minggu pagi, cuaca nggak kunjung membaik.

Kelar sarapan, Winny-Theo balik ke kamar. Meninggalkan Saga-Trinda mondar-mandir nggak jelas. Mandi, nonton televisi, mengobrak-abrik isi kulkas, balik ke depan televisi, lalu ke kamar mandi lagi.

"They're so loud." Trinda ambruk ke sofa, sudah kehabisan ide mau ngapain lagi.

Melihat Saga cuma tertawa, berangsur-angsur rasa sungkan Trinda jadi berkurang. Toh bukan dia tuan rumahnya, kenapa dia yang harus sungkan, sih?

"Dan lo udah biasa jadi obat nyamuk mereka?" Saga bertanya.

Trinda manggut-manggut. "Yes. Can you imagine?"

Si cowok menggeleng, tertawa lebih heboh sehingga membuat Trinda ikut tertawa.

Juga, Trinda baru sadar bahwa mereka berempat sekarang jadi memiliki style dan bau badan yang sama: sweatshirt dan training Theo, dipadukan dengan sabun dan shampoo Winny.

"Bosen, kan? Let's cook something for lunch." Mendadak Saga bangkit dari sofa.

Trinda melotot lebar-lebar. "Impossible you can cook?!"

"How so?" Satu alis Saga terangkat, agak geli melihat ekspresi temannya.

"Inget waktu kita semua wasted di apart kamu?"

"Hm-hm?" Cowok itu mengangguk.

"Inget apa yang kamu makan buat sarapan?"

Sekarang Saga ganti mengangkat bahu.

"Roti tawar polos!"

"Doesn't mean I can't cook."

"Siapa sih yang doyan roti polosan, Ga?"

"Gue."

"So weird."

"Tergantung rotinya, Trinda. Nggak semua roti tawar polos rasanya memuakkan."

"Emang yang kamu makan roti apaan?"

"My mom made 'em."

"Kidding."

"Jangan judging gitu dong. Sekali-kali ngaca, orang luar juga ngelihat elo, 'impossible this girl can cook'."

"Okay, fair enough."

Tuan rumah cuma keluar kamar untuk mandi dan makan siang, lalu mengeluh ngantuk lagi. Tapi Trinda dan Saga sudah sampai di titik tidak ambil pusing. Bodo amat teman mereka mengunci diri di kamar, dia dan Saga akan menganggap apart mereka seperti rumah sendiri.

"Surut nggak surut, nanti sore gue balik." Saga membuat keputusan sembari menyalakan televisi lagi, untuk keseratus kali dalam sehari.

"Masalahnya aku bawa mobil kantor." Trinda mendadak bego. Padahal sama aja, dia tetap di sini atau cabut, mobilnya tetap nggak bisa keluar sampai jalanan di depan surut. "Eung ... tapi daripada kejebak sama mereka berdua, mending basah-basahan nyeberangin lumpur, sih."

Saga yang dari tadi merenung dengan remote control di tangan, menunggu Trinda selesai ngomong untuk bertanya. "Sekarang mau nonton apa?"

"Thor Ragnarok?" Cewek itu meringis. Tadi pagi Saga menemaninya lanjut marathon Loki—yang tertunda berbulan-bulan—sampai episode terakhir. Tapi Trinda masih terobsesi dengan salah satu karakter Marvel itu. Dan seingatnya, Loki versi paling tidak menyebalkan, adanya di Thor Ragnarok.

"Okay." Saga manggut-manggut, lalu mengetik judul film yang dimaksud.

Sayangnya, filmnya terlalu cepat berlalu, dan suara-suara dari kamar kembali mengganggu.

"Gosh, mereka nggak ada capeknya." Trinda menggerutu, menoleh hampa ke stoples popcorn yang sudah kosong melompong. Tapi mau bikin lagi, terlalu malas.

Yang diajak bicara cuma menghela napas panjang, nggak berniat menyahut.

"Btw, Ga, kenapa kamu nggak pernah jelasin ke yang lain? Isn't it annoying to be called 'the guy who was rejected by Trinda' when you never even asked me out?"

"If you were me, would you care?"

"Probably."



... to be continued


Dated; Engaged [COMPLETED]On viuen les histories. Descobreix ara