14 | jadi, intinya mah ...

11.7K 1.7K 168
                                    

Sebelomnya w mau tanya ke yang gak baca Nowness maupun extra chap di Karyakarsa, menurut kalian Trinda itu gimana? Polos kah? Anak baik-baik kah? Atau sama aja bandelnya kayak Mail tapi berlagak polos depan ortu dan masnya? 

Atau menurut kalian dulunya sebelum kenal Mail dia sebenernya polos, tapi diwarnain sama Mail, terus sekarang jadi colorful?

Kalau jawaban kalian gak sinkron sama yg baca di KK, berarti w ada kesalahan narasi di part2 depan, jadi bisa w perbaiki.



Mail sudah negative thinking, membayangkan ketegangan duduk bersama dengan puluhan orang mengelilingi meja makan besar. Tapi ternyata keluarga Gusti sama sekali nggak sekaku itu.

Alih-alih makan formal, suasana ruang makan malah lebih mirip warteg. Santai, fleksibel. Semua orang bebas datang dan pergi suka-suka. Kecuali kalau mau makan yang masih panas-panas, baru mateng, ya kudu on time jam 6 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam.

Ketika Mail digiring Bude Hari dan yang lain-lain dari mushola, yang kemudian ikut masuk ke ruang makan bersamanya nggak sampai sepuluh orang, dan semuanya menyambut hangat.

"Kalau Sabtu-Minggu baru rame, Mas. Weekday gini yang kerja, sama yang sekolah, biasanya makan duluan sore-sore, pas baru pulang. Abis itu udah males makan lagi." Bude Hari memberi tahu.

Mail manggut-manggut, kemudian mengoreksi, "Kecuali Bagas ya, Bude?"

Bude Hari sepakat. Sementara Bagas cuek bebek, bertopang dagu menatap slot kosong di meja, tempat lauk seharusnya diletakkan.

Dan benar saja, beberapa saat kemudian seorang mas-mas masuk membawa beberapa loyang lauk pauk.

"Request-ku nggak jadi dibikinin, Mas?" Bagas nanya penuh harap. Padahal baru tiga jam lalu Mail menjadi saksi ketika dia menghabiskan setengah ekor ayam panggang.

"Jadi, kok, Mas Bagas. Sebentar, ya." Si Mas-mas menjawab sabar.

Bude Hari menyipitkan mata. "Request apa lagi kamu, Gas? Awas kalo jeroan. Kolesterolmu lho."

Bagas meringis. Dan nggak perlu jawaban darinya, karena beberapa detik kemudian si Mas sudah kembali dengan sepiring babat dan usus sapi goreng yang membuat Mail bergidik ngeri.

"Aku rajin makan sayur dan olahraga kok Bude. Kalau nggak dikasih lauk enak, aku tuh males makan. Bisa-bisa lemes, terus semaput. Nggak bisa sekolah, nggak bisa ngerjain PR."

Sepasang bude dan keponakan itu masih lanjut berdebat selama beberapa saat, sementara beberapa orang lain menyusul tiba.

Konon katanya, Bagas punya adik balita, jadi ibunya sibuk di rumah, nggak sempet ngomelin anak sulungnya. Jadilah Bude Hari—yang kebetulan sudah nggak punya anak usia sekolah—yang kemudian dengan senang hati menggantikan peran beliau ngomel-ngomel.

"Ardi ndak ikut balek, Nduk?"

Semua orang menoleh ke pintu, mendapati Yang Ti berjalan masuk sambil menggandeng ibu mertuanya—Eyang Buyut—yang ternyata masih bisa jalan tanpa wheelchair.

Yang Kung berjalan di belakang mereka dengan seorang wanita muda—yang kemungkinan belum sampai kepala empat, yang kemungkinan adalah saudara termuda ayah Gusti.

Bude Hari menjawab pertanyaan Ibu Mertuanya, "Sekalian ke SG, Buk. Mumpung anak wedok mau nemenin check up."

Mendengar nama anak wedok disebut-sebut, kuping Mail langsung berdiri.

Dia memang belum menghubungi Trinda lagi sejak meninggalkan apart tadi pagi dan mengabarkan kalau dia akan sibuk hari ini. Karenanya dia nggak tahu kalau pacarnya itu bertemu dengan ayahnya di Jakarta.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now