24 | di atas langit ada ...

10.8K 1.5K 179
                                    


Pertemuan dengan Zora agak menyedihkan. But business is business. Mail ikut berduka cita atas apa yang menimpa salah satu teman baiknya itu, tapi tentu saja dia nggak mau ikut menanggung rugi. Bagaimanapun juga, semisal nanti kontrak sewa mereka terpaksa putus sebelum waktunya, selain pengembalian sisa biaya sewa, Nowness berhak mendapatkan kompensasi yang sebanding.

"Singapore belum juga ngasih kabar?" Dibanding Mail, malah Oscar yang kayaknya kena mental.

Maklum, tadi Zora meeting sambil momong balita. Wajarlah jiwa keibuan Oscar mendadak timbul. Doi nggak tega membayangkan properti Zora dilelang, terpaksa dilepas dengan harga di bawah pasar. Gimana kalau nanti nggak ada sisa setelah dipotong utang? Tuh balita nggak pernah hidup susah. Nanti kalo mencret dikasih sufor murah gimana?

"Belum." Mail menggeleng, menjawab seadanya. Emang dia bisa gimana lagi? Bukan dia yang punya duit. "Belum juga seminggu. Sabar, lah."

"Magelang?"

"Hmm, minggu depan ... wait ...." Kening Mail mendadak mengerut. Emang dia pernah cerita soal obrolan dengan bapaknya Trinda ke Oscar? "Trinda cerita sama lo? Dia bilang apa?"

"Enggak. Trinda nggak cerita apa-apa." Oscar menggeleng. "Gue yang mempersuasi dia supaya nawarin properti Zora ke bokapnya."

Mail melotot.

Oscar buru-buru menjelaskan, "Tau sendiri, mayoritas ortu kalau anaknya kuliah, paling-paling bayarin ngekos atau sewa apart, bukannya beliin unit 2br kayak bokapnya pacar lo. Terus, anaknya belum lulus, pindah ke Jakarta jadi pengangguran, dibeliin lagi. Di Dharmawangsa pula. Kebayang kan sebanyak apa duitnya?"

"Ck."

Oscar meringis. Kemudian, dengan nggak tahu malu, dia nanya, "Tertarik nggak camer lo?"

"Minggu depan mau survey dulu."

"Asyiiik."

Mail cuma bisa berdecak.

~

Alhamdulillah, bukan cuma ACC topik oleh Ketua Jurusan dan Dosen Pembimbing, sore harinya Trinda kembali ke Jakarta dengan setumpuk Jurnal oleh-oleh dari sang dosen. Jelas saja mukanya kelihatan semringah ketika menemui Mail di kantor Nowness, merasa seolah diberkati.

"Apa kubilang? Nggak ada dosen yang mau mahasiswanya di-DO." Mail mencubit pipi pacarnya gemas. "Keluar dari zona nyaman emang kesannya nyeremin. Nggak ada yang tahu pasti bakal ketemu apa, tapi begitu dijalanin ya nggak seheboh yang kita khawatirin. Humans are more than capable of solving problems, asal kalem dan berusaha berpikir jernih."

Ih, apaan bangeeet? Mail geli dengan ucapannya sendiri. Soalnya, sebagaimana Trinda cemas membayangkan baru akan ketemu Ketua Jurusan di saat mayoritas teman-temannya sudah lulus, dia juga cemas saat membayangkan akan menemui orang tua pacarnya kemarin-kemarin.

Umur dan pengalaman nggak lantas bikin seseorang auto kebal terhadap rasa cemas. Karena sepanjang hidup, stressor tuh hilang satu, muncul seribu, dengan wujud-wujud baru pula. Kalau mau survive, ya yakin aja. Toh, yang berevolusi bukan cuma stressor-nya, tapi kita juga.

"Iya Mas, iya." Trinda balas mencubit pipi pacarnya. Sudah kangen lagi, padahal baru terpisah beberapa jam. "Terus sekarang mau makan di mana? Aku udah laper banget."

"Di sini aja, mau? Kelamaan kalau harus nyari tempat lain."

Trinda setuju.

Jadilah kemudian dia menitipkan tasnya ke atas meja Mail, lalu bergelayut manja di lengan pacarnya sembari berjalan turun ke lantai satu, memesan menu apa saja yang direkomendasikan hari ini biar cepat.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now