31 | reminisce part 1

10.1K 1.3K 194
                                    

Update setengah chapter dulu, soalnya w degdegan ngetiknya.


Bude tiba di Jakarta lebih cepat.

Beliau nggak langsung ke Depok sesuai rencana. Malah Trinda yang diajak ke Jakarta, nginep di rumah masnya.

Buntutnya, sudah jelas tu cewek ngereog. Sebentar-sebentar menelepon Mail, minta di-rescue.

Mau nge-rescue gimana, coba? Menyatroni rumah Agus sekarang, bukannya menyelamatkan Trinda, yang ada bisa-bisa malah mereka mati berdua!

"Iya, ntar malem Mas jemput. Mumpung Agus lembur, kita pergi dinner di Henshin aja. Rame-rame sama ibumu, sama Iis, biar dibolehin." Mail asal nyerocos demi pacarnya bisa kalem ketika suatu pagi Trinda menelepon lagi. Dari suara Trinda yang rada menggema, sepertinya tu cewek menelpon sambil pupup. Untung Mail sudah ikhlas menerima semua kebobrokannya. Dan untungnya lagi, telepon itu masuk tepat saat daily scrum berakhir, jadi Mail bisa mengangkatnya. "Susnya Saad ada berapa orang? Biar bener si Oscar booking mejanya."

"Satu." Trinda menjawab semangat. Nggak tahu aja dia kalau habis ini Mail depresi membayangkan mau berlagak bego gimana di depan Bude Hari. "Mas langsung dateng aja, ya. Aku nggak pake bilang-bilang ibu, biar nggak ada alesan buat batalin lagi."

"Iya. Tapi kamu bisikin Iis dulu. Dia suka bete kalau diajak pergi mendadak. Dan betenya Iis nggak kalah serem dari betenya ibumu."

Mendengar itu, Trinda terkikik-kikik geli. Setuju tanpa menyuarakan. "Oke deh. Pake kemeja yang terakhir kubeliin, ya."

"Yang mana?"

"Yang putih kembang-kembang pink."

"Astaghfirullah ...." Mail iya-iya saja kalau ada yang bilang pink adalah warna maskulin. Tapi please, tetep nggak mengubah fakta bahwa warna itu nggak cocok di kulitnya yang gelap!

"Ish. Udah pake aja. Nanti aku pake yang sama juga, biar makin panas yang lihat."

"Ya ya ya." Emang Mail bisa ngomong apa lagi sih?? Udahlah, turutin aja semua maunya Trinda sebelum putus.

"Sampai ketemu ntar malem, Mas. Kalau ngantuk lagi pas kerja, telpon aku aja, jangan ngopi lagi."

"Siap."

Mail menghela napas lega ketika akhirnya panggilan Trinda berakhir, lalu ganti menoleh ke Oscar di sebelahnya, mengoper tugas baru untuk booking meja di Henshin.

Sayangnya, Henshin penuh. Dan Oscar terpaksa nelepon restoran lain satu-satu dengan muka ditekuk-tekuk.

"Nah gitu, sekali-kali lo cariin makan yang komposisinya bener. Nasi Padang pake jeroan tiap hari, lama-lama bos lo kena stroke, kebanyakan kolestrol." Igor bersuara, membela Mail dari cerocosan Oscar. Membuat Mail yang tadinya nggak sadar mendadak ingat kalau seminggu ini dia dikasih makan siang Nasi Padang terus.

"Ckckck. Ini bukan pembunuhan berencana, kan?" Mail shock, apalagi kalau ingat sejauh mana Oscar dapat mengakses aset pribadinya.

Dibanding keluarganya yang hanya tahu kalau Mail mendirikan coffee shop dengan beberapa cabang, nggak tahu pencapaian Mail sejauh mana, juga dibanding mantan calon bini yang nggak pedulian terhadap kekayaan calon lakinya, Oscar adalah yang eksistensinya kudu diwaspadai.

Aduh, amit-amit. Mail merinding sendiri membayangkan bakal mati di tangan Oscar—sementara Oscar masih konsisten pasang wajah kesal hingga berhasil mendapatkan meja kosong di Hakkasan.

"Minggu ini jadi bawa gue ke Bali nggak?" Beres dengan satu tugas, Oscar menanyakan hal lain ke bosnya.

"Bawa?" Mail menggeleng. "Ogah. Lo berat, jalan sendiri sono."

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now