Bagian Empat

3 1 0
                                    

Suara desingan kereta yang memekakkan telinga langsung menyambut kedatangan Syafi. Kepulan asap kendaraan, juga pedagang yang berlesehan di sekitar stasiun pun tidak ingin kalah.

Tempat panti asuhan Syafi terletak di sebuah desa yang masih sangat asri. Gadis itu harus menempuh perjalanan lima jam menggunakan kereta untuk menuju Yogyakarta. Kini ia sudah turun di salah satu stasiun yang ada.

Sebelumnya, Syafi menyempatkan diri untuk berpamitan kepada seluruh adik-adiknya di panti, dengan para pengurus panti, Ibu Panti, Galial, dan teman-temannya.

Tadi malam, setelah selesai menata semua keperluan yang akan Syafi bawa, gadis itu menuju kamar Galial. Mengetuk pintunya dan masuk setelah pemilik kamar mengizinkan.

Kamar Galial harusnya diisi oleh empat orang. Namun, tiga orang lainnya sedang ada kegiatan berkemah dengan sekolah mereka.

Syafi masuk, duduk di sebuah kursi yang tidak terletak jauh dari ranjang Galial. Sebelum Syafi masuk, Galial sedang menatap langit malam dengan teleskopnya. Kini ia sudah duduk di sebrang Syafi— duduk di ranjangnya.

"Ada apa, Kak?" Galial membuka pembicaraan.

Syafi menggeleng, "Sebenarnya cuma mau ngobrol hal kecil saja."

Galial menunggu. Melihat mata Syafi yang sedikit kemerahan itu, menandakan bahwa gadis di depannya ini telah menangis begitu lama. Mungkin sehabis pamitan dengan semua orang, Kak Syafi menangis di kamarnya. Batin Galial.

"Aku kepikiran sama cerita Ibu, Gal." Syafi menyenderkan bahunya, "Ibu jatuh cinta sama dokter itu, tapi kenapa Ibu akhirnya tidak menikah dengan beliau sekarang? Di mana sebenarnya dokter itu?"

"Cerita Ibu belum selesai, Kak. Apa tidak sebaiknya kita mendengarkan keseluruhan dari cerita Ibu dulu? Agar bisa menyimpulkan sesuatu setelahnya." Galial dengan tegas menjawab. Namun, nadanya lembut seperti nada biasanya.

Syafi mendengus. Sedikit sebal dengan dirinya sendiri. Apakah cuma dia yang sangat penasaran dengan akhir cerita Ibu Panti?

"Kak Syafi sebaiknya pergi beristirahat sekarang. Besok Kak Syafi sudah harus berangkat, kan?"

Gadis itu menarik koper kecilnya ke arah luar stasiun. Matanya mengedar ke seluruh tempat yang bisa dijangkau oleh mata kecilnya itu.

Pemandangan yang pertama kali terlihat adalah kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya. Namun, keindahan kota Yogyakarta tidak terkalahkan oleh kendaraan tersebut.

Yogyakarta, sebuah Daerah Istimewa yang terletak di Jawa Tengah. Untuk orang yang suka masakan pedas dan asin, sepertinya tidak akan cocok dengan masakan di Yogyakarta, karena kebanyakan masakan di sini adalah masakan manis.

Namun, meskipun mungkin kalian tidak akan cocok dengan masakannya, Yogyakarta adalah salah satu kota yang indah. Dimulai dari banyaknya candi-candi, pantainya, suasana pada siang hari yang begitu ramai hiruk pikuk kendaraan dan suasana pada malam hari yang penuh dengan lampu-lampu di sekitar.

Syafi melangkahkan kakinya, tiga tahun ia akan berada di kota ini. Menyelesaikan studi keperawatannya.

Gadis itu menunggu sebuah mobil jemputan milik paman temannya. Temannya menawarkan jemputan ini sedari awal Syafi bilang ingin berkuliah di Yogyakarta.

Menatap jam kecil yang bertengger di tangannya, sepertinya ia harus mengabari Galial dan Ibu Panti. Syafi pun mengambil ponsel yang terletak di dalam tas gendongnya. Mengetikkan beberapa pesan dan menekan tombol kirim.

Suara klakson mobil terdengar, pengemudinya menurunkan kaca sebelah kiri, persis di depan Syafi. Itu jemputannya, Syafi segera menghampiri. Sedikit berbincang dan mengucapkan rasa terimakasihnya karena sudah repot-repot dijemput.

Setelah dua menit berbincang di luar, Syafi pun dipersilahkan masuk.

Tiga puluh lima menit berlalu, Paman temannya ini mengantarkan Syafi di depan asrama tempatnya akan belajar. Benar, selama menempuh studinya di Yogyakarta, Syafi akan tinggal di asrama kampusnya.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada Paman temannya itu, Syafi segera masuk ke dalam asrama. Menyapa petugas asrama dan meminta kunci kamarnya.

Kamar Syafi terletak di samping kamar kedua. petugas di bawah bilang, kamar yang akan ditempati oleh Syafi adalah kamar untuk dua orang. Namun, masih belum ada siswi yang mengambilnya. Jadi untuk sekarang, gadis itu sendirian di kamarnya dalam waktu yang tidak ditentukan.

Syafi menarik masuk kopernya setelah membuka pintu kamar itu. Kamarnya seperti yang ada di panti, sederhana saja. Hanya ada dua tempat tidur dan dua meja belajar yang terletak di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Syafi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Menaruh tas gendongnya di meja, menaruh kopernya di pojok ruangan.

Tangannya membuka resleting tas gendongnya yang ada di meja, merogoh bagian dalamnya untuk mencari ponsel.

Gadis itu menekan nomor Ibu Panti untuk kemudian ponselnya ia tempelkan pada telinga sebelah kiri.

Lenggang beberapa menit, hingga terdengar suara seseorang di sebrang sana.

"Halo, Nak?"

Telfon diangkat. Memunculkan senyum bahagia dari bibir gadis itu. "Syafi sudah sampai kamar asrama, Ibu. Sebelum membereskan kamar ini, Syafi memutuskan untuk mengabari Ibu terlebih dahulu."

"Baiklah, Nak. Selama kamu jauh dari Ibu, tolong ingat untuk selalu berhati-hati. Jaga dirimu sendiri, Syafi. Jangan terpengaruh oleh pengaruh buruk dari teman atau siapapun di sekitarmu, Nak. Ibu percaya sama Syafi, karena Syafi adalah anak Ibu."

Ucapan dari Ibu Panti mampu meluruhkan semua rasa lelah yang Syafi rasakan seharian ini. Air matanya sudah keluar. Katakanlah bahwa Syafi gadis yang cengeng. Namun, apa daya, Ibu Pantinya itu sungguh sangat membanggakan seluruh anak asuhnya.

"Ibu... terimakasih atas kasih sayang yang Ibu berikan kepada Syafi. Sejak Syafi kecil sampai saat ini. Mungkin Syafi tidak akan pernah bisa hidup seperti ini, jika tidak bertemu dengan Ibu," kalimatnya tercekat,"Kalau Syafi tidak dibuang di depan panti, Syafi tidak akan pernah bertemu dengan Ibu yang sebaik ini. Syafi bersyukur sekali diurus oleh Ibu, bukan sama orang yang ngebuang Syafi."

"Hush, tidak boleh berbicara seperti itu, Nak. Tidak baik. Yang namanya orangtua, pasti selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Seperti orangtua kandung Syafi, Ibu yakin ada alasan mengapa Syafi dititipkan kepada Ibu malam itu. Ibu selalu sayang sama kamu dan adik-adikmu, Syafi. Jangan pernah bilang seperti itu lagi ya, anak Ibu."

JEREMBAHWhere stories live. Discover now