4|| Andai aku ikut mati

Start from the beginning
                                    

Jimin hanya mengangguk kecil. Tapi kalau boleh Jimin cukup penasaran dengan gadis itu, dia cukup misterius menurutnya apalagi saat menemukan ternyata Jiwo dan perempuan itu ternyata saling mengenal.

"Kalau boleh tau sejak kapan kau mengenal Aeri?" Tanya Jimin.

Jiwo terkekeh, "Sudah lama, kami berteman sejak kami kecil dan disinilah kami selalu bermain bersama bahkan sampai tempat ini tak lagi dikunjungi orang-orang kami tetap menghabiskan waktu kami disini." Jelasnya.

"Apa kau dan dia berpacaran?" Tanya Jimin dengan pelan.

Jiwo melotot kearah Jimin, "Hei, sudah ku bilang kami hanya teman, lagian aku dan dia sudah seperti saudara."

Jimin menatap Jiwo dengan tatapan mengejek, "Mana ada laki-laki dan perempuan bersahabat tanpa melibatkan perasaan."

"Ada, aku dan Aeri. Memangnya kenapa bertanya seperti itu, kau mau menjadi pacarnya?"

Jimin dengan cepat menggeleng, "Tentu saja tidak, siapa juga yang mau dengan perempuan aneh dan perokok seperti dia!"

Kali ini Jiwo yang menatap Jimin dengan tatapan mengejek,"Terus kenapa kau bertanya ncim..." Ujarnya dengan nada menggoda Jimin.

Jimin menggeleng lebih keras sekarang, lalu tiba-tiba saja dia tengah percakapan itu dia teringat dengan percakapan Jiwo dan Aeri yang sempat dia dengar sedikit dia jadi penasaran jadilah pemuda itu memberanikan diri untuk bertanya.

"Apa aku boleh bertanya?" Ucap Jimin dengan gugup.

"Kalau Aeri punya pacar atau tidak?"

Jimin berdecak sebal, "Bukan bodoh!"

Jiwo terkekeh, "yasudah kalau begitu tentang apa, lagian kita sudah lama berteman kenapa harus meminta izin."

Jiwo memang ada benarnya, namun Jimin rasanya tidak sopan kalau ingin mempertanyakan percakapan dua orang yang mungkin bukan urusannya walau itu sahabat karibnya sekalipun.

"Aku tadi sempat mendengar sedikit percakapanmu dengan Aeri, dan aku dengar ada sesuatu yang sulit kau katakan kepadaku. Kalau boleh tau apa hal itu?"

Jiwo terdiam sejenak mendengar perkataan Jimin. Lalu setelahnya membuang nafas pelan, pemuda itu menggenggam tangan sahabatnya itu.

"Apa kau siap mendengarnya?"

Jimin semakin penasaran dibuatnya,"Siap, katakan saja."

"Ini tentang orang tua mu."

Jimin cukup tegang mendengar kalimat itu. Dengan intensitas penuh, Jimin menyimak semua penjelasan Jiwo yang juga nampak serius menceritakan semua yang dia ketahuilah tentang orang tua Jimin.

Jimin terdiam setelah mendengar hal itu, sekian lama kematian orang tuanya dia baru mengetahui hal ini. Tanpa mengatakan apa-apa dan memperdulikan kepalanya yang masih terasa sakit Jimin bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar dari kamar.

Pemuda itu menatap Aeri yang baru saja masuk dari luar membawa beberapa belanjaan ditangannya. Mereka berdua hanya beradu pandang tanpa ada percakapan. Perempuan itu dapat melihat mata Jimin memerah dengan wajah yang muram.

Ending [Vmin] ✔Where stories live. Discover now