23 ✓ Rahasia dari Sebuah Janji

28 6 44
                                    

Perasaan yang tak biasa kali ini cukup membuat Minggu pagi seorang Arfandi Narayan Mangkubumi tak nyaman. Pukul sembilan lebih, seseorang yang Fandi nantikan kedatangannya belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemarin lusa, Fandi sempat mengingatkan Putri untuk datang jam delapan pagi sebab rundown acara yang cukup panjang mengharuskan mereka untuk mulai lebih awal. Namun sampai sekarang, Putri tidak bisa dihubungi, tak ada kabar sama sekali darinya.

Tak kehabisan akal, Fandi nekat menelfon Lia, sahabat Putri. Yang kalau tidak salah ingat, kemarin Putri sempat membuat snapgram sedang menginap di tempat sahabatnya itu. Kebetulan lelaki itu masih menyimpan nomor Lia sejak saat Putri meminta bantuannya kala itu.

Beruntung, Lia mengangkat panggilan darinya dan langsung mengenali nomor Fandi tanpa banyak bertanya.

"Iya bener, gue Fandi. Gue cuma mau tanya si Putri ada sama lo gak sekarang?" tanya Fandi langsung pada intinya, sebab ia tidak pandai berbasa-basi.

"Enggak, Putri udah pulang ke rumahnya. Kemarin cuma nginep semalam doang," jawab Lia di seberang sana.

"Oh, udah pulang ke rumahnya ya?"

"Iya, katanya sih dia hari Minggu mau persiapan buat jalan makanya buru-buru bal—" ucapan Lia terpotong begitu saja. Gadis di seberang sana terdiam cukup lama, membuat Fandi menyadari mungkin Lia tak sengaja keceplosan.

"Jalan?"

"Eh, e-enggak, maksud gue—"

Belum genap gadis itu menjelaskan, ucapan Lia harus terpotong pertanyaan dengan nada dingin seorang Fandi. "Ke mana?"

Lia tak punya pilihan lain selain menceritakan sejujurnya. Bukan ia tak setia kawan, akan tetapi Fandi juga lama-kelamaan akan tau, entah darinya atau dari orang lain. Lagi pun, kenapa harus takut Fandi tau, toh lelaki itu bukan siapa-siapa Putri juga.

Gadis itu menghembuskan nafas gusar, "ke book fair, kalo gak salah."

"Sama siapa?"

Dan ketika Fandi mendengar jawaban Lia kala itu, tanpa sadar rahangnya mengeras. Lalu kemudian ia menarik napasnya panjang-panjang, menghembuskannya kasar. "Oke, makasih ya."

Fandi praktis menutup teleponnya secara sepihak. Sementara di sisi lain, Lia sedang merutuki dirinya habis-habisan. Terlalu keras berpikir bagaimana jika jawabannya barusan berdampak buruk pada hubungan pertemanan Fandi dan Putri. Bagaimana jika sampai sahabatnya itu marah padanya. Habislah ia kali ini.

***

"Woy, kusam banget itu muka. Cuci dulu sana, udah mandi belum, sih?!" tegur Jeffano sesaat melihat adiknya termenung cukup lama dalam kegiatannya.

"Emangnya situ?!"

Jeffano menguap seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Gue udah ya, gak lihat apa rambut basah abis keramas! Btw, Putri jadi datang gak sih, kok jam segini belum ada kabar? Satu jam lagi mulai nih acaranya," tanyanya sembari melihat sekeliling.

"Gak tau," balas Fandi acuh tak acuh.

"Kan elu temennya, Samsul! Kok, nyante banget bilang gak tau!" seru bang Fano kepada adiknya.

Lelaki yang lebih muda mencebikkan bibir, "ck, gak usah terlalu berharap dia datang, Bang. Kalau emang dia menepati janji, dia mestinya ada di sini, bukan malah jalan sama yang lain."

"Jalan? Sama siapa? Keluarganya?"

"Bukan. Sama cowok," jawab Fandi singkat.

Dari seberang, terdengar hembusan nafas pasrah, sepertinya Lia tak bisa menutupi sesuatu tentang Putri padanya kali ini.

LOVE BANKWhere stories live. Discover now