d-18 | you could turn my sorrow into a song

Start from the beginning
                                    

Tapi nggak ada bantal atau selimut. Trinda bisa mati beku.

"Aku request selimut dulu." Saga hampir pergi, tapi Trinda menghentikannya.

Please deh, Saga bukan babunya. Nggak tahu diri amat kalau sampai Trinda menerima bantuannya lebih dari ini.

"Wear my blanket, then." Sebagai alternatif, cowok itu membongkar backpack-nya dan merelakan travel blanket-nya untuk Trinda gunakan.

"Terus kamu di mana?" Melihat temannya itu akan pergi, Trinda bertanya lagi.

"Gampang. Gue cari tempat kosong yang lain."

"Kalau nggak dapet, ke sini lagi aja ya, bangunin aku. Gantian kita istirahatnya."

Saga mengangguk, meninggalkan kopernya bersama Trinda, berlalu bersama backpack di pundak.


~


Kesan pertama Trinda tentang Vienna setelah belasan jam terbang adalah adalah ... 10/10 for its public transportation.

Murah, cepat.

Single ticket local train—Schenellbahn S7—cuma empat sekian Euro. Vienna Pass untuk 72 jam kalau dikurskan cuma dua ratus lima puluh ribu rupiah, bisa mengakomodasi hampir ke seluruh penjuru kota. Lebih panjang durasinya lebih murah, tapi mereka nggak membutuhkannya karena akan pindah ke Hallstatt di hari ketiga.

Kesan kedua ... belum terlalu berkesan karena deretan gedung yang pertama kali terlihat begitu keluar dari stasiun Südtiroler Platz adalah gedung-gedung warna krem dengan tembok polos yang nggak terlalu intimidating.

Restoran, kafe, dan toko-toko memenuhi kanan kiri jalan, lumayan tempting untuk disinggahi kalau saja nggak sedang menggeret-geret koper besar. Maklum, suhu siang hari menjelang sore ini ada di 15 derajat, dan melihat turis-turis lain duduk-duduk santai di outdoor seating sambil ngemil Schnitzel dan minuman panas rada bikin terinspirasi.

Untungnya, total jalan kaki dari stasiun ke apartment di Viktorgrasse cuma 400 meter. Dan Trinda cukup puas pada pilihan lokasi Winny. Decent neighborhood, gedung-gedungnya kelihatan well maintenance semua, dekat tempat jajan, dekat stasiun pula. Nggak bisa kemaruk minta view bagus, karena three bredrooms tarifnya cuma 146 Euro.

"Santai kan kita? Nggak buru-buru mau ke mana-mana?" Trinda bertanya ke Winny yang jadi kapten sembari memasukkan koper ke salah satu kamar.

"Santai." Winny menyenggol pacarnya yang kelamaan berdiri di hallway. "Nyari makan doang paling. Besok baru jalan-jalan. Lo mandi duluan, deh, Babe."

"Gue?" Theo nyahut.

"Trinda." Winny melotot.

"Maybe you should stop babe me too. It's confusing." Cowok itu mendengus pelan, membuat Michelle terkikik geli di belakang.

Itu baru kesan pertama dan kedua, selanjutnya ... Trinda speechless.

The city is beyond words.

Well, of course, it's not as well pictured as on Instagram, but still breathtaking. Perpaduan apik antara kota bersejarah dengan metropolitan lifestyle, di mana istana dengan taman-taman besar, museum, dan gereja dengan arsitektur khas imperial berdampingan dengan kafe, bar, restaurant ... it's just captivating.

"Kenapa cuma aku yang kelihatan terpukau?" Trinda mendengus ke teman-temannya saat akhirnya mereka istirahat makan siang di restaurant terdekat setelah capek keluar masuk museum.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now