prolog

35 4 0
                                    

"Hamba menghadap pada utusan dewi agung Ariona, yang mulia suci Saintess Lucia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hamba menghadap pada utusan dewi agung Ariona, yang mulia suci Saintess Lucia."

Rambut putih yang berkilau seolah memantulkan cahaya yang menerangi katerdal membuat sang gadis menutup mata dengan tangan diatas, menghalau cahaya yang tiba tiba masuk pada kaca patri.

"Pendeta Darwin? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu di ibu kota." Balas Lucia, nama yang di sebut sebut sebagai Saintess suci di kerajaan.

Gadis dengan mata yang selalu tertutup dan senyuman menenangkannya itu sangat sulit di temui bahkan jika ia berada di katerdal sekalipun. Rakyat, bangsawan, ksatria dan bahkan penyihir pun tak bisa menemui dirinya dengan bebas, gelar Saintess suci membuat lucia harus terus mengabdi pada sang dewi yang telah melindungi kerajaan.

"Yang mulia suci Saintess, maafkan atas kelancangan hamba yang telah masuk kedalam ruangan anda, hamba hanya ingin bertanya pada anda, Saintess." Telah menjadi ketetapan untuk terus menjaga pandangan saat berada di dekat saintess. Pendeta Darwin awalnya melakukan hal yang serupa dengan terus menatap pada karpet halus di bawah kaki.

Entah keberanian dari mana, ia menatap lurus pada Lucia dengan raut wajah tidak ramah. "Hamba mendengar bahwa anda telah melanggar kode etika gereja, Saintess." Ucapnya penuh amarah.

Bahkan tinggal dekat dengan dewi sekalipun tak bisa membuat sifat setiap orang di dalam gereja menerima Lucia dengan lapang dada, pasti selalu ada rasa iri dan cara jalan yang salah untuk mengusir Lucia dari gereja bahkan ibu kota.

"Benarkah, pendeta Darwin?" Lucia memiringkan kepalanya, seolah sedang berfikir dengan apa yang dikatakan oleh pendeta Darwin. "Aku tidak ingat pernah melakukan kesalahan?" Ucap Lucia dengan nada mengejek.

Pendeta darwin menghela nafas kasar, ia berdecak dan langsung berkata dengan nada amarah. "Mohon untuk melakukan pemeriksaan Saintess!"

Lucia terdiam, membuka matanya pelan menatap pada seorang pria paruh baya yang berani menaikan nada suara padanya, seorang Saintess.

"Jika aku, seorang Saintess melakukan kesalahan, bagaimana dengan dirimu pendeta Darwin?" Suara langkah kaki terdengar, rambut yang panjang dan lurus itu bergoyang kearah kanan dan kiri menyesuaikan dengan sang pemilik yang berjalan menuju kearah kursinya. "Bagaimana dengar para manusia yang sedang menginjakan kakinya diatas tanah kerajaan ini, pendeta Darwin? Jika aku yang kau sebut sebagai sebagai Saintess suci saja melakukan kesalahan, kau ingin menyebutku apa pendeta darwin? Pendosa? Atau pengoda?"

"A-Apa?!"

"Mengapa kau terkejut? Bukankah itu sebutanku saat kau bersama dengan yang lain?" Memangku wajah cantik bak pahatan terbaik yang pernah dibuat sang dewi pada salah satu makhluknya, Lucia menatap remeh pada pria tua dengan raut kesal itu.

"Hanya ada satu tempat bagi para penghianat, tempat para pendosa dan seluruh keputus asaan." Ucapan Lucia beramaan dengan sebuah lonceng besar di tengah ibu kota yang bergerak hingga menimbulkan suara yang nyaring. Suasana hening yang menggema dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan dialami oleh pendeta Darwin.

"Menjual artefak gereja dipasar gelap, perbudakan di desa terpencil, perzinahan, dan juga penghianatan pada dewi Ariona. Kau paham dengan suara malaikat tadi, pendeta Darwin?"

"TI-TIDAK!! ITU TIDAK B-BENAR!!" Kepanikan langsung menyelimuti seluruh pikirannya. Rasa panik, ketakutan dan amarah menyatu seolah membuat semua rencana untuk menghancurkan nama baik Lucia hilang. "KAU SALAH!! SIALAN MANA MUNGKIN AKU MELAKUKANNYA!!"

"Pendeta Darwin-"

"JALANG SEPERTIMU-!! MANA MUNGKIN!?"

"Hadapilah hukumanmu, dewi Ariona berbaik hati memberikan keringanan terhadapmu..."

"A-APA?!"

"Matilah dengan tenang..." seekor ular mengigit pergelangan kaki pendeta Darwin dari balik jubahnya. Gigi taring itu menancap dalam hingga mengeluarkan darah. Pendeta Darwin meringis kesakitan berusaha melepas ular di kakinya. Namun tak berselang lama ia terdiam dengan kepala yang terus berdenyut sakit.

Tubuh pendeta Darwin terkapar dengan busa yang terus keluar dari mulutnya. Tubuh yang pucat dan terus menerus bergetar hingga sang maut menjemputnya.

"Hanya sang dewi yang bisa membalas semua perbuatanmu melalui alam. Semoga kau tenang, pendeta Darwin.."

Angin dan awan gelap datang dengan cepat, langit cerah berganti dengan suasana gelap dan keheningan. Api menyulut jasad penuh dosa dengan cepat entah dari mana, petir bergemuruh namun tak ada tanda akan adanya hujan. Tak ada seorang pun yang menyaksikan bagaimana jasad itu habis dilahap api yang membara.

"Segala kehidupan dan kematian pasti berakhir, pergilah menuju kedamaian tampa akhir."

Sang Saintess saja hanya duduk membelakangi, menatap pada jendela kaca patri dimana tergambar seorang wanita dengan segala warna putih. Pakaian, rambut, perhiasan bahkan mahkotanya yang indah tergambar dengan warna putih.

"Kau sangat mengerikan Ariona, jangan biarkan karpet itu terbakar." Lucia menutup matanya lelah, ia ingin hidup dengan kesenangan tetapi takdir seperti sangat membencinya. "Aku mengumpulkan uang untuk mempercantik katerdal ini, dan harga karpetnya mahal!" Gerutunya.

Berdiri dengan cepat dan berjalan menuju pintu di sisi tembok. "Kau mendengarnya kan?"

Menutup pintu kencang bersamaan dengan abu yang berterbangan membawa abu tampa meninggalkan jejak yang tergeletak pada karpet berwarna merah dengan segala bordilan benang berwarma emas.

Menutup pintu kencang bersamaan dengan abu yang berterbangan membawa abu tampa meninggalkan jejak yang tergeletak pada karpet berwarna merah dengan segala bordilan benang berwarma emas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
FairytaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang