"Amara rindu, Bu ..." bisik Amara di telinga sang ibu.

Wanita itu hanya mengangguk pelan dan kembali mengelus kepala Amara yang tertutup kerudung.

"Saya dan Mas Ilham pamit dulu, Bu. Doa kan kami," ucap Adiba meminta izin pergi kepada ibunda Amara.

"Hati-hati, Nak. Doaku selalu menyertaimu di mana pun dan kapan pun itu," balas ibunda Amara sambil melepas pelukan Adiba, dan beralih mencium kening gadis cantik itu.

"Titip Amara ya, Bu." Imbuh Adiba. Wanita itu kembali menganggukkan kepala.

"Ayo, Mas." Ajak Adiba, Ilham bergegas mengikuti langkah Adiba, meskipun ia tidak tahu apa maksud dari ajakan tersebut.

"Assalamu'allaikum," pamit Adiba.

"Wa'allaikumussalam," balas Amara dan juga sang ibu.

Adiba berjalan mendahului Ilham, tak lama kemudian Ilham menyusul dari arah belakang. Ia hanya memandang Adiba dari kejauhan, sejak dulu gadis itu memang penuh dengan misteri. Dari mulai berpakaian, cara bersikap dan juga tingkah laku. Bahkan Ilham sangat penasaran dengan paras Adiba yang selalu tertutup cadar.

"Mas," tiba-tiba Adiba berhenti sambil memanggil namanya.

"Ya, Ba." Sahut Ilham mendekat.

"Aku harap kamu baik-baik saja, Mas. Apa yang akan kita hadapi di sana, jauh lebih sulit dibanding dengan ayahmu. Berhati-hatilah! Kau boleh baik kepada siapa pun, tapi tolong, jangan memercayai orang yang baru kau temui," ucap Adiba, sambil terus memunggungi Ilham.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ba? Dan ada apa dengan itu? Apa hubungannya dengan aku?" Tanya Ilham, ia berusaha menahan emosi dengan membalas ucapan Adiba sembari memandang lurus.

"Mas, semua yang terjadi sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Mau dengan cara apa pun, kita tidak bisa menghindari takdir. Waktu kita sangatlah sedikit, tolong jangan membuang waktu untuk percakapan tak penting!" Jawab Adiba dengan nada tegas.

Ilham menarik napas panjang, kemudian mengembusnya lewat mulut. Ingin sekali rasanya membantah kata-kata gadis cantik itu, akan tetapi Ilham memilih untuk diam, sebab ia tahu bahwa berdebat dengan perempuan tidak akan pernah menang, karena perempuan akan selalu mencari pembelaan.

Matahari kian condong ke barat, perjalanan Adiba dan Ilham kembali ke desa cukup memakan waktu yang sangat lama. Padahal, jika malam hari waktu terasa begitu cepat di lalui.

Adiba mulai kelelahan, kedua kakinya terasa pegal untuk berjalan. Langkahnya mulai melamban, melihat hal tersebut, Ilham segera mengajak Adiba untuk beristirahat.

Adiba menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang tumbuh besar di hutan. Sesekali ia juga terlihat merapikan gamis yang dipakainya. Gamis hitam yang penuh debu itu, di sekanya dengan jerami lentiknya.

Ada sesuatu yang mendesir di hati Ilham, ketika memandang Adiba cukup lama. Mata itu tak lepas dari setiap gerak-gerik sang gadis. Tak terasa ada senyum yang terulas manis di bibir pemuda tersebut.

Tak ada obrolan selama sepuluh menit berlalu. Ilham masih betah memandang Adiba, sementara Adiba terlihat menunduk, sambil duduk di bawah pohon rindang yang memayungi tubuh mungilnya.

"Di usia lima belas tahun, seharusnya kamu bermain bersama teman sebaya, Nak. Maafkan bapak, sudah memberimu tanggung jawab yang teramat berat," Adiba segera menyeka air matanya yang mulai membasahi penutup wajahnya. Ia ingat dengan kata-kata sang bapak, di saat terakhir Pak Parta berpamitan untuk menemui Nyai Sekar. Pak Parta adalah kaki tangan Nyai Sekar selama di desa. Ia juga yang selama ini meneror desa. Awalnya Adiba merasa marah, tetapi setelah Pak Parta menjelaskan semuanya, Adiba segera memeluk sang bapak dan meminta maaf.

"Ba ..." panggil Ilham.

"Dalem, Mas?" Jawab Adiba.

Ilham tersenyum, sambil membuang napas yang ia hirup sebelumnya.

"Kamu nangis?" Terka Ilham.

Adiba menggeleng sambil mengusap kedua matanya, "Tidak Mas, hanya terkena debu."

Ilham tersenyum kecil, "Mari lanjutkan perjalanan,"

Adiba mengangguk, kemudian beranjak dari duduknya.

"Ba, kalau boleh tahu, siapa wanita yang bersamamu tadi?" Tanya Ilham penasaran.

"Beliau ibunda Amara, istri dari Kiai Sobirin." Jawab Adiba sembari terus melangkah, kedua kakinya berjalan menapaki dedaunan kering yang tersebar di tanah. Sesekali ia, terlihat menendang kerikil kecil, hanya untuk sekedar menghibur diri.

"Benarkah?" Ucap Ilham sedikit terkejut. Pasalnya, selama di Pondok, Ilham sama sekali belum melihat, bahkan bertemu dengan istri dari Kiai Sobirin.

"Ya," singkat Adiba.

Saat hendak melanjutkan kalimat, Ilham segera menutup mulutnya dengan cepat dan menarik lengan Adiba, dan mengajaknya bersembunyi.

"Ada apa, Mas?" Adiba menepis tangan Ilham saat Ilham menarik lengannya dan menyuruhnya bersembunyi di balik semak.

"Ada anak buah Bapak," jawab Ilham sambil menunjuk ke arah seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari jalan raya.

Adiba terbelalak melihat orang tersebut. "Mas Baskara?"

"Kamu kenal?" Tanya Ilham.

Adiba mengangguk. "Ya,"



JALAN PULANGحيث تعيش القصص. اكتشف الآن