"Adiba ..." Ilham segera membuka kedua matanya lebar-lebar saat mengetahui Adiba juga berada di sana. Gadis itu tersenyum, terlihat dari ujung mata yang menyipit.

"Kamu tidak apa-apa kan, Ham? Apa yang sakit, bagian mana?" Amara terlihat cemas. Ilham hanya menggelengkan kepala, sambil menepis lembut tangan Amara yang meraba tubuhnya. Sontak Amara segera menjauhkan tangan. Ia sadar jika itu sangat di larang oleh agama, kecuali di saat yang genting.

"Aku tidak apa-apa, Ra. Kamu tidak perlu cemas," jawab Ilham sambil tersenyum.

"Kamu sudah bisa jalan belum, Ham? Kita harus segera pergi dari sini sebelum Pak Asep sadar kembali," ucap Adiba memandang ke arah Ilham dengan tatapan tajam.

"Sudah, Ba. Ayo kita pergi da-

Ilham kembali terhuyung ketika hendak berdiri. Amara dengan sigap menangkap tubuh Ilham dan menarik tangannya, kemudian meletakkan tangan Ilham di pundak Amara.

"Hati-hati, Ham. Kamu baru sadar, keseimbangan tubuhmu masih belum stabil," kata Amara seraya memandang wajah Ilham yang berjarak sekian inci darinya.

Ilham menganggukkan kepala, dan berjalan secara tertatih dengan bantuan Amara.

"Ikut aku," titah Adiba, yang kemudian berjalan mendahului keduanya.

Matahari kian menjulang tinggi. Teriknya menyelinap di antara dedauan hijau yang tumbuh lebat memayungi tanah kering yang terpijak oleh kaki. Suara kicauan burung terdengar merdu, entah di mana saja gerangan. Suasana hutan yang masih asri itu, sedikit membuat hati Adiba tenang. Udara segar yang ia hirup begitu menenangkan.

Dari belakang, Ilham dan Amara masih saling berangkulan. Amara dengan langkah pelan, berusaha mengimbangi jalan Ilham. Begitu juga dengan Ilham. Pemuda itu sesekali melempar senyuman, saat Amara memandangnya. Ada sesuatu yang berdebar di sana, ada pula gejolak batin yang sedang bertarung dengan isi kepala. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing.

"Kita sudah sampai," ucap Adiba ketika langkahnya terhenti di depan sebuah gubuk tua yang hampir roboh. Perjalanan mereka memakan waktu hampir dua jam. Terkadang, Amara meminta untuk beristirahat sejenak, semuanya terasa letih apalagi melihat kondisi Ilham yang masih dalam pemulihan.

"Apa kamu yakin, ini tempatnya, Ba?" Tanya Amara. Gadis itu tampak ragu melihat gubuk tersebut.

"Yakin, Ra. Selama ini, di sini lah aku bersembunyi. Tempat ini sangat aman dari kejaran orang-orang itu. Dan, hanya orang yang berhati bersih, yang bisa menemukan gubuk ini," jawab Adiba sambil terus melangkah, dan membuka pintu gubuk tua itu.

"Assalamu'allaikum,"

"Wa'allaikumussalam,"

Amara dan Ilham sama-sama terkejut, saat mendengar ada orang yang menjawab salam Adiba. Kemudian keduanya saling beradu pandang, dari raut wajahnya, mereka tengah memikirkan hal yang sama.

"Ra, Mas Ilham, Mari masuk!" Titah Adiba.

Amara mulai melepas tangan Ilham dari pundaknya. Sementara Ilham perlahan berjalan menuju gubuk tersebut bersamaan dengan Amara.

"Assalamu'allaikum ..." Amara sangat terkejut saat hendak masuk ke dalam, dirinya melihat seseorang yang tengah duduk di samping Adiba.

"I ... bu?"

Ilham menoleh ke Amara, lalu kemudian menoleh ke arah wanita yang tengah tersenyum kepadanya dan juga Amara.

"Ra ..." lirih Adiba, mata indah itu tak luput dari deraian air mata.

"Bu ..." Amara berlari dan segera memeluk wanita yang dipanggilnya ibu. Tangis Amara pecah, seketika suasana menjadi haru. Kedua gadis itu saling berpelukan bersama ibunya. Sementara Ilham, hanya duduk terdiam menyaksikan pemandangan haru tersebut.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now