Smaragd (III)

59 13 35
                                    

“Oh, iya.” Halwa meletakkan tangan kananya di bawah pundak kiri. “Halwatuzahra. Kamu?”

Yang ditanya tampak berpikir, lalu menulis sebuah huruf di udara dengan jari.

“Oh! Maaf. Seharusnya aku lebih peka. Maafkan aku,” sesal gadis itu dengan bahasa isyarat.

Lelaki pucat menggeleng. Ia memperagakan sesuatu dengan kebingungan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa “Aku tidak bisa bahasa isyarat.”

Butuh beberapa waktu bagi Halwa untuk mencerna itu. Ia semakin merasa bersalah karena tidak menyadari perihal mulut yang hening tersebut. Tetapi keduanya berakhir tertawa kecil karena merasa malu sekaligus lucu.

Lelaki pucat menjentikkan jarinya beberapa kali untuk mendapat perhatian dari Halwa, lalu kembali menulis sesuatu di udara.

“Hm? O ... L ... I ... V ... E ... R ... R ... A ... I ... N,” eja Halwa. “Oliver Rain? Nama kamu?” Pria itu mengangguk.

“Salam ken—” Gadis itu hampir terperanjat ketika namanya dipanggil dari belakang. Ia menoleh, mendapati sosok Ceysa dalam mobil hitam.

“Lo ngapain di situ?” tanya Ceysa dari samping bangku pengemudi.
Di kursi belakangnya, menyembul kepala Maya ketika jendela mobil terbuka. “Ternyata kamu di sini, Halwa. Ayo masuk sebelum hujannya semakin deras.”

“Buru. Bentar lagi waktunya gue ngumpulin niat sebelum berangkat ke apotek,” perintah Ceysa. Wajah RBF cantiknya tampak lebih garang dari biasanya.

Halwa hendak merespon, tapi terurung saat teman-temannya baru memahami bahwa laki-laki di sampingnya adalah seseorang yang mereka temukan di gedung tua dekat pusara. Kedua gadis itu tampak tertegun oleh penampilan Oliver yang lebih bersih dan layak. Terlebih kaus putih dan rambut sedikit bergelombangnya yang telah tersiram air hujan.

“Gila ....” gumam Ceysa dan Maya bersamaan. Mendapat tatapan seperti itu, Oliver yang tak paham hanya membalas dengan tersenyum lembut.

Melalui tawaran dari Ceysa—lebih tepatnya dikatakan sebagai kebaikan yang memaksa—Halwa, Oliver dan Oren memasuki mobil. Namun, situasi yang diciptakan justru aneh. Ceysa sibuk menggerutu dengan supir pribadinya tentang peristiwa-peristiwa menyebalkan selama shift malam, seperti trik seribu cara beberapa remaja untuk menyalahgunakan obat, atau orang nan keterlaluan iseng membuang kotorannya yang dibungkus plastik bening di depan apotek.

Sahabat Ceysa—Maya—tengah tenggelam damai dalam dunianya sendiri. Ia sibuk melihat hujan, lalu melukis suatu elemen dengan gaya fantasi. Semua tahu, tidak ada yang bisa mengganggunya di saat seperti ini, kecuali ingin menantang dan merasakan amarahnya yang ngeri. 

Adapun Halwa yang jarang berinteraksi dengan kedua gadis itu, tentu bingung harus bagaimana. Memilih menutup mata, tapi warna orang-orang di sekitarnya malah makin terlihat, apalagi Oliver yang duduk paling belakang. Semakin fokus, semakin berkilauan hijaunya yang kian memberikan damai dan segar—baru ia sadari pula selalu ada luapan ruby passion di sana. Gadis itu membuka mata akhirnya. Memutuskan untuk menelusuri keindahan kota di bawah rinai dari jalan yang tinggi itu sebagai cara pengalihan.

Di lain sisi, dengan handuk yang diberikan oleh si Pengemudi, Oliver sibuk tersenyum sambil mengeringkan Oren nan tertidur kelelahan. Ia menemukan kenyamanan di antara kesibukan masing-masing tiap orang. Gerak bibir yang berceloteh, atmosfer seorang seniman, kecanggungan, bertemu teman lama, ini adalah kehidupan yang normal ketika berada dalam situasi sosial. Akhirnya ia merasakannya lagi setelah sekian lama. Lelaki itu memejamkan mata dan menyadarkan punggung untuk mendengarkan nyanyian katak, keluhan para burung, percakapan tupai-tupai, keriangan siput, hingga semangat prajurit semut dan lebah dalam menuju sarang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HEURISTIKWhere stories live. Discover now