Cheese Reaction (I)

147 36 256
                                    

“Campur dan buatlah puyer 12 bungkus sekian takaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Campur dan buatlah puyer 12 bungkus sekian takaran. PCT ... (250 x 12) ÷ 500 = 6 tablet. CTM-nya (2 x 12) ÷ 4 = 6 tablet juga. Oke!” gumam seorang gadis berbaju Farmasi dengan name tag bertuliskan Halwatuzahra. Kedua tangannya berlarian mengambil obat yang diminta sebelum dimasukkan ke dalam mortir untuk dihaluskan, sedangkan raut wajah lembut itu seolah-olah bersumpah untuk tidak mengecewakan orang-orang nan memerlukan bantuan.

Di ujung penggerusan, Halwa menoleh ke arah Pembimbing Lapangan---Pak Arno---dengan tangan kanan yang masih terangkat memegang alu. “Oh, iya. Permisi, Pak.” Yang bersangkutan menoleh dari telepon genggam. “Untuk minggu ini, puyernya memakai alat atau manual?”

“Manual saja. Sekaligus untuk meningkatkan keterampilan,” jawab pria tegas pun humoris tersebut. Pengetahuan, kapabilitas, keramahan serta penyampaian informasi obat yang mudah dipahami lebih dari cukup untuk Halwa bersyukur memiliki guru sehebat beliau.

“Dan tidak perlu bergumam.” Kata-kata yang setengah gurauan tersebut menembus rasa malu Halwa. Memang, ia tidak bisa mengontrol kebiasaan yang satu itu.

“Maaf, Pak. Saya akan berusaha menanganinya,” jawab Halwa dengan senyum canggung.

Perasaan rendah dirinya segera terhalau oleh ambulans yang datang-datang membawa seorang pasien kecelakaan. Para perawat, Dokter dan Pak Arno yang merupakan Apoteker bergegas melaksanakan kewajiban. Ada pun Halwa langsung mengambil alih bagian Administrasi serta Loket Penyerahan Obat dan Kasir---yang memang merupakan ranah kekuasaan.

Tanggung jawab yang besar. Itu lah yang dirasakan bagaimana pun bentuk tugasnya. Mereka mengangkat tekanan yang berbeda, tapi sama besar dengan ikatan kebanggaan. Menjadikan pasien sebagai prioritas justru lebih baik daripada hasil yang sempurna. Karena fokus hanya pada cara bagaimana untuk menanggulangi rasa sakit, dan jalan yang paling baik sebenarnya biasa dijumpai oleh kita: berusaha memahami tanpa melupakan empati.

Samar-samar masih dapat Halwa dengar gerak cekatan karyawan klinik yang berpijak di ruangan lain. Ini membuat bara dalam dirinya berapi-api untuk turut berjuang. Kini tangannya tidak melulu menangani peracikan obat, tapi juga mendata kehadiran dan riwayat pasien sebelum diserahkan ke Dokter.

Gadis itu terhanyut dalam kesibukan hingga tak peduli waktu telah gugur seberapa banyak. Yang ia mengerti, ia bisa beristirahat sejenak sebelum ada pasien yang datang. Benar, sejenak. Karena jantungnya berdegup cepat akibat kegelisahan setelah mencuri dengar dari para perawat yang lewat bahwa pasien kecelakaan tersebut menjadi korban ketiga dari jalan yang dirumorkan menyeramkan. Rautnya menjadi mamang. Sungguh, ia tidak suka bahkan selalu menghindar sebisa mungkin dari hal-hal yang demikian.

Notif pesan grup memecahkan lamunan. Halwa menenangkan diri dan membuka pesan yang sudah ditabung lebih dari dua puluhan. Kemudian, seperti skenario Tuhan yang mengejutkan, kecemasannya lantas terdorong keluar oleh tawa setelah melihat foto mengenai seseorang yang jatuh ke selokan. Ia segera menutup mulut sebelum menarik perhatian. Dengan tawa kecil yang tak bisa ia tahan, maniknya kembali melihat tubuh temannya yang setengah hitam dengan perasaan iba juga tergelak.

HEURISTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang