Cheese Reaction (II)

119 31 204
                                    

Hulu itu mendadak tak mampu memikirkan apa pun. Penuh oleh gelombang praduga buruk. Karena itu, raganya membeku. Terlebih pada apa yang digenggam oleh lelaki pucat tersebut: kayu yang ujungnya terdapat cairan merah. Bahkan terkadang jatuh tetesan dari ujungnya.

Halwa tersentak saat lelaki pucat melepaskan apa yang di cengkamnya. Sedikit kesadaran yang kembali menggerakkan tubuh gadis itu untuk melakukan tindakan—ia meraih dan mendorong kuat payung yang digenggam lelaki tersebut hingga pemilik terhuyung mundur, kemudian angkat kaki secepat mungkin tanpa melihat ke belakang.

Dinding tinggi dari sebuah rumah besar menjadi tempat persembunyian. Asanya benar-benar tertuju pada keselamatan. Namun, di pinggiran akal berdebat mengenai warna. Menimbulkan tanya mengenai baik dan tidak. Darahnya kembali naik ketika ring telepon berbunyi. Ia segera menjawab agar suara itu berhenti.

Assalamualaikum. Ada apa, Rahma?” lirihnya selagi memastikan bahwa orang-orang jahat tidak mendengar.

Wa'alaikumussalam. Handphone-ku ketinggalan di klinik, baru sadar sekarang. Ini pakai punya Rahma. Yang penting ....” Hasna menarik napas dari rap singkatnya sebelum berubah lambat. “Kamu di mana? Aku sampai di klinik, tapi kamunya gak ada.”

“O-oh. Aku di gang sekitar ....” Gadis itu bergumam sebelum tercekat ketika menyadari tempat. “Pemakaman.”

“... Ha?!”

“Pemakaman, Hasna! Pemakaman! Cepetan kesini! Ya Allah. Ya Allah. Hasna cepetan! Tolongin Halwa! Allahu Akbar! Itu apaaa?! Ih, rumahnya banyak kelelawar!”

“Pem-pem-pem ... dan ... rumah kosong? Halwa, kamu---”

Hening. Hanya hembusan napas kasar berisi rasa frustasi, cemas dan takut dari Hasna. Kemudian diikuti permintaan maaf dari Halwa.

“Zahra, dengerin Zahran dulu sebentar,” tutur Hasna. Yang dipanggil segera diam memasang telinga. Karena itu bermakna bahwa Hasna ingin meminta fokus dan perhatian darinya. “Pikirkan bahwa kamu tenang dan baik-baik saja. Aku akan segera ke sana, jadi tetap lah di situ. Paham?”

“Iya,” jawab gadis itu. “Hasna bawa keberanian dulu sebelum ke sini, ya. 'Kan gak lucu kalau nanti dua-duanya---”

“Sshhh! Just. Wait. There.

Dengan begitu, telepon pun ditutup. Tapi Halwa tak mendengar tanda itu karena indra pendengarannya lebih terfokus pada bunyi langkah kaki di atas dedaunan basah. Sedikit melirik ke belakang, lebih tepatnya pada genangan air, terpantul bayangan seorang pria dari balik pepohonan gelap. Ia merinding pada kaki yang melaju dengan lambat, berat dan mengancam.

Lagi, situasi genting memicu aktivitas otaknya hingga meningkatkan solusi. Maka tanpa diduga, ia yang biasanya terpaku gemetar sekarang memiliki keberanian untuk melawan. Diambilnya sebuah batu dan dilempar asal, nan ternyata tepat sasaran ke dahi lawan. Akan tetapi, lelaki pucat sama-sama gigih. Ia kembali mendekat meski rasa sakit dan pusing masih menggigit.

“B-berhenti!” teriak sang Gadis setelah mengambil batang kayu yang tajam. Diarahkannya sebagai bentuk ancaman. “Berhenti atau lainnya!”

Cukup mengejutkan bahwa itu mempan. Dalam minimnya cahaya di pepohonan, Halwa melihat pria itu mengangkat tangan. Lalu mundur perlahan selagi meninggalkan payung di atas tanah dan menghilang entah ke mana.

“Loh? Kok payungnya ditinggal? Maksudnya baik, 'kah?” Hulu Halwa mengingat darah dan kayu yang terkadang meneteskan cairan merah. “Gimana kalau payungnya ada pisaunya? Ih, gak boleh suudzon! Tapi gimana kalau gagangnya ada getah racunnya? 'Kan kita harus waspada. Astagfirullah. Gak boleh suudzon, Halwa. Tapi kan---”

HEURISTIKWhere stories live. Discover now