Bab 1 Danendra Varen Segara

56 35 3
                                    


Happy Reading
____________________
😊😊😊

Seorang pria dengan tubuh proposional, tampan berambut cepmek tengah duduk di sebuah ruangan di penuhi buku seperti library. Ia kini tengah mengores pena di sebuah kertas polos, entah apa yang ia tulis yang menyebabkan ia tampak sangat serius dengan kegiatannya.

Dunia terkadang memang tidak adil
Karena, tak semua orang beruntung
Dunia itu pusatnya kekecewaan
Hanya pencipta yang tau tentang kehidupan

Namanya Danendra Varen segara, Varen sapaannya,  kini ia menjalani hobby sebagai seorang penulis.
Katanya "Menulis adalah Visualisasi diri, menulis itu jiwa saya. Semua yang tidak bisa saya ucapkan akan saya tuliskan."

Kegiatan Varen kini bukan hanya menulis namun, juga sebagai penjaga Store Book yang Bernama Mood Book Story. Ia melayani setiap orang yang ingin mampir untuk membeli buku atau bahkan hanya membaca-baca saja. Sangat singkron dengan hobinya. Dia yang menyukai tulisan bekerja dengan tulisan.

"Permisi Nak, apa ada buku SBB..  TN?" Tanya seorang ibu, paruh baya berpikir cukup lama.
Wajah Varen yang ikut kebingungan.
"Yang buat kuliah itu."
"oh itu, buku SBMPTN?" Kata Varen membenarkan.
"Nah iya itu, Ada ?"
"Ada Bu, sebentar saya ambilkan," dengan cekatan Varen mencari buku yang ditanyakan.
"Berapa ?"
"Seratus ribu."

Mendengar harga yang diucapkan Varen, ibu itu terdiam dan sedikit berpikir. Mencari dompet di tasnya, dan menemukan satu lembar uang yang hanya tersisa lima puluh ribu.
Varen yang melihat pun kasian dan iba dengan ibu itu.
"Ibu ini spesial ada diskon lima puluh persen jadi lima puluh ribu aja."

Sungguh terkejut dengan ungkapan pria itu. Ibu menampilkan raut wajah senang.
Varen tau kerja keras seorang ibu bahkan sebagai seorang anak ia merasa sangat iri. Tapi, setidaknya ia hari ini bisa membantu seorang ibu. Senyuman tipis terlintas dibibirnya.
Firman yang menjadi sahabatnya dan partner bekerja di mood book story itu mengamati perbincangan Varen dan Ibu itu membuat hatinya begitu damai melihat kebaikan partnernya itu.

"Varen apa lo nga rugi harus bantu ibu itu ?" Tanya Firman.
" Ngak Fir, kasian ibu itu uangnya kurang. Lagian ngak ada yang rugi untuk berbagi."

"Keren lo, padahal lo juga butuh uang. Kadang juga uang lo buat makan aja masih kurang."

"Ngak, gue udah cukup kok gaji dari kerja disini. Gue juga kerja di mana-mana jadi pasti cukup." Jelas Varen.

"Habis ini jam kerja selesai lo pulang, tidur, rebahan, istirahat ya jangan kerja terus." Menepuk pundak Varen dan berlalu pergi.
Varen tersenyum melihat perhatian sang sahabat yang udah bersama dari ia bekerja di mood book store.

Pukul 16.00 sore ia menutup storenya karena, jam kerjanya sudah habis dan ia akan pulang ke kostnya. Ia pulang dengan mengunakan sepeda ontel, menikmati setiap perjalanan, dengan angin sepoy-sepoy. Lagi pula jarak mood book story juga tidak jauh dari tempat tinggalnya.

"Dug..."
Saat beberapa menit ia mengayuh sepedanya sebuah batu kerikil mengenai kepalanya.
"Aduh..."

Suara rintihannya kaget dan sedikit perih di kepalanya membuat ia tak bisa menormalkan laju sepeda nya. Sehingga, sepeda itu berjalan oleng dan terjatuh.

"Brag..."
"Hahaha," tawanya begitu menggelegar.
"Ngapain rebahan disana?" pertanyaan seperti orang tak berdosa itu muncul dari seorang gadis, yang memakai baju sekolah dengan acak-acakan khas pulang sekolah.

"Aelah, bukannya bantuin." Kata Varen dengan menampakan muka kesal.
Namun, setelah beberapa menit gadis itu meredakan tawanya dan sedikit membantu Varen. Iya sedikit, Varen bahkan sudah berdiri namun, gadis itu mengambil dua buku yang terjatuh di tanah.

Saat sepeda nya diangkat Varen agar bisa berdiri, ternyata rantai itu copot. Mungkin, faktor U. Iya, Varen  mengendarai bukan sepeda ontel yang terawat, melainkan sepeda second kenangan dari Ibunya yang sudah jelek namun, fungsinya masih baik.
"Yah, rusak." kata Aneska dengan sedikit mengejek.

Tanpa banyak kata yang diucap, Varen pergi meninggalkan Aneska dengan tatapan penuh emosi yang ia tahan.
"Ye, gitu aja baperan." Kata menohok itu keluar dari mulut Aneska.
Seketika, Varen menghentikan langkahnya dan berbalik ke gadis itu.

"Baperan?"
"Lo gatau hidup gue bahkan, Lo gatau tentang benda itu yang berguna buat gue. Bahkan, sepeda itu pemberian ibu gue yang terakhir dan paling berharga, sekarang benda itu rusak. Lo harus tau, nga semua orang itu kaya. Bahkan lo gabisa ngerusak barang orang, bagaimana jika barang itu berarti buat orang yang lo rusak, lo bisa bikin orang lain sedih. Ya, gimana kalau itu diposisi lo?"

"Lo gabisa ngerendahin orang dengan kata baperan karena, lo gatau amarah seseorang."  Kata Varen dengan emosi begitu menggebu - ngebu namun, berusaha ia tahan.
Varen memang jarang berkata panjang dengan siapapun. Dia adalah laki-laki yang sangat dingin bagi orang yang ia temui dan tak banyak bicara.

Gadis itu hanya terdiam, menunduk, dan, menahan tangis. Karena, takut dengan bentakan.
"Sorry, ya. Nanti gue ganti sepeda lo." Kata Aneska dengan penuh penyesalan.
Kata-katanya itu tak dipedulikan oleh Varen.
"Gaperlu, lo kayaknya orang yang bisa beli segalannya. Tapi barang berharga satu-satunya punya gue yang lo rusak gak akan pernah bisa diganti dengan kekayaan."
Menghentikan ucapannya.

"SIAL ketemu lo hari ini!" Hentaknya dalam amarah.
Darimana Varen tau jika gadis itu orang kaya?.
Dari gelang tangan yang gadis itu gunakan bahkan, perawakan gadis itu bukan dari orang yang sederhana.
Aneska menuduk dalam dan merantapi kesalahannya, kata-kata Varen juga sangat panas di telinga Aneska.

"Maaf." Kata Aneska tak sadar meneteskan air mata mendengar bentakan itu.
Aneska berlalu pergi meninggalkan pria itu dengan sesenggukan dan air mata yang tampak mengalir di pipinya yang tak mampu ditahan lagi. Aneska berlari ke sebuah atas pagar jembatan yang dibawahnya terdapat sungai yang amat deras.
Varen kini terdiam, rasanya ia salah telah banyak berkata. Saat ini. Sungguh ia sadar telah menyakiti hati gadis itu.

"Tunggu," kejar Varen dan memegang pundak gadis itu.
"Maaf." Satu kata yang terucap di bibir Varen.
"Lo gaperlu minta maaf, lo bener, gue emang sial."
Kini berganti Varen yang meruntuki kebodohannya dalam mengucapkan kata.
Varen sangat benci dengan amarah karena, dengan marah ia kehilangan dirinya.
Beberapa menit ia terdiam dan gadis itu menangis terlalu dalam.
Gadis itu merasakan sakit kepala dan hampir saja ia terjatuh namun, berhasil ditangkap oleh Varen.

"Anjay. Kok tidur dimari." Panik Varen.
Varen bergegas membawanya ke bangku kosong di depan sebuah gubuk derita yang hampir roboh. Menepuk pipinya secara perlahan.
"Woii, Saurrrr....." Kata-katanya membuat Aneska membuka mata perlahan.
"Aaaaa..." Teriakan Aneska yang Amat cepreng itu mengagetkan
"Woi, lo habis ngapain gue..." Teriakannya dengan memeriksa tubuhnya.
Varen menutup telinggannya mendengar teriakan gadis itu.
"Heh Ngawur. Lagian Lo ngapain tidur disana." 
Aneska sadar bahwa, tidak ada yang terjadi disana.
"Sorry ya."

Varen diam dan pergi dari sana untuk pulang, meninggalkan Aneska.
Aneska juga segera langsung pulang.

Thanks For Reading
------------------------‐--‐--
Help Comment to Improve my story
💕💕💕


Melancolie || On Going Where stories live. Discover now