God, dia tahu dari awal.

Aku menelan ludah, malu setengah mati. Rasanya ingin tenggelam dan menyatu saja dengan es kopi di hadapanku. "Aku hanya... penasaran. Kenapa kau tidak menemuiku setelah hari itu?"

"Aku pikir kau masih marah, jadi aku menjauhimu."

"Kenapa harus menjauh?"

Dia kelihatan bingung dengan pertanyaanku? Karena tangannya menggaruk kepala tanpa sadar. "Aku memberimu waktu, Tari. Apa itu juga salah?"

"Salah!" Dia terlonjak dengan suaraku. Aku sendiri bingung dan cukup terkejut karena nadaku dua kali lipat lebih tinggi dari sebelumnya. "Kau tidak tahu aku kesepian, kan? Iya, aku akui kau sangat berpengaruh dalam keseharianku. Kau juga harus tahu aku mengalami kesulitan selama dua minggu ini karena ke mana-mana sendirian."

"Maaf," katanya tiba-tiba, bersama seulas senyum sendu yang aku tak tahu artinya apa. Kemudian dia mendorong sedikit es kopi yang sejak tadi menemaninya. "Sepertinya kau butuh itu, belum aku minum kok."

Aku memang butuh, jadi tanpa pikir panjang aku menyambarnya. Namun, dahiku mengernyit dalam ketika rasa pahit melewati kerongkonganku.

"Ini kenapa lebih pahit lagi, sih?"

"Itu resep baruku."

"Pahit! Kau mau mati muda ya?!"

"Tidak."

"Ish! Aku tidak mau! Ambillah lagi."

Mau tahu reaksinya? Dia terkekeh, entah menertawakanku atau apa, tapi aku kesal sekali melihatnya begitu. Walau dia tampan, tapi tetap saja! Sekarang mulutku rasanya asam.

"Bagiku ini tidak terlalu pahit—oh, kenapa aku merasa ada sedikit rasa strawberry?"

Tubuhku berubah kaku detik itu juga. Aku yang sejak tadi memandang arah lain karena kesal dengan wajahnya, langsung menoleh dan menemukan dia baru saja mencicipi kopinya. Seharusnya itu tidak aneh, tapi kalimatnya membuatku langsung berpikir—

—jangan-jangan lipbalm-ku tertinggal di sana?!

Lalu dia—dan kami lagi-lagi—argh!

"Kau pakai lipstik atau semacamnya, ya?"

Gosh. Aku sepertinya harus lari sekarang.

"Tari—hei?! Mau ke mana?"

Aku benar-benar kabur darinya. Tidak aku jawab juga teriakannya, apalagi menoleh padanya. Yang aku dengar selanjutnya adalah suara desisan dari penduduk perpustakaan yang mungkin terganggu dengan suaranya.

Ini memalukan. Untuk pertama kalinya aku benar-benar malu pada Han Seungri setelah 3 tahun saling mengenal. Bagaimana bisa aku justru teringat kembali pada kejadian itu?!

Kakiku berhenti melangkah setelah beberapa meter menjauhi gedung perpustakaan. Istirahat dulu sebentar sepertinya bukan ide yang buruk, lagipula napasku ngos-ngosan karena lumayan jauh berlari.

Namun saat dua tanganku masih bertumpu pada lutut, kurasakan seseorang menjajariku. Aku menoleh refleks, hanya untuk kembali freezing karena dia adalah Han Seungri.

"Kenapa kabur terus, hm?"

Aku masih membeku- tidak, sepertinya aku sudah berubah jadi patung karena aku sendiri tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku.

"Hei, apa kau tidak pegal? Berdiri yang benar." Dia membantuku berdiri tegak, dan atas pertanyaannya barusan, aku hanya mampu menggelengkan kepala.

"Aku... juga tidak tahu."

"Kenapa tidak tahu?"

"Aku hanya mengikuti instingku."

Sepertinya salah aku menjawab jujur begitu, karena dia langsung tertawa. Awalnya seperti menahan tawa, lalu begitu aku menatapnya, tawanya pecah. Dia sampai terpingkal-pingkal.

Sementara aku, merengut tidak suka. "Jangan tertawa!"

"Baiklah, baiklah. Tapi apa kau tahu?" Suaranya kembali seperti biasa, jadi aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya aku tidak suka melihat orang-orang memarahiku, tapi jika itu kau, entah kenapa aku malah suka."

"Kau suka melihatku marah-marah?"

"Karena kau lucu."

Crap!

Aku terbatuk beberapa kali, namun menolak saat Han Seungri menyerahkan kopi keramat itu padaku. Tidak lagi. Aku tidak akan menyentuh apapun yang memang miliknya.

"Kau membutuhkannya, ambil saja."

"Tidak, tidak usah. Aku baik-baik saja." Aku berusaha mengatur nada suaraku agar tenggorokan ini bisa lebih lega, walau sejujurnya sangat perih. "Aku pulang—"

"Kau tidak mau jalan-jalan dulu? Aku dengar di Namsan ada semacam pameran foto, kau tidak ingin melihatnya?"

***

Pameran yang dimaksud Han Seungri adalah exhibition yang dibuat penggemar untuk idolanya. Yah, segila-gilanya aku pada Park Ji-young, ada yang lebih tidak waras karena fans dari idol grup Kpop yang sekarang sedang mendunia ini bisa menghabiskan ratusan juta hanya untuk memenuhi kebutuhannya sebagai penggemar. Aku tidak mengenalnya, tapi orang dalam foto ternyata lumayan lucu.

Aku baru tahu jika tampilan bisa langsung merubah aura seseorang. Dan idol menggunakan itu- mungkin agar tidak bosan? Lihat saja foto di sebelah kiri dia terlihat seperti CEO yang dingin, tetapi di sebelahnya kulihat dia seperti anak kecil yang polos dan konyol. Ini dia sebenarnya umur berapa, sih?

"Dia terlihat sangat natural, seolah ada banyak orang dalam tubuhnya. Hebat juga."

"Tuntutan pekerjaan. Mereka kan produk."

Aku menoleh cepat dengan raut bingung. "Produk?"

"Iya, setelah menjadi selebritas, mereka sudah bukan manusia lagi, mereka adalah produk yang harus takut kehilangan nilainya. Mereka dituntut bisa segala hal, tapi tidak bisa menyuarakan pendapatnya. Kasarnya, mereka adalah boneka agensi."

"Kenapa terdengar menyeramkan sih? Aku membayangkan bagaimana kehidupan pribadi Park Ji-young kalau begini."

"Setidaknya jadwal aktor lebih longgar, adik sepupuku yang bekerja sebagai idol sudah tidak pulang 2 tahun terakhir."

"Heol!"

"Tidak usah kaget begitu, itu konsekuensi. Jam kerja idol memang gila."

Entah kenapa, tapi pembicaraan kami malah berbelok ke arah menghibah tentang selebriti. Tidak sampai sana, topik itu berlanjut sampai kami sempat berdebat setelah aku tahu kalau Han Seungri pernah di-casting oleh salah satu agensi saat SMP dulu. Ya, aku akui visualnya setelah dewasa memang tampan, aku mendebatnya yang menolak tawaran itu padahal itu kesempatan emas!

"Kau bicaralah dengan appa-ku. Dia yang menolak agensi itu."

Akhirnya kalimat itu menjadi penutup perdebatan kami karena aku jelas tidak berani memprotes keputusan ayahnya Han Seungri.

***

Jam tujuh tepat, Han Seungri mengantarku ke asrama perempuan. Harusnya aku langsung istirahat seperti perintahnya, tapi karena aku belum mengantuk, aku memilih kembali keluar. Jalan-jalan sendirian. Jam sembilan masih dua jam lagi, dan aku pun belum ke sungai Han hari ini.

Tahu, kan, alasanku ke sana untuk apa?

Jadi aku di sini. Lagi. Kembali ke titik di mana aku bertemu dengannya, dengan harapan aku bisa bertemu lagi dengan Park Ji-young. Untuk sekali ini saja... aku benar-benar ingin bicara dengan kepala yang dingin, aku ingin berbincang dengan santai, aku ingin melihatnya sebelum kembali ke Jakarta- walau masih lama.

"Kau selalu suka di sini, ya?"

Degh.

Tubuhku kaku ketika suara yang begitu aku kenal terdengar dari arah belakang.

Doaku dikabulkan!

###

| 23byeolbamm |

Cupcakes | JisungWhere stories live. Discover now