"Astaghfirullahaladzim," lirih Ahmad sembari menutup mata. Ia mencoba menenangkan diri sejenak. Tetapi, yang terlintas dipikirannya saat ini, adalah Adiba. Ada tanggung jawab yang harus ia penuhi, menjaga Adiba.

Ahmad segera memutar tubuh, ia tak peduli lagi dengan Pak Heru. Disaat ini juga, ia harus mencari keberadaan Adiba. Tapi saat hendak melangkah, tiba-tiba Pak Usman mencegahnya.

"Mau ke mana Mas?" Tanya Pak Usman sambil memegang lengan Ahmad.

"Saya mau istirahat sebentar Pak, tiba-tiba saja kepala saya pusing," jawab Ahmad berbohong.

"Apa Mas Ahmad tidak penasaran dengan kebenaran ini," imbuh Pak Usman.

"Maaf, Pak. Saya memang penasaran, tetapi kepala saya benar-benar pusing. Saya butuh istirahat." Tukas Ahmad dengan tegas. Pak Usman hanya terdiam, kedua matanya menyipit, seakan mencoba menebak isi kepala sang Ustaz.

Sementara Ahmad berjalan meninggalkan kerumunan orang-orang itu dengan perasaan yang resah. Sisi lain, ia ingin mengetahui semua kebenarannya. Di sisi lain, ia sudah lupa dengan tujuannya ke desa. Bahkan sebelum pingsan pun, dirinya sudah mengabaikan amanat Kiai Sobirin.

"Astaghfirullahaldzim," lirih Ahmad sembari menghirup udara di pagi hari. Sayang, udara sepagi ini sudah semalam tercemar dengan aroma anyir dari bekas noda darah milik para warga yang tewas akibat melawan para kelompok tudung hitam.

"Mas," panggil seseorang.

Ahmad segera menoleh, "Mas Yudi,"

Yudi dengan langkah gontai, berjalan menuju Ahmad.

"Kamu tidak akan bisa menemukan Adiba, karena ..." Yudi sengaja menjeda kalimat, saat melihat Pak Usman yang datang menyusul Ahmad.

"Mas Ahmad, apa kamu yakin tidak ingin mengetahui semuanya? Suparta sedang mendesak Pak Heru untuk mengaku, saya yakin Mas akan terkejut mendengar penjelasannya," sela Pak Usman yang tiba-tiba saja datang dari arah belakang.

Ahmad hanya menghela napas panjang. Sungguh, kali ini ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang harus ia ketahui. Keinginannya saat ini, hanya ingin bertemu dengan Adiba, itu saja.

"Maaf Pak Usman, saya butuh waktu untuk istirahat. Saya mohon, Bapak jangan mengganggu saya lagi, saya mohon Pak," pinta Ahmad sembari mengatupkan kedua tangan ke arah Pak Usman.

"Baiklah kalau begitu, Mas. Saya akan pergi," balas Pak Usman sambil memandang ke arah Yudi, pemuda itu membalas tatapan Pak Usman dengan sedikit melotot.

"Hati-hati, Mas. Semua orang yang Mas Ahmad anggap baik, belum tentu selalu baik. Terkadang, kita juga harus waspada terhadap orang baik tersebut, karena orang baik itulah yang pantas dicurigai. Sekali lagi, hati-hati Mas," imbuh Pak Usman sebelum ia kembali ke tempat semula.

Lagi-lagi Ahmad terpaksa memutar otak untuk memahami setiap kata yang keluar dari mulut warga desa Giung Agung. Kepalanya dirasa semakin pening. Ahmad menyandarkan tubuhnya ke salah satu pohon yang tumbuh lebat di tepi jalan.

"Astaghfirullahaladzim," lirihnya sambil memijit pelipis.

"Silahkan istirahat di rumah saya, Mas. Mas Ahmad bis–

"Maaf, Mas Yudi. Saya istirahat di Mushola saja." Sela Ahmad.

"Oh, baiklah. Kalau begitu saya mau menyusul yang lain," tukas Yudi. Pemuda itu segera melanjutkan langkah. Ada yang lain dari pemuda itu, dan Ahmad menyadari satu hal, setelah melewati dirinya, tak sengaja Ahmad mencium aroma tubuh Yudi yang sedikit berbeda.

"Jangan-jangan ..." Ahmad segera menepis pikiran buruknya. Ia berusaha berpikir positif terhadap Yudi. Mungkin saja, itu hanya aroma tubuh Yudi yang belum mandi. Tetapi, kenapa seperti bau bangkai?


***

"AMAAARA!" Teriak Pak Asep ketika tak sengaja melihat Amara berlari menggandeng tangan Ilham. Pria tua itu segera mengejarnya, walau dengan tubuh penuh darah.

Dengan tenaga yang tersisa, Amara mengajak Ilham untuk pergi dari tempat itu. Gadis itu dengan susah payah, berlari keluar dari rumah tersebut. Keduanya berlari sambil terus berpegangan tangan. Ini kali pertama, Ilham menyentuh Amara. Ada getaran yang hebat dalam dirinya, degup jantungnya pun berdetak tak seperti biasa. Ada malu yang ia tahan, ada perasaan senang yang ia rasakan.

"Ham, aku lelah," ucap Amara sengaja menghentikan langkah. Napasnya tersengal-sengal, sesekali ia juga melihat ke arah belakang, guna memastikan Pak Asep berada di sana atau tidak.

Melihat Amara yang mulai kelelahan, Ilham dengan cepat membopong Amara, tentu saja Amara terkejut dan hampir lompat dari dekapan tangan Ilham.

"Izinkan aku, Ra. Untuk kali ini saja," pinta Ilham dengan tatapan mata sendu.

Amara hanya mengangguk tanpa bisa mengucapkan kata apa-apa. Baru kali ini ia disentuh bahkan dibopong oleh laki-laki. Hatinya berdebar kencang. Rona kemerahan mewarnai kedua pipinya yang tampak malu-malu.

Ilham bergegas berjalan dengan langkah cepat menuju pintu depan. Di sepanjang ia melangkah, ia merasa ada yang aneh dengan isi rumahnya. Ya, ia tak melihat satu pun orang yang sebelumnya meramaikan tempat itu. Bahkan ia juga tak melihat para antek-antek bapaknya.

"BERHENTI! ATAU SAYA BUNUH KALIAN BERDUA!" Teriak Pak Asep ketika mendapati Ilham berhasil keluar dari rumah.

Ilham tak menggubris ucapan bapaknya. Ia terus berjalan sambil membopong Amara menuju area hutan. Hanya itu yang bisa ia lakukan, untuk menyelamatkan diri.

SET!

BUK!

Ilham merasa ada benda yang dilemparkan ke arah kakinya, hingga kakinya tersandung dan ia terjatuh. Keduanya tertelungkup di semak-semak. Posisi tubuh Amara tertindih tubuh Ilham. Jarak antara wajah mereka sangatlah dekat. Pandangan mereka beradu, ada senyum yang mengukir sempurna di kedua bibir mereka.

"Astaghfirullahaladzim," refleks Amara mendorong tubuh Ilham hingg terjengkang, hampir saja kepalanya mendarat di bebatuan.

"Maaf, Ham. Aku tidak sengaja," Amara berusaha berdiri untuk menolong Ilham. Akan tetapi, Pak Asep dengan sigap kembali mencengkeram tangannya.

"Kau tidak akan bisa kabur, Bodoh!" Umpat Pak Asep.

"Lepaskan saya!" Amara memberontak.

"Lepaskan Amara, Pak" pinta Ilham dengan nada tinggi.

"Dasar anak tidak tahu diri! Mati saja kau," Pak Asep melepas cengkeraman tangannya dan beralih menyerang Ilham menggunakan pisau belati yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

Ilham berusaha menangkis serangan Pak Asep, dengan brutal Pak Asep mengayunkan pisau tersebut. Pria itu benar-benar lupa jika yang ia serang adalah darah dagingnya sendiri.

Kedua tangan Ilham sudah berdarah-darah. Sebagai anak, Ilham masih mengedepankan rasa hormatnya kepada sang bapak. Ia sama sekali tak membalas serangan Pak Asep.

BUK!

Pak Asep kembali tumbang, setelah Amara memukulnya dengan batu yang diambilnya dari semak belukar. Kali ini kondisi Pak Asep lebih parah dari sebelumnya. Amara memukulkan batu tersebut tepat di kepala. Dan membuat Pak Asep terluka parah.

"Ra!" Seru Ilham.

"Ayo pergi dari sini, Ham!" Ajak Amara.

Saat hendak beranjak, tiba-tiba tubuh Ilham mengalami kejang. Ia terbatuk, dadanya terasa sesak. Kepalanya terasa pusing, tak lama kemudian Ilham terhuyung ke tanah. Dari mulutnya, keluar darah yang berbusa.

"Ham! Ilham! Ham! Kamu kenapa?" Amara sangat panik melihat kondisi Ilham.

"Dia sudah terkena racun," sahut seseorang dari arah belakang Amara.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now