Lembayung senja mulai terlihat, jalanan Tokyo pun mulai dipadati dengan para pekerja kantoran serta murid sekolahan yang hendak pulang. Berbeda dengan yang lain, Shiori sudah di toko bunganya. Bergantian dengan Touka, asistennya-yang selama ini tidak pernah disebut-, kini giliran Shiori yang menjaga toko bunganya.
Si gadis pun memulai giliran jaganya dengan merapikan toko dan mengganti air di setiap vas bunga-bunganya. Dengan raut wajahnya yang datar, ia tak memikirkan apa pun selain Suguru. Rupanya pertemuannya beberapa waktu lalu masih menghantui kepalanya.
Semenjak hari itu, Suguru juga belum lagi menampakkan dirinya di hadapan Shiori. Berbagai spekulasi pun bermunculan dalam benak Shiori dan membuatnya terombang-ambing dalam kegamangan. Meski sudah berusaha menyibukkan diri, tetap saja hal itu tak tertahankan.
Di tengah aktivitasnya, tiba-tiba seorang pemuda menyapanya.
"Yoo, Shiori"
"Oh?!" Shiori mengerjap terkejut atas kehadiran manusia itu "S-Satoru..?!" Shiori buru-buru melihat sekeliling Satoru dengan panik.
"Ada apa? Apa kau mencari seseorang?" Tanya Satoru sedikit bingung.
"Eh? Ah... Tidak" Shiori seketika menundukkan kepalanya. Rona merah nampak di kedua telinganya "Emm, apa yang kau lakukan di sini, Satoru?" Shiori kembali menatapnya dengan biasa.
"Oh... itu..." Satoru menjeda lisannya karena memikirkan reaksi aneh Shiori barusan. Di saat bersamaan ia juga berpikir jawaban apa yang bisa ia berikan.
"Ya, bisa kau lihat sendiri" Lanjutnya sembari memamerkan kantong belanjaannya-yang didominasi oleh makanan manis.
"Ah... kau membeli mochi kesukaanmu itu?" Shiori bertanya sambil tersenyum, sayangnya Satoru tahu senyuman itu tak berarti apa-apa untuknya.
"Umh" Satoru mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian keduanya hening. Shiori pun kembali menata bunga-bunganya, sementara Satoru sibuk memperhatikan sekitar sambil menelaah isi hati si gadis.
Diperhatikannya setiap sudut toko Shiori. Meski samar, entah mengapa ia merasakan ada banyak residu energi kutukan di tempat ini. Namun belum selesai Satoru mengobservasi, si gadis membuatnya teralih dan membuat Satoru jadi memperhatikan hal yang dilakukan Shiori. Mulai dari langkahnya yang lesu, gerakkan tanganya yang lemah, hingga sapuan angin yang membuatnya harus menyisipkan rambut lurusnya ke belakang telinganya yang mungil itu.
"-?" Satoru mengerjapkan matanya setelah menyadari apa yang baru saja di lihatnya. Ia pun mendekat dan tanpa permisi ia raih rambut panjang nan halus Shiori dan menatapnya dengan lekat.
"Bukankah sebelumnya rambutmu selalu bergelombang? Kenapa hari ini tiba-tiba jadi lurus?" Tanyanya dengan santai.
"Apa?" Shiori yang tak sadar rambutnya tengah dimainkan pun menoleh "A-apa yang kau lakukan?!" Seketika ia langsung mundur begitu sadar dengan apa yang dilakukan manusia jangkung berambut putih itu.
"..." Alih-alih menjawab, Satoru malah terdiam memperhatikan si gadis dengan tatapan dalam. Kali ini semburat merah tak hanya muncul di telinganya, tapi di pipi dan di ujung matanya.
Satoru tak begitu peduli dengan pipinya yang merona. Hanya saja jejak merah di ujung mata si gadis itu mengganggu pikirannya. Apa ia baru saja menangis? Satoru bertanya dalam benaknya, mengabaikan si gadis yang mulai merasa risih.
"Satoru?!" Shiori mulai panik. Ulah Satoru kali ini agak membuatnya takut. Menyadari hal itu Satoru justru tak mundur, ia bahkan malah sengaja menunduk mendekati wajah Shiori.
Brak-!
Shiori yang terkejut sekaligus panik langsung menunduk dan mundur. Tanpa sengaja ia pun menjatuhkan ember di belakangnya.
"Ah, begitu rupanya" Satoru kembali mundur sambil menyeringai. Di sisi lain Shiori tengah menatapnya dengan penuh tanya, tak luput pula dari rasa kesal dan malu.
"Apa maksudmu?!" Dengan penuh penakanan Shiori bertanya.
"Shiori..." Satoru lagi-lagi menatapnya dengan dalam "Dengan penampilan apa pun, seseorang akan tetap menyukaimu bila mereka tulus"
"Ha-?!" Penuturan Satoru yang jauh di luar prediksi ini sontak membuat Shiori menganga keheranan.
"Jangan khawatir oke?!" Seru Satoru seraya mengusak rambut si gadis.
"Ada apa denganmu sih?!!" Shiori sontak menepis tangan Satoru. Setelahnya ocehan pun mulai menghujani Satoru. Meski begitu pemuda itu malah tetap tersenyum tanpa dosa, dan menganggap ocehan si gadis seperti gonggongan anjing kecil yang merajuk.
"Ugh! Dasar menyebalkan!!" Shiori langsung memunggungi Satoru dan berusaha kembali fokus pada bunga-bunganya.
Tanpa ia kethaui wajah Satoru yang sejak tadi slengean seketika berubah menjadi dingin. Sambil melemparkan pandangannya ke arah lain ia memasukan kedua tangannya ke saku dan bergumam dengan datar.
"Apa yang telah kau lakukan padanya, Suguru?"
•
Angin malam berhembus kencang. Gemersak suara pepohonan menambah kesan gelisah, membuat pikiran keruh Michio semakin menjadi.
"Michio-sama, kurasa firasat anda benar"
"Bagaimana bisa kau malah membuatku semakin khawatir, Takeshi"
"Maafkan saya, Michio-sama. Tapi berdasarkan pengamatan kita, ini sudah pasti akan terjadi pada nona"
"Takeshi!" Michio menukikan suaranya, meminta asistennya untuk berhenti bicara.
Tanpa diberitahu pun, Michio sudah paham betul apa yang akan terjadi. Ia juga sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Hanya saja berbagai pertimbangan membuatnya larut dalam rasa gamang.
"Michio-sama... setidaknya kita harus segera mengantisipasi kemungkinan terburuk" Takeshi kembali berucap, kali ini ia bicara dengan lebih lembut agar Tuannya tidak terlalu khawatir.
"Takeshi..." Michio menatapnya dengan putus asa "Apa tidak masalah jika kita tidak melakukannya?"
"Eh..?" Raut yang campur aduk tergambar di wajah Takeshi "Michio-sama..."
"Kita harus tetap melakukannya ya?" Mengetahui bahwa asistennya akan membantah, Michio pun hendak mengurung niatnya.
"Jika anda berkenan, maka saya akan dengan senang hati mengabdikan diri untuk nona" Jawaban Takeshi yang berlawanan dengan dugaannya sontak membuat Michio tertegun sejenak.
"Takeshi..." Michio memutar kursi kerjanya dan menghadap ke arah jendela. Sambil menatapi langit ia merenungkan pilihannya "Apa putriku akan baik-baik saja dengan pilihan ini?"
"Michio-sama, bagaimana pun meneruskan keturunan keluarga adalah prioritas anda saat ini"
"Bagi saya entah anda mau membangun keluarga baru atau membawa nona kembali, saya akan selalu mendukung pilihan anda asal anda dapat memenuhi prioritas anda"
Michio tersenyum sayu mendengar penuturan asistennya. Takeshi memang sangat mendedikasikan diri untuk keluarganya. Membuat Michio salut karena seluruh jasa yang telah diberikan Takeshi pada keluarganya sejak puluhan tahun lamanya.
Namun jawaban Takeshi barusan justru membuatnya sedikit kecewa karena dirinya dianggap tak memperdulikan bagaimana perasaan putrinya kelak.
Akan tetapi di sisi lain juga memang yang dikatakan Takeshi benar adanya. Tak hanya Takeshi, setiap keluarga besar Jujutsu juga mengatakan hal yang sama padanya. Meregenerasi keluarga adalah sebuah kewajiban mutlak baginya. Hanya saja ia tahu bahwa membawa kembali putrinya bukanlah suatu pilihan yang mudah bagi kedua belah pihak.
"Hah..."
YOU ARE READING
The Only Exception; Suguru
FanfictionSetelah melalui misi sulit di musim panas, ideologi Suguru terhadap dunia jujutsu dan non-jujutsu mulai goyah. Menciptakan sebuah revolusi dimana hanya akan ada jujutsu, merupakan ideologi baru sang jujutsu berbakat, Geto Suguru. Demi mewujudkannya...
