4. Who's she?

75 52 13
                                    

Setelah selesai acara di sekolah, Enzo menyempatkan diri untuk pergi ke makam sang Bunda. Ia melangkahkan kakinya dengan perasaan sendu. Tak lupa dengan setangkai bunga di tangannya.

"Selamat hari Ibu, Bunda."

Enzo menaruh setangkai bunga di tangannya tepat di atas gundukan tanah yang sudah ditumbuhi banyak rumput hijau. Ia kembali mengusap nisan sang Bunda.

"Terima kasih sudah melahirkan Enzo ke dunia ini. Terima kasih sudah menjadi Bunda yang terbaik bagi Enzo. Enzo minta maaf belum bisa menerima semua kenyataan sampai saat ini."

Bulir bening menetes membasahi nisan di depannya. Enzo menjadi sangat cengeng apabila berhadapan dengan makam Bunda atau apapun yang berkaitan dengan Bunda.

"Sejujurnya Enzo iri, Bun. Teman-teman Enzo tadi datang bersama Bundanya sedangkan Enzo datang sendiri tanpa Bunda."

Beginilah Malvenzo. Ia akan menceritakan semua kegiatan ataupun kesehariannya setiap ke makam Bunda. Ia seolah-olah mengharap ada jawaban dari mulut sang Bunda meskipun ia harus menerima kenyataan bahwa Bundanya tak akan pernah membalas ucapannya.

"Enzo nggak profesional, Bun. Tadi Enzo nangis karena ingat Bunda saat nyanyi. Enzo pengen nyanyi lagu itu di depan Bunda, bersama Bunda."

Enzo menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti. Rasa sesak di dada semakin menjadi.

Kata orang, kehilangan sakitnya hanya sementara tetapi nyatanya selamanya. Buktinya, sampai saat ini Enzo masih merasakan sakitnya ditinggal sang Bunda.

Setelah cukup lama bercerita pada Bundanya, Enzo memutuskan untuk pulang karena melihat cuaca mulai menggelap karena mendung.

"Bunda bahagia ya disana. Sering-sering mampir ke mimpi Enzo. Enzo pulang dulu ya Bun, besok Enzo bakal kesini kalau ada waktu." Lelaki itu mencium batu nisan yang dipegangnya dengan sangat tulus.

Ternyata Enzo tak pulang ke apartemen nya melainkan ke rumah Ayahnya. Sudah satu bulan terakhir Enzo tak pernah mengunjungi rumah yang dulunya penuh dengan kebahagiaan itu. Hanya satu yang ia rindukan, kamarnya yang dipenuhi dengan potret sang Bunda bersama dirinya.

Tanpa ada perasaan sopan, Enzo menyelonong masuk ke dalam rumah yang berukuran cukup besar itu. Bibi di sana menyapa Enzo yang dibalas dengan senyuman indah oleh Enzo.

Namun tak lama senyum Enzo luntur kala melihat wanita yang menghancurkan keluarganya. Wanita itu tampak tersenyum kepadanya tetapi Enzo malah membuang muka dan terus berjalan menuju kamarnya.

Ia mengunci kamar bernuansa angkasa itu dari dalam. Ia ingin menghabiskan harinya di dalam kamar penuh kenangan tersebut.

Tidak ada yang berubah dari tata letak kamar itu. Hanya saja selalu bersih karena Bibi disana setiap hari akan membersihkan kamarnya. Tak ada satu pun orang yang berani merubah letak kamar nya sekalipun sang Ayah.

"Huft." Enzo menghembuskan nafasnya di atas kasur berukuran king size.

"Ternyata se-menyedihkan ini hidup tanpa Bunda dan ditemani oleh wanita penyebab Bunda meninggal."

Enzo menatap langit-langit kamar yang dipenuhi dengan tata surya. Banyak planet dan juga bintang-bintang disana.

Terkesan seperti anak kecil tetapi itu adalah kamar Enzo sejak dirinya masih berusia 3 tahun. Bundanya lah yang menginginkan tema angkasa maka dari itu Enzo tak mau mengubahnya menjadi polos ataupun tema yang lain.

Seiring berjalannya waktu, Enzo pergi ke alam mimpinya dengan keadaan masih memakai kostum bandnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam. Enzo baru saja terbangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya karena pandangannya yang sedikit buram. Enzo berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, lalu membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar dari sebelumnya.

Ia keluar menuju motor nya yang terparkir di depan rumah. Saat melewati ruang makan, Enzo melihat keluarga kecil tengah menikmati makan malam. Enzo berdecih melihatnya, najis sekali melihat wanita dan anaknya itu.

"Malvenzo. Sini, Nak!" ajak Giyan - ayah Enzo.

"Enzo gak sudi satu meja makan sama wanita licik itu." Mata Enzo memicing menatap wanita paruh baya yang kini tengah menatapnya dengan senyuman yang kemudian luntur karena mendengar 'kata' di kalimat terakhir Enzo.

"Enzo, kamu tidak boleh bicara seperti itu pada Mama mu. Dia sama seperti Bun-"

"Gak! Dia nggak sama kaya Bunda! Dia cuma wanita licik yang berani masuk ke kehidupan Enzo dan merusak keluarga kita!" Pernyataan tajam Enzo mampu menusuk hati Danita.

"Oke, Mama Nita tidak seperti Bunda. Tapi tolong hormati dia seperti kamu menghormati Bundamu!" pinta Giyan seraya berjalan ke arah Putranya.

"Bikin Bunda hidup lagi baru Enzo hormati dia sebagaimana Enzo menghormati Bunda," kata Enzo menantang.

Danita tampak memaksakan senyumnya. Sudah terbiasa dirinya dengan ucapan anak tirinya yang selalu saja menyakiti hati. Gadis yang duduk di sebelahnya memegang lengan Danita seolah menyalurkan kesabaran.

Giyan menahan amarahnya, terlihat dari wajahnya yang mulai memerah.

"Enzo! Bisa kah kamu sekali jangan menyakiti hati Mama mu?"

"Sorry to say, Yah. Tapi hati Bunda lebih sakit dari hati dia!" Enzo dengan lancang menunjuk Danita dengan telunjuknya.

Hal itu membuat amarah Giyan semakin meluap. Seorang gadis yang tadinya duduk di sebelah Danita mendapat keberanian untuk ikut cekcok bersama Enzo.

"Kak, lo bisa lebih sopan gak sih sama Mama gue?"

"Pakek nanya! Urusin aja sana Mama lo itu. Gue peringatin ke lo, gak usah ikut campur masalah gue dan jangan sampai lo bongkar rahasia ini terutama ke Narinka dan teman-teman lo yang lain!"

Enzo meninggalkan ketiga orang tersebut. Gadis itu menatap nyalang kepergian lelaki yang baru saja mengancamnya.

"Gue nggak pernah ada keinginan sekalipun buat bongkar identitas asli lo Kak meskipun Mama gue nggak pernah lo akuin sebagai Mama lo juga," lirih gadis itu.

Duhh duhh, sapa nih?
Yuk tebak-tebakan part 2

Zofans jangn lupa tinggalkan jejak ya
ʚ(。˃ ᵕ ˂ )ɞ

See youu next part Zofans!!

MALVENZOWhere stories live. Discover now