"Diam! Semua yang saya lakukan, demi membalas dendam kepada penduduk desa, yang telah keji terhadap saya. Mereka semua membela orang yang jelas-jelas bersalah! Akan saya bunuh semua orang di sini, termasuk kamu, Habidin!" Teriak Nyai Sekar. Wajahnya merah padam, seakan bumi pun hendak di telan.

"Saya tahu, saya salah. Saya sengaja menemuimu di sini, karena saya ingin meminta maaf. Saya harap, kamu pun bisa memaafkan saya." Ucap Kiai Habidin dengan wajah sendu. Air matanya luruh, melihat sang mantan istri berubah menjadi sosok yang asing.

"Maaf? Maaf? Enteng sekali bicaramu! Kalau dengan maaf bisa mengembalikan keadaan, neraka tidak akan penuh manusia biadab seperti kamu, Bidin!" Umpat Nyai Sekar.

"Tolong, maafkan saya. Maafkan saya, Inah!" Kiai Habidin bersimpuh. Ia terus menangis sesegukan, meminta maaf kepada Nyai Sekar atau Maimunah.

Nyai Sekar memang terkenal sakti dan ampuh, tetapi sesakti apa pun dia, Nyai Sekar tetaplah manusia biasa. Jiwanya memang sudah mati termakan rayuan iblis, tapi tidak dengan nuraninya. Sejenak ia termenung. Ingatan tentang masa lalu terlintas cepat dalam pikirannya saat ini. Di mana, ia sedang tertawa lepas dengan Kiai Habidin, saat dirinya belum bercerai. Mengasuh anak semata wayang mereka dengan penuh cinta.

JLEB!

BLES!

Nyai Sekar merasa ada sebuah benda yang ditusukkan ke arah punggung, benda yang panjangnya hampir menembus letak jantung.

"Uhuk!" Nyai Sekar terbatuk, dari mulutnya keluar darah berwarna hitam pekat.

Nyai Sekar segera memutar tubuh, di lihatnya di sana sudah ada seseorang yang sedang tersenyum menyeringai.

"He ... ru!" Suara Nyai Sekar terdengar sedikit parau. Lantas dengan cepat ia menarik benda runcing itu dari punggungnya. Walau sedikit merasa kesusahan.

"Mati kowe, Sekar! (Mati kamu, Sekar!)" Umpat Pak Heru dengan geram.

"Heru!" Seru Nyai Sekar. Napasnya mulai tak teratur. Sedikit demi sedikit, udara di sekitarnya mulai menipis. Ada nyeri di dada, Nyai Sekar berusaha melawan rasa sakitnya dengan memperlambat detak jantung.

"Seharusnya saya bunuh kamu dari dulu, Nah! Perempuan seperti kamu itu sudah sepantasnya pergi ke neraka!" Umpat Pak Heru.

"Hahaha! Guyon kowe, Ru! (Hahaha! Bercanda kamu, Ru)" Ejek Nyai Sekar.

"Kau ...!" Pak Heru geram melihat Nyai Sekar masih bisa tertawa mengejeknya.

"Sabar, Pak Heru." Kiai Habidin berusaha menenangkan Pak Heru.

"Tidak mudah untuk membunuh saya, Heru! Parangmu ini hanya sekadar lidi kecil!" Nyai Sekar melempar parang yang digunakan Pak Heru untuk membunuhnya.

Parang yang berlumur darah itu segera dipungut oleh Pak Heru.

"Sombong kau, Inah!"

"Uhuk, uhuk!" Nyai Sekar terus terbatuk, darah yang mengalir di bagian punggungnya pun kian banyak. Menyadari keseimbangan tubuhnya mulai terganggu, Nyai Sekar segera duduk bersimpuh. Nyai Sekar menatap tajam ke arah dua orang tersebut. Sekujur tubuhnya terasa sangat panas. Ia sangat yakin, parang itu pasti sudah dilumuri racun.

"Sebaiknya kita segera mencari benda itu, Pak. Sebelum Adiba menemukannya. Saya yakin, Kiai Sobirin sudah terlebih dahulu memberitahunya." Ucap Kiai Habidin kepada Pak Heru yang masih berusaha menahan amarahnya terhadap Nyai Sekar.

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang." Ajak Pak Heru dengan wajah sinis.

Kiai Habidin hanya menghela napas panjang. Ia begitu memaklumi sifat Pak Heru yang sedikit Keras Kepala. Ia bersepakat untuk berkhianat kepada Kiai Sobirin karena ingin semua masalah yang ada di desa segera selesai dengan tuntas. Akan tetapi, semua dugaanya ternyata meleset. Pak Heru begitu kukuh untuk mendapatkan benda yang konon terdengar ampuh untuk menangkal berbagai macam ilmu hitam. Padahal, benda tersebut sama sekali belum pernah ditemukan. Bahkan, sekelas dukun sakti seperti Suparta.

"Aarggrh!" Desis Pak Heru ketika tiba-tiba kakinya berhenti bergerak. Ada sesuatu yang merayap di dalam kulitnya. Kaki yang kurus itu, seperti kemasukan sesuatu.

"Ada apa, Pak?" Tanya Kiai Habidin.

"Sial!" Umpat Pak Heru, dengan gerakan cepat parang yang di bawanya, di ayunkan tepat ke arah kaki.

SLASH!

Kiai Habidin tercengang, melihat Pak Heru mengoyak kulit di bagian kakinya sendiri. Dan kedua matanya pun hampir tak berkedip melihat seekor kelabang sebesar jempol kaki, keluar dari luka bekas goresan tersebut.

"Sialan kau, Inah!" Pak Heru memutar badan, dilihatnya Nyai Sekar tengah menggumam. Rupanya, Nyai Sekar telah mengirim santet kepada Pak Heru. Semakin dibiarkan menganga, luka di kaki Pak Heru kian berbau busuk. Bukan hanya satu kelabang, tapi beberapa kelabang pun terlihat keluar masuk di area tersebut.

"Astaghfirullahaladzim," ucap Kiai Habidin.

"Saya bunuh kamu, Inah!" Saat hendak melempar parang, Pak Heru dikejutkan dengan kedatangan Ipul, yang terlebih dahulu menangkis tangan Pak Heru.

"Kau!" Seru Pak Heru sembari melotot.

"Tidak perlu menjadi orang munafik, Heru. Akui saja, kau yang sudah menebar fitnah di seluruh desa," ujar Ipul sambil melirik ke arah Kiai Habidin. Pria tua itu segera mengalihkan pandangan, ia takut untuk mengakui kesalahan di masa lalu.

"Jangan sok kamu, Pul! Saya tahu, kamu melakukan ini supaya semua orang di desa membenci saya, kamu salah, Pul! Semua penduduk desa adalah kaki tangan saya, termasuk Soleh dan juga Sulaiman." Ucap Pak Heru, sedikit menyindir Ipul.

"Saya sudah tahu sejak lama, Ru. Tetapi, bagaimana dengan dia?" Ipul menunjuk ke arah semak belukar. Di sana sudah berdiri seorang yang sangat di kenal oleh Pak Heru. Pria itu membulatkan manik matanya, orang tersebut perlahan berjalan mendekatinya. Dan dari remang cahaya sang mentari pagi, wajah seseorang itu semakin terlihat.

"Ahmad?"

Ipul tersenyum manis, menyambut kedatangan Ahmad. Pemuda yang sekian lama pingsan itu, kini tersadar juga. Dari kejauhan, juga datang segerombol orang yang berjalan kian dekat. Mereka adalah sebagian penduduk yang masih tersisa, setelah semalaman bertahan dengan segala teror pocong tanpa kepala.

Pak Heru dan Kiai Habidin terlihat panik. Tapi, Pak Heru berusaha menenangkan diri, dengan mengatur pernapasan.

"Mas, apa benar yang di katakan Mas Popon? Mas, dalang dari semua ini?" Ahmad bertanya dengan mimik wajah serius.

"Jawab, Ru!" Teriak Pak Usman yang menyusul dari belakang.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now