"Ini mbak, bisa tolong di hitung dengan cepat." Sepertinya Shani tak mau bertemu dengan Gracia. Maka dari itu ia menyuruh kasir itu untuk cepat-cepat menghitung barang belanjaannya, lebih tepatnya barang belanjaan Anin. Sang kasir tak banyak bertanya, ia langsung menghitung barang belanjaan Shani dengan cepat.

"Totalnya 85.000 kak." Shani pun mengeluarkan uang seratus kepada sang kasir.

"Kembaliannya ambil saja mbak, saya buru-buru, makasih." Setelahnya Shani menarik tangan Anin keluar dari minimarket itu, meninggalkan Gracia yang menatap kepergian Shani sendu.

"Huff, Gre, Gre, nggak mungkin Shani baik sama lo lagi setelah apa yang lo lakuin." Batin Gracia.

.
.
.

Hari ini adalah hari dimana kelas 3 SMA Nusa Bangsa lulus dari sekolah mereka dan hari ini pula hari terakhir Shani berada di negeri ini. Besok ia akan meninggalkan negeri ini, ia akan pergi tanpa ada yang mengetahui kemana dirinya pergi.

"Shan,... ini seriusan kamu akan pergi." Anin menatap Shani sendu, saat ini keduanya tengah berada di rooftop sekolah mereka, duduk di salah satu kursi yang ada di sana.

"Iya Nin, besok aku harus pergi." Shani membalas perkataan Anin tanpa menoleh, pandangannya tetap lurus kedepan.

"Kalau aku ngantar kamu kebandaraan boleh nggak?"

"Tidak perlu Nin, malam ini aku akan berangkat."

"Hufff, kalau begitu bolehkan aku memeluk mu untuk yang terakhir kalinya." Shani menoleh dan menggangguk mengiyakan permintaan Anin. Anin pun memeluk tubuh Shani denga erat, air mata sudah mengalir di pipinya.

"Shan,..aku suka dan cinta sama kamu." Shani tau itu, Shani tau jika Anin menyukainya, tapi Shani tak dapat membalas rasa Anin dikarenakan hatinya masih dipenuhi oleh Gracia.

"Udah ya, jangan nangis lagi." Shani melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang membasahi pipi Anin. Anin menggenggam tangan Shani yang berada di pipinya lalu menatap mata Shani dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Maaf Shan, aku nggak bermaksud." Anin mengalihkan pandangannya setelah mengatakan hal itu, ia malu, Shani menolak ciuman yang hendak ia berikan.

"Tidak pa-pa Nin, seharusnya aku yang minta maaf. Aku nggak bisa membalas perasaan yang kamu punya padaku."

"Iya Shan, aku ngerti kok." Balas Anin, Shani pun memeluk tubuh Anin terlebih dulu, membiarkan Anin menangis di pelukannya. Sedari tadi Gracia memperhatikan interaksi Anin dan Shani, ia juga ingin dekat dengan Shani.

.
.
.

Malam pun tiba, Shani sudah selesai mem packing barang bawaannya, ia juga sudah berganti pakaian. Hanya tinggal satu lagi yang harus dilakukan Shani sebelum dirinya meninggalkan apartemen miliknya dan juga Gracia. Dengan koper yang di seret, Shani keluar dari kamarnya dan menemui Gracia yang tengah duduk di sofa ruang tamu apartemen mereka. Gracia duduk melamun sehingga ia tak menyadari kehadiran Shani yang sudah berada di sampingnya.

"Ehemmm." Shani berdehem guna menarik perhatian Gracia dan hal itu pun berhasil, Gracia menoleh dan terkejut melihat Shani yang sudah rapi dengan pakaiannya.

"Ini, surat perceraian kita. Tandatangan ni lah, agar kita resmi bercerai." Shani menyerahkan surat perceraian mereka kepada Gracia, Gracia mengambilnya dan menatap nanar surat itu.

"Kamu serius ingin bercerai denganku dan meninggalkanku sendiri disini." Shani heran akan perkataan dan cara bicara Gracia.

"Ya, aku serius. Bukankah ini juga kemauan kamu? Orang asing sepertiku tak pantas bersanding denganmu." Perkataan yang terlontar dari mulut Shani mampu membuat hati Gracia sakit, ia tahu ia banyak salah kepada Shani, tapi ia tak mau bercerai dengan Shani.

GRESHANWhere stories live. Discover now