24. Office Mate

6.7K 29 0
                                    

"Terserah, Alan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Terserah, Alan. Kalau kau tidak mau mengerti, kau bisa angkat kaki dari apartemenku dan nggak perlu kembali lagi. Aku sudah muak kau curigai. Siapa yang akan berselingkuh denganku di kantor ini? Kau mengenal semuanya! Apa?"—suaraku memelan—"Tommy?"

Aku meredam napas. Tiga hari lalu ulang tahunku dan Alan ke kantor memberi kejutan. Dia membawa kue dan bunga, semua orang bertepuk tangan. Mereka baru mempermalukanku setelah Alan pulang. Nggak butuh waktu lama, dia jadi lebih paranoid dari sebelumnya. Tommy jurnalis baru yang ditransfer dari majalah kriminal terbesar di negara bagian lain dengan jumlah gaji yang bikin semua karyawan lama meringis iri, termasuk aku. Tapi mau bagaimana lagi? Dia berhasil menguliti kasus penyuapan dokter di daerah liputannya dengan gemilang. Polisi bahkan memuji keterlibatannya dalam sebuah konferensi press. Dia layak mendapatkannya. Dia juga sangat... aku benci mengatakan ini... menggairahkan.

Dia ditempatkan di depan kubikelku. Setiap kali melamun saat mengetik artikel, aku merasa dia seperti sedang menelanjangiku. Dia juga sangat ramah, sering menyapa atau mengajakku makan siang. Aku menolak. Aku selalu menolak. Aku punya Alan. Tapi, aku tidak bisa menolak donat, atau permen jahe yang dibawanya pulang sehabis makan di luar. Permen jahenya membuat lambungku hangat, sehangat senyumnya.

Penampilannya sangat prima. Dia tinggi dan tegap, berdada bidang dan berbahu lebar dengan pinggang yang sangat ramping. Jika dia kembali dari perjalanan luar dan menanggalkan jas-nya, kau bisa mencium aroma yang sangat maskulin dari keringat dan cologne-nya yang wangi kayu-kayuan dan kopi. Pada hubungan seks terakhirku dengan Alan dua malam lalu, aku membayangkannya menindihku. Alan membuyarkan imajinasiku karena dia selalu selesai terlalu cepat.

"Apa kau gila? Dia baru bergabung minggu ini. Aku bahkan nyaris nggak pernah berhubungan sama dia!"

Itu jelas bohong. Kami sering berkomunikasi. Lebih tepatnya, dia sering mengajakku banyak berdiskusi dan aku sangat menyukainya. Dia cerdas dan revolusioner. Alan tidak boleh tahu bahwa mulai pagi ini, redaksi memintaku bekerja sama dengan Tommy dalam kasus pembunuhan seorang penari lap dance bernama Chika. Perempuan itu ditusuk di kamar gantinya. Polisi belum menemukan satu tersangka pun, tapi mereka mencurigai hubungan gelap Chika dengan salah satu politisi terkenal di kota ini. Sayangnya, laki-laki itu punya alibi. Dia sedang berada di luar kota saat hal nahas itu terjadi. Tentu saja, dia bisa menyewa siapapun untuk menghabisi Chika. Kami hanya perlu menemukan motifnya, sementara polisi mengejar pelakunya.

"Kalau kau tidak mau pulang dalam satu jam, buang saja cincinmu. Tanggalkan dan kirim ke kantorku besok pagi. Nggak ada pernikahan buatmu, perempuan jalang!"

"A—apa?!"

"Kau pikir aku tidak tahu?! Kau meniduri kepala redaksi tuamu itu supaya kau bisa mendapatkan jatah liputan dan artikel di rubrik-rubrik penting, kan? Asal kau tahu saja... tulisanmu tidak terlalu bagus! Selama ini aku curiga, bagaimana kau mendapatkannya."

"Dasar bajingan!" seruku nyaring, emosiku meluap tak terkendali. "Aku mendapatkannya dengan susah payah. Hanya kau yang menganggapku payah. Kau tahu? Kau tidak akan jadi dokter kalau orang tuamu tidak kaya raya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai salah satu pasienmu gagal dan kau diseret polisi karena malpraktik. Kau ingin aku mengembalikan cincinmu? Oke. Kau akan menerimanya besok pagi! Apa kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu meledak seperti ini? Sudah lama. Kau bukan hanya dokter yang payah, kau kekasih yang payah, kau payah di mana saja, terutama di atas tempat tidur! Kau tidak pernah bisa membuatku puas! Kau bisa bilang ke ayah dan ibumu supaya berhenti menggangguku dengan urusan pernikahan yang konyol itu. Kita... PUTUS!!!"

Mature ContentWhere stories live. Discover now