Bab 23

869 163 8
                                    

Keduanya sudah kembali ke kantor Arai, mendekam di ruang meeting yang begitu luas hanya berdua saja. Sama seperti sebelumnya, Arai kini tengah fokus pada layar laptopnya. Sementara Jesslyn yang duduk di sisinya ikut memerhatikan layar laptop dengan wajah serius meski ia tak mengerti apa yang ada di sana.

“Karena dia gonta-ganti nomor terus, alamat yang saya temukan nggak cuma di satu titik doang,” ujar Arai, melirik sekilas ke arah Jesslyn yang tengah mengusap-usap dagunya. “Tapi saya yakin dia make handphone yang sama,” lanjutnya.

“Berarti lokasi tepatnya saat ini masih belum bisa dilacak ya, Pak?”

Arai mengangguk dengan tangan yang sibuk menggulir mouse. “Saya masih belum bisa nemuin lokasi pastinya.”

Jesslyn hanya manggut-manggut memaklumi. Ia tahu betapa susahnya melacak orang. Hal ini sudah pernah dilakukannya bersama Reyhan yang menyewa jasa IT, tetapi hasilnya nihil. Posisi penerornya sangat sulit untuk dilacak.

Jesslyn melarikan pandangannya pada Arai ketika mendapati pria itu yang tiba-tiba saja membelalak dengan wajah yang dimajukan agar bisa melihat layar laptopnya lebih dekat.

“Kenapa, Pak?” Jesslyn ikut mencondongkan wajahnya. Dari gerak-gerik Arai, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres yang pria itu temukan.

“Salah satu titik koordinat yang aku temukan ada di apartemen kita,” jawab Arai, dengan air muka yang kelihatan jauh lebih serius dari sebelumnya. Dahinya berkerut dalam saat jemarinya mulai mengetik di atas keyboard.

Jesslyn menatap Arai dengan pupil yang membulat. “Serius, Pak?” tanyanya sembari memutar maniknya pada layar laptop yang masih berisi layar hitam dan kode-kodean yang tak dimengertinya.

“Ini, kamu lihat sendiri.” Arai menunjuk salah satu titik merah ketika isi dari layar laptopnya sudah berganti menjadi sebuah map. “Ini apartemen kita,” ucapnya setelah memperbesar titik yang ditemukannya.

Mulut Jesslyn menganga tanpa sadar saat melihat dengan mata kepalanya sendiri hasil penemuan Arai. Ia sampai harus mengangkat kedua tangannya untuk menutupi mulutnya. Sementara di dalam sana jantungnya terasa menyentak rusuknya.

“Penerornya nggak jauh dari kamu, Jess.” Arai berpaling pada Jesslyn yang masih fokus menatap layar laptopnya.

Sejak awal, Jesslyn sudah menduga jika posisi peneror tersebut memang tidak jauh darinya. Namun, ia tak menyangka jika sosok tersebut sangat amat dekat dengannya.

“Berarti kemarin aku nggak halusinasi,” bisik Jesslyn, lebih kepada dirinya sendiri.

Ia jadi teringat dengan kejadian saat dinding kaca apartemennya bolak-balik diketuk. Setelah otaknya jernih, Jesslyn berpikir jika kejadian yang dialaminya pada saat itu hanyalah bentuk dari halusinasinya yang memang beberapa kali terjadi padanya jika mengalami panik yang berlebih. Namun, setelah melihat penemuan Arai, ia jadi yakin jika saat itu memang ada seseorang yang mencoba menerobos ke dalam apartemennya.

“Jess?”

Panggilan Arai membuyarkan lamunan Jesslyn. Diturunkannya kedua tangannya dari mulutnya sebelum berpaling pada Arai yang menatapnya dengan kernyitan di keningnya.

“Kamu tadi ngomong apa?” Arai menangkap mulut Jesslyn yang bergerak, tetapi suara gadis itu tidak sampai ke telinganya.

Jesslyn menjilat bibirnya yang terasa kering, lalu menelan ludahnya susah payah sebelum netranya melesat pada wajah Arai yang menatapnya dengan khawatir, terlihat dari bola mata pria itu yang terus-terusan bergerak gelisah.

“Bapak inget kejadian kemarin? Pas saya lari-lari di lorong apartemen?” Suara Jesslyn terdengar lirih.

Arai mengangguk dengan cepat. Tatapannya sudah dicurahkan sepenuhnya pada gadis itu, dan ia dengan tidak sabar menunggu lanjutan kalimatnya.

Warisan In Mission: JesslynWhere stories live. Discover now