Bab 15

1.1K 267 72
                                    

Jesslyn agak oyong saat keluar dari mobil. Ia sampai harus memegang badan mobil saat kakinya menapak di lantai basement. Mungkin pusing yang mendera kepalanya diakibatkan dari kekagetannya sehabis bangun tidur tadi.

“Kamu nggak papa?”

Jesslyn yang sedang meringis pelan sembari memegang kepalanya mendongak begitu mendengar suara Arai. Pria itu sudah mengambil posisi berdiri di hadapannya dengan pandangan yang ... khawatir?

“Pusing dikit, Pak,” jawab Jesslyn apa adanya.

“Bisa jalan nggak?”

Jesslyn mengangguk. Ia lantas menegakkan posisi berdirinya. Kedua tangannya sudah lepas dari badan mobil, juga kepalanya. “Yuk, Pak,” ajaknya kemudian, berjalan mendahului Arai.

Belum ada tiga langkah Jesslyn berjalan, ia dibuat terkejut dengan tindakan Arai yang tiba-tiba merangkul pundaknya. Sontak kepalanya mendongak dengan mata yang membulat lebar. Kalau saja Arai tidak mengajaknya untuk terus berjalan, Jesslyn yakin ia pasti sudah membeku di tempat dan tak bisa menggerakkan kakinya sama sekali.

“Saya nggak mau terjadi apa-apa sama kamu,” ucap Arai, seolah bisa membaca isi pikiran Jesslyn yang tentu saja mempertanyakan sikapnya barusan. “Tapi ini bukan karena saya peduli, lho, ya. Saya cuma nggak mau nantinya dijadikan tersangka kalau kamu kenapa-kenapa,” tambahnya sembari melirik Jesslyn sekilas. Ia tak mau gadis itu salah paham dalam mengartikan perkataannya.

Jesslyn sempat bengong sejenak. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali memutar pandangannya ke depan sambil mengulum senyumnya. Entah kenapa ia tidak bisa memercayai alibi Arai. Ia menganggap jika pria itu memang peduli padanya.

Huh! Dasar gengsian, batin Jesslyn sambil cekikikan di dalam hati.

“Bapak tinggal di lantai berapa?” tanya Jesslyn begitu mereka berada di dalam lift. Ia agak heran karena Arai hanya menekan angka 12 pada lift button panel.

Arai melesakkan sebelah tangannya yang bebas ke dalam saku celana. Sementara matanya memandang ke atas dengan bibir yang membentuk satu garis tipis.

Jesslyn mendongak, menatap Arai yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Entah pria itu pura-pura tidak dengar atau memang tidak dengar beneran. Tetapi Jesslyn yakin suaranya cukup keras saat bertanya. Ditambah lagi dengan kondisi lift yang sunyi karena hanya diisi oleh mereka berdua. Jadi, tidak mungkin Arai tidak dengar, bukan?

“Pak?” Jesslyn memanggil Arai.

“Hmm?”

Tuhkan! Benar dugaan Jesslyn. Arai memang pura-pura tidak mendengar pertanyaannya tadi.

“Apa?” tanya Arai, yang sudah menunduk untuk melihat Jesslyn yang memang lebih pendek beberapa senti darinya.

“Bapak tinggal di lantai berapa?” Jesslyn mengulang pertanyaannya. Setengah menjerit agar Arai tak lagi bisa mengelak.

“Untuk apa kamu tahu?” balas Arai, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Ia pun buru-buru menarik Jesslyn untuk segera keluar, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Bagi Arai, sudah cukup Jesslyn mengetahui tentang dirinya yang tinggal di satu gedung apartemen yang sama dengannya. Gadis itu tak perlu tahu di lantai berapa ia tinggal. Jangan sampai.

“Itu unit saya, Pak.” Jesslyn mengarahkan telunjuknya ke salah satu pintu.

“Kamu tinggal sendirian?” tanya Arai begitu mereka berdiri di depan unit apartemen Jesslyn. Bersamaan dengan itu pula ia menurunkan tangannya dari pundak gadis itu.

“Eh! Aduh, Pak!” Jesslyn sempoyongan begitu Arai menarik rangkulannya.

Arai panik dan buru-buru memegang kedua bahu Jesslyn, membantunya untuk kembali berdiri dengan tegak. “Kamu nggak papa?” tanyanya kemudian, sambil mengamati Jesslyn dari atas sampai ke bawah.

Warisan In Mission: JesslynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang