Sesampainya di sekolah, sepeda itu dia parkir diantara jajaran sepeda-sepeda modern milik teman-temannya. Ubay berjalan santai menuju musholla untuk mengaji pagi. Disana sudah ada banyak anak yang menunggu ustadz datang.

"Ubay!" panggil salah satu teman kelasnya.

Ubay berlari mendekati remaja perempuan itu dengan antusias. Walaupun dia memiliki banyak masalah dan kesedihan, hal tersebut tidak pernah membuatnya murung atau berpenampilan lesu. Ubay justru selalu menunjukkan wajah ceria dibalik tekanan yang sering diberikan oleh teman-temannya.

"Gue udah tau mau ngelanjutin sekolah dimana. Jadi, kemarin ayah bawa banyak brosur dari sekolah ternama di kota. Dan gue udah putusin mau sekolah di kabupaten sebelah." Ria, gadis berhijab putih tersebut mengatakannya penuh kegembiraan.

"Gue juga udah dapet sekolah terbaik, nih," sahut Fanya. "Lo sendiri gimana, Bay?"

Ubay tersenyum mendengar pertanyaan itu. Bagi sebagian anak mungkin memilih sekolah yang mereka inginkan sudah menjadi hal biasa. Akan tetapi itu tidak berlaku pada kehidupan Ubay. Jangankan menentukan sekolah mana yang cocok untuknya, dia bahkan kebingungan dalam keadaan antara lanjut atau berhenti.

"Sekolah di jenjang SMA itu mahal nggak, sih?"

Dua remaja perempuan berhijab tersebut saling bertatapan kemudian tertawa renyah. "Bay, jangan konyol lo!"

"Kenapa kalian ketawa? Ada yang lucu? Gue nanya beneran, loh."

Ria mengeluarkan sebuah brosur dari rangsel merah mudanya kemudian disodorkan pada Ubay. "Lo lihat baik-baik! Biaya pendaftaran aja sampai sejuta lebih kan?"

Fanya merebut brosur yang barusaja diamati sekilas oleh Ubay. "Kata bokap gue, kalau mau sekolah itu nggak perlu lihat seberapa besar biaya yang dibutuhkan. Nanti rezeki pasti ada, kok. Yang penting itu kita dapet ilmu dan bisa mengamalkannya."

Senyuman di bibir kemerahan Ubay seketika berubah hambar. Dia mengulumnya untuk menyembunyikan apa yang sedang dirasakan. Mungkin benar, beberapa orang berpikir bahwa rezeki untuk mencari ilmu pasti ada. Namun, bagaimana jika dengan mendapatkan rezeki itu butuh banyak tetes keringat dan air mata? Rasanya Ubay sudah tidak sanggup lagi melihat jerih payah sang ayah hanya demi dirinya.

Fanya menyadari perubahan raut wajah Ubay. Kemudian dia berkata, "Mumpung kita belum ujian, masih ada kesempatan buat daftar di sekolah yang lo pilih. Dan biasanya gelombang pendaftaran awal banyak bonus juga. Gue saranin lo cepet putusin mau kemana!"

"Gue akan coba, makasih saran kalian."

Sepanjang hari Ubay memikirkan banyak hal tentang ucapan teman-temannya tadi pagi. Tidak ada pelajaran yang dicerna otaknya. Dia bukan anak pandai yang bebas masuk ke sekolah manapun tanpa tes. Bahkan keluarganya sama sekali tidak punya peluang mendaftarkan ke sekolah tinggi. Jika dia lanjut ke jenjang menengah atas, maka episode penuh penderitaan ayahnya akan semakin panjang.

Ubay memikirkan nasib orang tuanya. Sang ayah hanya buruh yang pekerjaannya tidak tetap. Sementara ibunya bahkan tidak memiliki usaha apapun. Dua adik yang masih kecil membutuhkan banyak biaya untuk makan. Bagaimana mungkin dia tega melanjutkan sekolah di atas kerasnya perjuangan sang ayah? Ubay tidak mungkin sanggup melihat penderitaan mereka. Bukankah dia hanya akan menjadi beban yang berat?

"Ubay, sampai di halaman berapa kita?" Suara lantang seseorang membuyarkan lamunan Ubay.

Remaja berkulit sawo matang itu gelagapan ketika guru Bahasa Indonesia bertanya. Bukunya bahkan belum ada di atas meja. Dia tidak ingat berapa lama lamunan tersebut membawanya telarut hingga tidak menyadari keberadaan sang guru.

"Bukunya aja belum dikeluarkan, Bu!" seru anak laki-laki di sudut ruangan. Kemudian seluruh kelas menjadi bising karena meneriaki Ubay.

"Tenang semuanya!" teriak ibu guru, "Ubay, sekarang kamu keluar dari kelas dan jangan ikuti pelajaran saya daripada pikiran kamu tidak untuk belajar."

"Tapi Bu-"

"Keluar, kamu bisa masuk di jam pelajaran selanjutnya!" pungkas ibu guru tidak bisa dibantah.

Ubay hanya menunduk untuk minta maaf kemudian meninggalkan kelas dengan hati yang perih. Bagaimana ia bisa lanjut ke SMA jika mengatur pemikiran saja masih terlalu sulit? Otaknya terus dihujam banyak pertanyaan tanpa jawaban.

I'am Still StandingWhere stories live. Discover now