"Alhamdulillah," ucapnya ketika menemukan sebuah korek api di ujung dipan.

Cess! Byaaar!

"Astaghfirullah! Ya Allah!" Seru Adiba saat melihat pemandangan di depannya. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak, saat pertama kali melihatnya.

Sesosok mayat yang terbaring di atas dipan, membuat Adiba tak sanggup mengerjapkan mata. Aroma busuk yang ia cium sedari tadi, ternyata dari bau mayat tersebut. Belatung-belatung kecil tampak menggeliat manja di tubuh sang mayat.

Mayat seorang perempuan yang sudah tak bisa lagi di kenali. Hanya saja terdapat bekas goresan di leher mayat tersebut. Adiba mulai mual, aroma busuk yang menyengat, membuat oksigen di sekitarnya semakin berkurang. Ia melanjutkan langkah, guna mencari petunjuk.

Rumah kecil dengan minim penerangan itu memang tak memiliki banyak ruang. Hanya ada satu kamar dan ruangan yang ia masuki sekarang. Adiba berjalan menuju kamar tersebut, membuka perlahan pintunya, mengendap-endap masuk ke dalam.

Sang angin seakan ikut andil dalam pencariannya. Ia sesekali memadamkan api dengan hembusan lembut. Mencoba menguji kesabaran gadis belia itu. Adiba berulang kali menyalakan korek api tersebut. Ia mencari-cari apa pun itu yang bisa dijadikan petunjuk.

Adiba menemukan sebuah buku usang. Buku yang bahkan tak bersampul. Dalam buku tersebut terdapat banyak tulisan tangan. Adiba merasa kesulitan membaca karena minim cahaya. Namun, kedua matanya terhenti pada satu tulisan yang membuat jantungnya terpacu sangat cepat.

"Raga sukma bali ing jiwa, yen kembang setaman dados sulih (Raga sukma pulang ke jiwa, jika bunga setaman jadi gantinya)" lirih Adiba saat membaca tulisan tersebut.

"Jangan-jangan ..." Adiba mulai menerka-nerka. Ia bergegas menutup buku tersebut. Kemudian berjalan menuju ruangan sebelumnya.

Dengan hati berdebar, dan sekujur tubuh bergemetar, Adiba memberanikan diri untuk melihat mayat tersebut. Cadar yang ia kenakan sama sekali tak membantu untuk menutup indra penciumannya. Aromanya begitu busuk. Seperti bangkai yang sudah bertahun-tahun dibiarkan.

Adiba mulai mengamati sosok mayat yang hanya dibalut dengan kain kumal. Sepertinya, mayat itu sengaja digali kembali dari liang lahat. Karena di kain yang menutup tubuh sang mayat, terdapat banyak noda bekas tanah yang mengering.

Adiba duduk di samping sang mayat. Berulang kali ia mengusap hidung. Kepalanya perlahan mulai pening. Namun, ia berusaha bertahan. Adiba memejamkan mata. Mencoba berinteraksi dengan sang mayat. Adiba meletakkan jemarinya di tubuh bagian dada si mayat. Dalam kegelapan malam, ia mencoba menelusuri asal usul sang mayat.

Selang beberapa waktu, Adiba mulai menerawang. Namun, ia sangat terkejut, karena dalam penglihatannya justru bukan sang mayat yang ia lihat, melainkan Ahmad. Pemuda itu tengah kebingungan mencari jalan keluar di dalam sebuah gedung tua. Ahmad sudah berulang kali mencari, namun tak kunjung ia temui. Sekian detik kemudian, datanglah seorang perempuan yang sangat cantik, memakai kebaya hijau, dan jarik bercorak melati. Sebuah mahkota emas bertengger di atas kepalanya. Perempuan itu mengulurkan tangan, mencoba memberi bantuan kepada Ahmad.

Pemuda itu hampir saja terlena, karena terpesona dengan kecantikan sang perempuan. Akan tetapi, tiba-tiba seorang wanita tua datang menghalangi langkah Ahmad.

Wajahnya hampir sama dengan Ahmad, hanya berbeda letak tahi lalatnya saja. Wanita itu mengajak Ahmad pergi, namun sedetik kemudian darah mengucur deras dari tubuh sang wanita. Tak terasa kepala dan tubuhnya kini terpisah.

"Pergi anakku! Pergi! Selamatkan nyawamu!"

"Astaghfirullahaladzim," ucap Adiba setelah bayangan kejadian itu menghilang secara mendadak. Ia memandang ke arah wajah mayat tersebut. "Jangan-jangan mayat ini, ibunya Mas Ahmad," imbuhnya.

***


Setibanya di rumah Yudi, Kiai Sobirin dan Pak Usman segera merebahkan Ahmad di ranjang milik Yudi. Setelah itu, Kiai Sobirin berpindah tempat. Ia melihat keadaan ruang tamu Yudi. Ruangan tersebut terlihat sangat berdebu. Padahal Yudi baru pergi sekitar dua hari.  Kiai Sobirin mencoba untuk tidak berprasangka buruk. Mungkin saja memang Yudi, jarang membersihkan rumah.

"Pak Kiai, saya izin ke kamar mandi sebentar. Titip Mas Ahmad," ucap Pak Usman. Kiai Sobirin menganggukan kepala dengan cepat.

Pak Usman segera berjalan ke arah belakang. Ia tampak celingukan, karena kesulitan mencari letak kamar mandi di rumah Yudi. Setelah di rasa ketemu, Pak Usman bergegas masuk ke kamar mandi.

Tak! Tak!

Ada seseorang yang melempar batu ke arah jendela rumah. Kiai Sobirin tak ingin beranjak, mungkin saja itu ulah orang iseng. Tetapi, mana mungkin ada yang sejahil itu ditengah kericuhan yang terjadi. Kiai Sobirin segera berdiri, mengintip dari celah tirai. Kedua matanya terbeliak melihat siapa yang melempar batu tersebut.

"Untuk apa dia datang ke sini?" Kiai Sobirin sangat terkejut melihat orang yang datang ke rumah Yudi. Ia tak pernah menyangka jika orang tersebut akan kembali lagi.

"Ada apa, Pak Kiai?" Tanya Pak Usman yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Astaghfirullahaladzim, kamu buat saya kaget saja, Man." Jawab Kiai Sobirin secara refleks.

"Pak Kiai sedang melihat apa? Sepertinya sangat serius," tanya Pak Usman lagi.

"Lihatlah ke luar," titah Kiai Sobirin. Pak Usman segera melaksanakan perintahnya. Selang beberapa detik, ia juga terkejut melihat pemandangan di luar rumah.

"Suparta?" Ucap Pak Usman hampir tak percaya. Kiai Sobirin mengangguk.

"Untuk apa Suparta datang ke sini Pak Kiai, atau jangan-jangan, Yudi mempunyai hubungan dengannya." Pak Usman mencoba mengutarakan asumsinya.

"Mungkin memang benar apa yang kau katakan, Man. Tetapi kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Yudi. Mungkin saja, Suparta sedang mengincar nyawanya, atau sekadar mengganggu," tukas Kiai Sobirin.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang Pak Kiai?" Lagi-lagi Pak Usman memberi pertanyaan.

"Kita tu—

PRANG!

Tiba-tiba, kaca jendela rumah Yudi pecah akibat lemparan batu yang berukuran sedang. Batu tersebut di tempeli secarik kertas. Kiai Sobirin memungut batu itu, kemudian membaca tulisan di dalamnya.

"Saya tunggu," hanya itu kalimat yang dibaca Kiai Sobirin.

"Suparta sudah pergi, Pak." Ujar Pak Usman saat melihat ke arah luar jendela. Tidak ada lagi sosok Suparta di sana, yang tersisa hanyalah jeritan dan tangisan para warga yang sedang ketakutan.

"Saya yakin, Suparta dan Yudi mempunyai hubungan yang mungkin bisa dikatakan cukup dekat. Tetapi, kita juga tidak bisa menuduh begitu saja tanpa adanya bukti. Saya akan menemui Suparta, kamu di sini saja menjaga Mas Ahmad. Saya akan mencoba menyadarkannya terlebih dahulu. Sepertinya, Mas Ahmad terkena gendam." Ucap Kiai Sobirin pada Pak Usman. Pria itu menganggukkan kepala dengan cepat.

Kiai Sobirin melangkah cepat menuju kamar Yudi. Di sana, Ahmad terbaring dengan wajah pucat. Sudah sekian lama dirinya pingsan. Kiai Sobirin duduk di tepi ranjang. Mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa.

Tak lama kemudian, Kiai Sobirin mengusapkan jarinya ke wajah Ahmad.

"Saya tinggal dulu, Man. Tolong jangan tinggalkan Mas Ahmad sendirian. Semoga saja dia cepat sadar. Saya pergi dulu, Assalamu'alaikum." Kiai Sobirin berpamitan.

Pak Usman mengangguk. "Wa'allaikumussalam,"

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now