Leonor - Keraguan

240 41 0
                                    

Kepalaku sudah cukup berat akibat minum terlalu banyak. Tapi di hadapanku Alejandra dan Dira menungguku menceritakan semuanya. Sampai akhirnya Alejandra menarik gelasku dan meletakkannya di atas meja. 

"Mami terlalu banyak minum. Ale nggak suka," ujarnya. 

"Oke oke, Mami berhenti minum," kataku kepada Alejandra. 

"Jadi, kenapa Mami nggak mau nikah sama Tante Gita? Apa Tante Gita bikin Mami ragu?" tanya Ale dengan sedikit mengintimidasi. Jika sedang dalam mode seperti ini, Ale sungguh mirip Luisa. 

"Mami yang ragu dengan diri Mami sendiri, Le," ucapku. "Umur Mami dan Tante Gita sudah nggak muda lagi. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, mi amor."

"Apa Mami takut berkomitmen?" tanya Ale yang terasa seperti langsung menamparku dengan keras. 

"Bagi orang yang pernah gagal dalam berumah tangga, ada trauma yang nggak bisa Mami jelaskan ke kamu, mi amor," jawabku.

"Tapi kan kali ini keadaannya beda, Mi. Mami dan Tante Gita sama-sama saling cinta, punya visi yang sama, mau saling memahami dan menerima, terus Mami sama Tante Gita juga sangat berkecukupan. Nggak banyak pasangan lesbian di luar sana yang bisa kaya Mami dan Tante Gita. Bahkan aku sama Dira juga belum tentu bisa kaya Mami dan Tante Gita," ucap Ale dengan nada tegas. 

Aku mendengar Dira sedikit menghela nafas, sehingga aku pun langsung menggenggam tangannya. Bahkan, Ale dan Dira juga masih harus lebih berjuang daripada aku dan Gita.

"Mami nggak bisa tinggal jauh dari kamu, Mami belum siap jika harus meninggalkan karier Mami, mi amor," kataku dengan mata berkaca-kaca.

Kali ini Ale yang menghela nafas. Mungkin dia tidak menyangka bahwa meskipun terkadang kami seperti tikus dan kucing, tapi aku benar-benar ingin selalu bersama putriku. Empat tahun kemarin sungguh sangat menyiksaku. 

"Kecuali kamu mau ikut dengan Mami dan Tante Gita. Tapi, Mami tahu kamu juga pasti tidak mau berpisah dengan Dira kan?" ucapku sembari menunduk karena tak mampu membendung air mataku lagi. Ale dan Dira lalu saling menatap. Setelah itu, Ale duduk bersimpuh di hadapanku.

"Mami liat Ale," katanya memintaku untuk menatapnya. Aku pun langsung menegakkan pandanganku lagi.

"Apa Ale kelihatan masih belum bisa bertanggung jawab dengan diri Ale sendiri? Apa Ale kelihatan masih selalu memerlukan bantuan Mami setiap saat seperti anak kecil yang harus selalu diurus oleh ibunya? Apa selama di Jepang Ale pernah ngeluh ke Mami atau minta pulang ke Indonesia?" tanyanya bertubi-tubi. Semua yang ditanyakan Alejandra benar adanya. Aku pun hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengusap-usap kedua pipinya.

"Please, Mami harus kasih Tante Gita kesempatan. Dia harus nunggu sampai Ale umurnya 17 tahun untuk bisa bersama dengan Mami. Kalo boleh jujur, di dalam hati Ale, Ale selalu berharap jika Tante Gita itu juga orang tua Ale," ujarnya. Ternyata putriku sudah benar-benar dewasa. Aku tersenyum kepada Ale.

"Mi amor, semua yang kamu katakan benar adanya. Selama empat tahun terakhir, kamu benar-benar sudah membuktikan kepada Mami bahwa kamu benar-benar bisa bertanggung jawab dengan dirimu sendiri. Tapi di dalam hati kecil Mami, dan mungkin di setiap orang tua, mereka akan sangat senang jika selalu dibutuhkan oleh anaknya. Hidup orang tua terasa berarti apabila anak-anaknya masih selalu mengingat mereka, salah satunya apabila mereka datang kepada orang tua mereka untuk meminta bantuan, karena sampai kapan pun, anak-anak akan tetap menjadi anak-anak bagi orang tua mereka. Apalagi selama ini, kita hanya berdua saja, mi amor.  Kita hanya punya satu sama lain di dunia ini," kataku yang membuat Ale terdiam. 

"Lalu, Tante Gita hadir lagi di hidup Mami dan semuanya berubah. Lalu, kamu juga punya Dira dan semuanya juga berubah. Tapi fakta bahwa kamu tetap anak Mami yang tidak akan pernah berubah. Jadi, jangan pernah bersikap seolah-olah kamu tidak membutuhkan Mami lagi karena itu membuat hati Mami sakit, mi amor," kataku pelan. Ale lalu menangis dan meletakkan kepalanya di pahaku. 

"Lo lamento mucho, Mami," ujar Ale meminta maaf kepadaku. Aku pun menghapus air mata Ale. "Padahal Ale cuma pengin meyakinkan Mami kalo Ale sudah bisa mandiri jadi Mami nggak ragu lagi untuk menikah dengan Tante Gita," tambahnya dalam isak tangis. Aku dan Dira saling menatap dan tersenyum. Aku pun menegakkan kepada Ale kembali seraya menghapus air matanya. 

"Esta bien, mi amor. Udah jangan nangis lagi. Nggak malu apa ada pacarnya di sini nangis begini," ledekku. 

"Biarin. Siapa suruh pacaran sama bocil," ujar Ale memonyongkan bibirnya seraya menghapus sendiri air matanya. Ekspresi muka Ale membuatku dan Dira tertawa. 

"Gimana sih, tadi katanya udah mandiri," balas Dira seraya mengacak-acak rambut Ale. Terkadang, mereka berdua malah lebih terlihat seperti kakak adek daripada seperti orang pacaran. 

"Ya sudah, kalian lebih baik tidur lagi lumayan masih ada beberapa jam sebelum pagi," kataku menyuruh Dira dan Ale untuk kembali ke kamar. 

"Tapi Mami sama Tante Gita akan tetap menikah kan?" tanya Ale meyakinkan seraya berdiri dan menggandeng Dira. 

"Mami nggak bisa jawab sekarang, mi amor. Tapi Mami pastikan kamu nggak akan kecewa dengan keputusan Mami," jawabku kepada Ale.

"Oke, nanoches Mami," ucap Ale seraya mengecup kedua pipiku tapi tangannya tetap menggandeng Dira. Dasar ya anak ini, memang sebenarnya masih anak-anak yang terbalut tubuh orang dewasa.

"Nanoches, mi amor. Inget, tidur  ya, nggak ngapa-ngapain. Kasian Dira pagi nanti masih harus kerja," pesanku kepada Ale.

"Iya udah tau, bawel nih," balasnya. 

Aku menatap Ale dan Dira yang bergandengan menuju ke kamar. Terkadang aku berpikir, apa aku terlalu membebaskan Ale dan Dira berpacaran seperti sekarang? Tapi lebih baik aku tahu apa yang mereka lakukan dan alami dengan mata kepalaku sendiri ketimbang dari orang lain.

"Leonor," seseorang memanggilku. Aku hampir lupa kalau ada satu orang lagi di rumah ini.

"Ibu, kok jam segini belum tidur?" tanyaku kepada ibu Gita.

"Ibu tadi sudah tidur, tapi bangun ketika ada yang ngeluarin mobil. Lalu, ibu tidak sengaja mendengar obrolanmu dan Ale, nak," ucapnya sembari menghampiriku. Aku lalu membantunya untuk duduk.

"Maafkan Leonor, Bu," ucapku.

"Ibu bisa memahami sebagai orang yang pernah gagal juga dalam berumah tangga, nak. Meskipun konteksnya berbeda," kata beliau. Aku pun jadi teringat kesulitan berpuluh-puluh tahun silam yang dialami oleh Gita dan ibunya.

"Walaupun Gita itu anak ibu dan ibu juga akan sangat bahagia jika kalian memiliki ikatan yang resmi, tapi jika memang hatimu belum benar-benar yakin, maka tidak ada salahnya untuk mendiamkannya terlebih dahulu sambil menimbang-nimbang," tambahnya.

"Nggak papa, Bu?" tanyaku dengan lirih merasa tidak enak karena seolah-olah aku sudah mempermainkan perasaan putrinya. Tapi, ibu Gita tersenyum dan lalu mengecup keningku. 

"Pikirkan masak-masak, nak. Jika kalian memang ditakdirkan menikah, pasti akan menikah. Jika memang tidak, begini saja sudah cukup. Empat tahun ini ibu seperti benar-benar punya anak lain dan juga cucu. Terima kasih karena kamu mau menerima Gita dan menerima ibu juga, Leonor," ucap ibu Gita dengan tulus. Aku kemudian memeluknya erat. 

Memeluk ibu Gita membuatku merasa nyaman dan tenang, rasanya persis seperti aku memeluk mama. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yang jelas aku ingin ibu Gita terus menyirami kami dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Aku berharap ibu akan selalu mendampingiku dan Gita hingga nanti.

Dua GenerasiWhere stories live. Discover now