Leonor - 2006

677 61 2
                                    


Semalaman aku tidak bisa memejamkan sambil terus memandang buket bunga yang sudah dipindahkan ke dalam vas oleh Leticia. Aku terus memikirkan si pengirim bunga yang tinggal nan jauh di belahan bumi lainnya. Bahkan, kami sudah tidak berkomunikasi lagi sejak terakhir kali bertemu satu tahun yang lalu, sebelum dia pindah ke Amerika Serikat, dan sebelum aku melakukan tindakan bodoh, yaitu bercinta dengan Rudi tanpa menggunakan kondom. 

"Leonor, ada yang ingin kamu ceritakan?," tanya Leticia keesokan paginya karena kebetulan ia sedang tidak ada kelas. Jadi, Leticia bisa menemaniku di rumah sakit. Lalu, di malam hari biasanya Luisalah yang menemaniku karena mama harus berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Kebetulan nanti sore aku sudah diizinkan pulang oleh dokter, keadaan Alejandra pun sehat dan normal, jadi tidak ada alasan aku tinggal lebih lama di rumah sakit ini. "Kamu nggak tidur ya semalaman? Apa Alejandra rewel?," tanya Leticia yang mulai khawatir dengan keadaanku. Aku tersenyum kepadanya sambil menggelengkan kepala.

"Alejandra hanya bangun jika lapar saja," jawabku seraya membereskan beberapa pakaian Alejandra untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Lalu? Apa ada hubungannya dengan Gita Ayunda?," tanya Leticia seraya mengangkat Alejandra yang terbangun. "Hola, mi amor," sapanya kemudian kepada si bayi sehingga sedikit mengalihkan pandangannya dari arahku. "Lo sabes que me puedes contar todo, Leonor," ujarnya mengatakan bahwa aku bisa bercerita apapun kepadanya.

Aku kemudian duduk di atas ranjang. Di hadapan Leticia, aku memang tidak bisa berbohong atau justru Leticia-lah yang mampu membaca raut wajahku. Pun ketika tahu bahwa aku hamil, Leticia-lah orang yang pertama kali aku beri tahu. 

"Aku tahu kalau kamu dekat dengan si Gita ini karena dulu kamu sering mengajak Gita nginep di rumah atau kamu yang nginep di rumah Gita. Tapi setahun terakhir, sepertinya kamu sudah nggak akrab lagi dengannya. Harusnya jika dia benar-benar temanmu, ketika kamu mengalami masa-masa sulit, dia akan support kamu, Leonor," kata Leticia.

"Dia pindah ke USA, Letty. Setahun yang lalu," balasku dengan nada lirih. "Dan hubunganku dan dia lebih dari sekedar teman dekat. Berbeda dengan yang selama ini kamu lihat," tambahku seraya menunduk. Aku tidak tahu seperti apa ekspresi Leticia saat ini, namun kemudian aku merasakan ia ikut naik dan duduk di atas ranjang sambil menggendong Alejandra. 

"¿Qué pasó? Madre mía, Leonor! Kenapa kamu nggak pernah cerita?," tanyanya dengan raut wajah seakan-akan tidak percaya. Aku pun menceritakan kenanganku  bersama Gita kepada Leticia.

Siang itu sepulang dari kampus, seperti biasa, aku dan Gita berjalan beriringan menuju halte bus. Rumah kami memang tidak berdekatan, namun kami menggunakan transportasi busway dengan jurusan yang sama. Beruntung sekali sejak ada moda transportasi baru ini, kami tidak perlu capek-capek untuk naik angkot atau bus metromini lagi. Langit siang itu sudah sangat mendung dan terdengar suara gemuruh petir yang menandakan sebentar lagi air akan tumpah menuju bumi. 

 Aku mengenal Gita sejak duduk di bangku SMA, yaitu empat tahun yang lalu. Dia adalah benar-benar teman pertamaku yang mengerti dan memahami keadaanku serta keinginanku. Gita adalah perempuan yang sangat mandiri dan berkharisma. Rambutnya panjang hitam sebahu dengan belahan tengah yang sangat presisi. Suaranya serak dan lantang, mungkin karena ia seorang perokok berat. Ia mengaku bahwa ia menjadi perokok sejak duduk di bangku SMP. Namun bagaikan dua sisi mata uang, Gita juga seorang atlet basket dan futsal yang sangat lihai serta cekatan jika sudah membawa bola atau berhadapan dengan lawan. Ia menjadi kapten tim basket dan futsal putri di sekolah kami serta sudah tiga kali membawa timnya menjadi juara umum se-DKI Jakarta. 

Aku berkenalan dengan Gita sewaktu hari kedua ospek. Hari itu aku tidak membawa satu minuman fermentasi yang diminta oleh kakak panitia, yang mana artinya pasti aku akan menerima hukuman yang cukup berat. Aku melihat sekelilingku dengan ketakutan. Tak tahu apakah Gita memang memperhatikanku atau tak sengaja melihat raut wajahku, ia kemudian meminta izin untuk pergi ke toilet dan berjalan ke arahku. Secepat kilat ia melempar minuman fermentasi miliknya di atas rokku dan tanpa ketahuan, ia terus berjalan menuju toilet. Hingga akhirnya ketika waktu pengecekan, aku mendengar seorang kakak panitia dengan keras meneriaki Gita karena tidak membawa minuman fermentasi yang diminta. Gita pun mendapat hukuman untuk lari keliling lapangan basket sebanyak sepuluh kali.

"Maaf ya, gara-gara kamu kasih minuman fermentasimu ke aku, jadinya kamu yang dihukum. I am so sorry. Ini sebagai ungkapan permintaan maaf," kataku seraya menyodorkan sebotol air mineral dingin kepada Gita yang sedang terengah-engah di pinggir lapangan. 

"Nggak papa. Thankyou, ya," balas Gita dengan muka datar. "Eleonora kan?," katanya seraya menyodorkan tangan.

"Eh iya, panggil aja Leonor. Nama kamu siapa?," balasku dengan menjabat tangannya.

"Aku Gita," balasnya.

Sejak hari itu, aku menjadi dekat dengan Gita. Ia mengaku bahwa sejak hari pertama masuk sekolah, ia sudah memperhatikanku yang terlihat berbeda dari cewek-cewek lain. Aku melihat Gita juga berbeda dari cewek-cewek lain di sekolah ini. Selain karena dia sangat tomboi dan independen, sikap dan perilakunya juga sangat gentle, bahkan lebih gentle dari cowok-cowok di sekolah kami. Contohnya seperti ketika Gita dan teman-temannya berjalan masuk kelas, ia akan mempersilakan teman-teman ceweknya untuk masuk ke kelas terlebih dahulu. Atau ketika kami sedang makan di restoran cepat saji, Gita yang akan membawakan makanan atau peralatan kami ke meja. Bahkan ketika aku sedang berjalan beriringan bersama Gita, ia yang akan berada di sisi sebelah kanan untuk memastikan keamananku.

Beberapa bulan berteman dengan Gita, aku mulai memberanikan diri menceritakan masalah-masalahku di rumah kepadanya. Ia juga adalah orang pertama di sekolah yang mengetahui seluk beluk keluargaku. Tidak hanya aku, Gita pun mulai memberanikan diri bercerita tentang keluarganya kepadaku. Ia mengaku bahwa didikan ayahnya sangat keras, sehingga meskipun menjadi anak tunggal, ia terbiasa hidup mandiri. Bahkan uang saku ke sekolah pun adalah hasil jerih payahnya sendiri dari upahnya setiap pagi menjadi loper koran berkeliling beberapa komplek perumahan yang ia lewati ketika berangkat sekolah. 

"Git, kamu pernah punya pacar nggak sih?," tanyaku iseng kepada Gita ketika kami sedang mengerjakan PR bersama-sama di rumahku. Kebetulan siang itu Luisa dan mama belum pulang dan Leticia sedang ada tambahan jam pelajaran untuk persiapan menghadapai Ujian Nasional, jadilah aku dan Gita hanya berdua saja. Gita hanya menggelengkan kepala sambil tetap fokus menjawab pertanyaan yang ada di Lembar Kerja Siswa (LKS). "Kalo suka sama orang pernah nggak?," tanyaku lagi. Tapi dia tampak tidak menghiraukan pertanyaanku. "Gita Ayunda? Hello?," panggilku kepadanya agar ia mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Pernah," ujarnya yang masih asyik menyalin jawaban-jawaban ke buku catatannya.

"Gita! Ih, nggak seru ah aku dicuekin!," kataku dengan pura-pura merajuk.

"Apa sih. Kamu mau tahu siapa orangnya?," ucapnya dengan suara dan tatapan yang tiba-tiba saja berbeda di mataku. 'Kenapa dia tiba-tiba jadi manis begini?', ucapku di dalam hati. Mata kami saling menatap dan sekitar leherku menjadi dingin. Sepersekian detik, kami masih saling menatap dan terdiam. Namun tiba-tiba, Gita mendekatkan wajahnya ke wajahku, menatapku dengan lebih tajam. Lalu tanpa ragu, ia menempelkan bibirnya ke pipiku, dengan lembut, mengecupnya dengan hangat.

"Leonor, aku pulang dulu. Udah sore. See you tomorrow," ujar Gita yang salah tingkah dan cemas dengan terburu-buru memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Aku tidak bisa berkata apa-apa dan membiarkannya pergi begitu saja tanpa mengantarkannya ke pintu gerbang seperti yang selalu aku lakukan jika ia berkunjung ke rumah karena aku sendiri juga masih terkejut dengan perlakuan Gita. 

Semalaman aku terus mencari arti di balik ciuman Gita. Aku mencari-cari di internet explorer kata-kata lesbian, tanda-tanda homoseksual, cinta antara perempuan dan perempuan, cinta sesama jenis, berdosa atau tidakkah percintaan sesama jenis, pernikahan sesama jenis di luar negeri, dan kata-kata kunci sejenisnya.

Apakah orang yang dimaksud Gita adalah aku?

Dua GenerasiWhere stories live. Discover now