Leonor - 2006

544 60 0
                                    

Ceritaku terhenti ketika terdengar suara pintu kamar dibuka. Luisa masuk sambil membawa beberapa berkas rumah sakit yang baru saja ia tanda tangani. Seluruh biaya rumah sakit dan perawatan, bahkan selama aku kontrol ke dokter di masa kehamilan, ditanggung oleh Luisa. Meskipun ia belum lama bekerja, tapi Luisa sudah bisa mencicil rumah dan mobil sendiri. Bahkan biaya kuliahku dan Leticia juga dia yang menanggung. 

"Semua administrasi sudah beres ya," kata Luisa.

"Leonor sedang bercerita tentang Gita," kata Leticia kepada Luisa.

"Gita yang dulu sering main ke rumah? Apa kabar dia Leonor?," tanya Luisa yang lalu mengambil kursi untuk duduk di dekat kami dan ikut mendengarkan ceritaku. Aku pun meringkas cerita sebelumnya agar Luisa bisa ikut mendengarkan cerita-cerita selanjutnya.

Keesokan harinya, Gita menjadi canggung bertemu denganku. Bahkan kondisi itu berlangsung sampai hampir dua minggu lamanya. Meskipun kami terkadang masih pulang bersama naik angkot atau bus metromini, namun Gita lebih sering menutup mulutnya dan berbicara seperlunya saja. Sampai pada akhirnya, aku memberanikan diri menarik Gita keluar dari metromini dan mengajaknya mampir ke warung bakso langganan kami untuk berbicara empat mata. 

"Git, aku ada salah ya sama kamu?," tanyaku kepadanya. Gita hanya menggelengkan kepala. Tak lama kemudian, bakso yang kami pesan pun datang.

"Terus kenapa kamu diem aja?," tanyaku lagi. Gita hanya menggelengkan kepala sambil mengaduk-aduk baksonya tanpa dimakan. 

"Gita...ih! Jangan cuma geleng-geleng kepala. Kamu kenapa?," tanyaku yang sudah mulai kehilangan kesabaran. Gita meletakkan sendok dan garpunya di atas mangkok dan mengalihakan pandangan matanya kepadaku. 

"Aku sayang sama kamu, Leonor," ucapnya dengan lirih. Aku yang sedang mengunyah bakso langsung refleks mengeluarkannya lagi ke dalam mangkok. Kuambil teh botol dan langsung meminumnya karena terkejut mendengar apa yang baru saja Gita katakan. 

"Sayang sebagai sahabat kan maksudnya? Aku juga sayang kok sama kamu," balasku berusaha menerjemahkan arti sayang Gita. Padahal pada saat itu hatiku dag dig dug tak karuan. Gita menggelengkan kepalanya lagi.

"Lebih dari sekedar sahabat, Leonor," jawab Gita.

"Tapi kan kita?," kataku berusaha menyampaikan fakta.

"Sama-sama perempuan?," kata Gita kemudian memotong perkataanku. Aku mengangguk seraya menatap teh botol yang ada di tangan kananku. Untung warung baksonya tidak terlalu ramai siang itu. Apa jadinya jika orang-orang mendengar atau melihat dua orang remaja perempuan berseragam putih abu-abu saling menyatakan perasaannya?

"Sejak kapan kamu punya perasaan itu, Git?," tanyaku kepadanya.

"Sejak hari pertama kita masuk sekolah," jawab Gita. "Sejak itu, aku nggak bisa berhenti mikirin kamu dan berusaha cari-cari cara biar deket sama kamu. Kamu inget kan pas hari kedua ospek kamu nggak bawa minuman fermentasi dan aku kasih minumanku ke kamu? Itu sebenernya akal-akalan aja biar aku bisa kenalan sama kamu," kata Gita yang membuat wajahku merah dan bibirku tersenyum lebar.

"Kamu motivasi aku buat jadi kapten tim basket dan tim futsal, Leonor. Kamu motivasi aku buat bisa membawa tim sekolah kita jadi juara umum tahun ini, supaya aku bisa lihat kamu dipinggir lapangan sambil teriak-teriak. Kamu motivasi aku buat nggak males kerja setiap pagi nganter koran, supaya seenggaknya aku bisa traktir kamu bakso ini," ungkap Gita. Kata-katanya yang terakhir justru membuatku tertawa terbahak-bahak. Mungkin bagiku, tidaklah sulit meminta uang mama atau Luisa untuk membeli bakso ini. Tapi bagi Gita, butuh perjuangan agar bisa mentraktirku bakso langganan kami di daerah Blok M ini. 

"Kenapa kamu bisa suka sama aku?," tanyaku kepada Gita, yang kali ini membuat wajahnya merah. "Awas kalau jawabannya cuma karena aku cantik," tambahku mengancamnya. 

"Karena kamu terlihat polos di hari pertama masuk sekolah dengan muka bulemu itu. Apalagi pas tau kamu pulang pergi naik angkot atau bus metromini, aku makin kagum sama kamu, Leonor. Ternyata di balik kepolosanmu, kamu cewek yang mandiri meskipun keluargamu serba berkecukupan," jawab Gita, yang justru membuatku semakin ke-GR-an. Sewaktu SMP, aku memang pernah pacaran dengan cowok sebanyak dua kali. Tapi, aku tidak pernah mendapatkan pujian seperti ini dari mantan-mantanku. Atau lebih tepatnya aku tidak pernah se-berbunga-bunga ini dipuji oleh mereka. Aku lalu mengingat semua kebersamaanku dengan Gita dari awal kami berkenalan. Meskipun Gita terkenal pendiam dan cool, tapi dia selalu menjadi teman ngobrol yang asyik dan pendengar yang baik. Terlebih-lebih ketika aku sedang mengeluh atau capek karena selalu dipaksa mengikuti keinginan mama, dia lalu akan membentangkan tangannya untuk memberiku pelukan atau sesederhana mentraktirku semangkuk bakso. Dia yang selalu memastikanku sampai di depan rumah dengan selamat ketika kami pulang kerja kelompok di rumah salah satu teman. Dia yang hampir setiap malam ke telepon umum atau wartel untuk meneleponku karena ia tidak memiliki handphone hanya untuk menanyakan jawaban PR. Dia yang rela mendapat skors karena memukul kakak-kakak kelas cowok yang menggangguku. Kuakui bahwa aku merasa aman dan nyaman jika bersama Gita. 

"Hmm, gitu ya," balasku singkat setelah terdiam untuk beberapa saat.

"Aku belum pernah punya perasaan kaya gini ke siapa pun, Leonor. Baik itu cewek maupun cowok," tambahnya lagi.

"Gimana mau punya perasaan ke cowok kalo cowok-cowoknya aja kamu pukulin?," candaku kepada Gita. Ia lalu mengacak-acak rambutku.

"Terus menurutmu, aku gimana, Leonor?," tanya Gita kemudian yang penasaran apakah perasaannya kepadaku berbalas.

"Baik, rajin, terampil, gembira, rela menolong, tabah, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya," jawabku singkat yang masih menggoda Gita. 

"Ye, itu mah isi Dasa Darma Pramuka," protes Gita yang kembali mengambil sendok dan mulai memasukkan potongan-potongan bakso ke dalam mulutnya.

"Ya memang kamu punya seluruh sikap dan sifat yang ada di dalam Dasa Darma Pramuka," kataku yang tak berhenti menggoda Gita.

"Bodo amat," balas Gita ketus. Aku lalu bergantian mengacak-acak rambutnya. 

"Jangan ngambek ah. Nggak pantes banget seorang Gita ngambek. Eh btw, kita ke taman sebelah yuk, sebelum tambah mendung. Beli es lilin di sana," ajakku kepada Gita seraya langsung meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan menarik tangan Gita. Alhasil, Gita pun belum sempat minum karena terburu-buru untuk mengikutiku. 

Ketika keluar dari warung bakso, hujan turun rintik-rintik hampir deras. Aku bersama Gita lalu berlari-lari untuk mencari tempat berteduh. Semua orang juga berlalu lalang mencari tempat berteduh. Aku dan Gita  akhirnya menemukan gazebo kosong sebagai tempat berteduh yang terletak di tak jauh dari taman.

"Duh, basah kuyup deh," protes Gita.

"Git," panggilku kepada Gita.

"Heh?," balasnya yang masih sibuk mencari kardigannya di dalam tas. Aku lalu menarik dagu Gita dan tanpa pikir panjang, aku langsung mengecup bibirnya yang basah oleh air hujan. Terkejut dengan aksiku, Gita langsung memeriksa sekitar kami karena takut ada orang yang melihat apa yang baru saja aku lakukan kepadanya.

"Aku juga sayang sama kamu, Git," kataku kepadanya. Aku lalu meraih tangan Gita dan menautkannya dengan tanganku. "Seumur hidup, aku belum pernah jatuh cinta dengan sahabatku sendiri. Tapi ternyata, nggak buruk-buruk amat sih jatuh cinta sama sahabat sendiri," tambahku yang lalu membuat Gita tertawa seraya mengacak-acak rambutku.

Aku menyandarkan kepalaku di atas bahu Gita dan Gita menempelkan kepalanya ke kepalaku. Kami pun menikmati suasana sore itu sambil menunggu hujan reda. 

Dua GenerasiWhere stories live. Discover now