Leonor - 2006

516 50 1
                                    

"Madre mía, Leonor, harusnya kamu cerita saja ke kami dari dulu tentang hubunganmu dan Gita. Jadi, kami bisa melindungimu dari paksaan mama untuk menikah dengan Rudi," kata Luisa yang tampak marah. Aku lalu menggenggam tangan Luisa.

"Ya sudah lah, toh yang penting sekarang mama sudah sadar dan menerima Alejandra sebagai cucunya, Luisa," ujarku menenangkannya. "Memangnya kalo aku dengan Gita, kalian setuju?," tanyaku kemudian.

"Leonor, el amor es el amor," ujar Leticia yang mengatakan love is love.

"Lalu, kalo kamu benar-benar mencintai Gita, kenapa kamu berbuat bodoh dengan Rudi?," tanya Luisa.

"Itu murni karena kebodohanku dan kemarahanku kepada Gita yang pergi meninggalkanku," jawabku.

Aku tidak pernah tahu bagaimana cara menjalin hubungan cinta sesama jenis. Aku tidak pernah melihat di sekelilingku. Aku pun tidak punya saudara atau kerabat di Spanyol yang seperti diriku, meskipun papa bercerita bahwa di tahun ini, sedang marak terjadi demo besar-besaran kaum homoseksual demi mendapatkan kesetaraan hak-hak mereka dalam pernikahan selayaknya pasangan heteroseksual. Pada akhirnya, di tahun 2005, negara Spanyol pun melegalkan pernikahan sesama jenis yang diatur dalam undang-undang, di mana hak mereka untuk berpasangan dan berketurunan setara dengan pernikahan heteroseksual.

Aku menjalankan hari-hariku bersama Gita dengan menyenangkan, meski kami harus selalu sembunyi-sembunyi jika ingin bermesraan. Oleh karena itu, kami selalu bergiliran untuk menginap di rumah masing-masing. Terkadang Gita menginap di rumahku, atau aku yang menginap di rumah Gita, namun lebih sering Gita yang menginap di rumahku karena menurutnya, meskipun mamaku adalah orang yang tegas, tapi suasana di rumahku lebih kondusif daripada di rumahnya. Apalagi, kini Luisa sudah bekerja dan Leticia sudah menjadi mahasiswa. Jadi, memang terkadang rumah juga sepi.

Gita memperlakukanku bagaikan seorang putri. Dia benar-benar the real prince charming yang menjelma di dalam tubuh seorang perempuan. Seumur-umur, aku bahkan belum pernah bertemu laki-laki yang seperti dia. Atau mungkin memang standar pasanganku hanya bisa terpenuhi oleh Gita? Bahkan selama menjalin hubungan, Gita tak pernah sekalipun marah atau menggunakan nada tinggi. Jika kami sedang berantem, dia lebih memilih mengajakku untuk mengobrol sambil makan bakso di warung bakso langganan kami. 

Kini, aku dan Gita sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional. Kami pun berjanji untuk masuk ke universitas yang sama, meskipun dengan jurusan yang berbeda. Aku ingin berkuliah di jurusan komunikasi karena ingin menjadi seorang penyiar berita, sedangkan Gita ingin berkuliah di jurusan bisnis dan manajemen karena suatu hari ingin membuka usaha sendiri. Akhirnya, keinginan kami pun terwujud. Kami berkuliah di universitas yang sama.

Di awal kuliah, kami berdua jarang bertemu karena sibuk dengan tugas masing-masing sebagai mahasiswa baru. Gita pun masih aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM basket dan futsal di kampus, sedangkan aku lebih memilih jurnalisme dan bergabung dengan media internal jurusan karena pada dasarnya aku ingin menjadi penyiar berita, sehingga penting untuk memahami dasar-dasar penulisan dan penyuntingan berita. Meskipun jarang bertemu, aku dan Gita menyempatkan diri untuk jalan berdua atau menginap di rumahku ketika akhir pekan. Sampai pada suatu malam, Gita datang ke rumahku dengan badan yang lebam serta air mata yang berlinang. Mama, Luisa, dan Leticia pun terkejut dengan kedatangan Gita yang tiba-tiba serta dalam kondisi yang menyedihkan. 

"Ayah dan ibuku berantem hebat di rumah, Le. Aku sama ibu dipukulin sama ayah. Tapi sekarang ibu sudah diamankan ke rumah tetangga," kata Gita dengan tangis yang tersedu-sedu. Aku pun refleks langsung memeluk Gita dengan erat, sementara Leticia mengambilkan kotak P3K untuk mengobati lukanya. Selama aku menjalin hubungan dengan Gita, tak pernah sekalipun aku melihat Gita menangis. Namun melihat kondisinya sekarang, hatiku juga ikut hancur.

"Ada masalah apa di rumah, Gita? Sudah, kamu nginep sini saja malam ini dengan Leonor," kata mama. 

"Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga, Git. Papa kamu harus dilaporkan ke polisi," kata Luisa yang tak terima melihat Gita menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

"Sudah dilaporkan sama tetanggaku, Kak Luisa. Sekarang ayah sudah diamankan di kantor polisi," jawab Gita yang tangisnya sudah sedikit reda dan luka lebamnya sudah diobati oleh Leticia. 

"Sudah, kamu istirahat saja di kamar Leonor, Gita. Nanti Tante yang akan hubungi ibu kamu," ungkap mama.

"Terima kasih, Tante. Ini nomor tetangga Gita," balas Gita seraya memberikan secarik kertas berisi nomor telepon tetangganya. Aku pun merangkul Gita menuju kamarku. 

"Ibu meminta cerai dari ayah, Le. Dia sudah nggak bisa hidup dengan orang seperti ayah. Lalu ayah yang baru pulang kerja marah besar dan langsung memukuliku dan ibu," ujar Gita kepadaku. Ia menangis lagi. Aku pun memeluknya untuk menenangkannya. 

"Nggak papa, kalau memang yang terbaik mereka harus berpisah, maka kamu harus setuju dengan keputusan itu dan menjadi anak yang kuat," kataku kepadanya. 

"Dari dulu, aku sudah bilang ke ibu kayak gitu, Le. Tapi, ibu masih berharap ayah bisa berubah. Namun nyatanya, ayah tetap seperti itu, selalu kasar dan seenaknya sendiri. Aku pun terkadang dianggap tidak ada oleh ayah," balasnya. Aku menyeka air matanya. 

"Sebentar, aku ambilkan kamu baju ganti dulu ya," kataku yang berlalu sebentar untuk mengambil baju tidur di lemari. Gita pun mengganti bajunya dan izin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia lalu naik ke atas ranjang dan memelukku dengan erat. 

"Aku nggak tahu Le, akan jadi seperti apa hidupku esok pagi," kata Gita dengan terbata-bata.

"Ssst, kamu akan baik-baik aja, sayang," balasku kepada Gita.

"Aku nggak mau berpisah dari kamu, Leonor," ucap Gita.

"Sekarang, gantian aku yang akan jagain kamu, sayang, karena selama ini kamu selalu jagain aku. Kita hadapin semuanya bareng-bareng ya," kataku. Gita lalu melepaskan pelukannya dan memandangku, ia lalu meraih tanganku dan mengecupnya. 

"Apapun yang terjadi nanti, aku akan terus sayang sama kamu, Leonor," kata Gita. Aku tersenyum dan lalu mengecup bibirnya dengan lembut. 

Itulah terakhir kali aku mengecup bibir Gita dan bercinta dengannya. Hingga akhirnya, beberapa hari kemudian, Gita berpamitan kepadaku secara mendadak untuk pergi ke Amerika Serikat.

Siang itu sepulang dari kampus, seperti biasa, aku dan Gita berjalan beriringan menuju halte bus. Rumah kami memang tidak berdekatan, namun kami menggunakan transportasi busway dengan jurusan yang sama. Beruntung sekali sejak ada moda transportasi baru ini, kami tidak perlu capek-capek untuk naik angkot atau bus metromini lagi. Langit siang itu sudah sangat mendung dan terdengar suara gemuruh petir yang menandakan sebentar lagi air akan tumpah menuju bumi. 

Ketika akan naik ke busway, tiba-tiba Gita menarikku dan mengajakku ke gazebo yang berada di taman dekat warung bakso langganan kami. Hujan turun dengan derasnya begitu kami sampai di sana. 

"Besok aku dan ibu pergi ke Amerika, Le. Omku, kakaknya ibu, meminta kami untuk pindah ke sana. Di sana, ibu sudah disiapkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan untuk menghidupi kami berdua," kata Gita yang sangat mengejutkanku. Kenapa secepat ini? Kenapa begitu tiba-tiba?

"Le, Leonor," panggilan Gita membuyarkan lamunanku. "Maafin, aku, Leonor," ungkap Gita yang sudah menangis. Ia lalu memelukku erat. Aku menangis sejadi-jadinya dan meronta. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku marah dan kecewa kepada Gita. Aku lalu melepaskan pelukannya dan pergi begitu saja meninggalkan Gita yang diam saja sambil menatapku dalam tangisnya. Aku pergi meninggalkan Gita tanpa ucapan selamat tinggal dan tanpa ciuman hangat sebagai tanda perpisahan. Aku tidak terima berpisah dengan Gita. 

Hingga setelah kepergian Gita, aku pun berkenalan dengan Rudi di pesta jurusan yang diselenggarakan oleh adik-adik mahasiswa baru untuk menjamu kami sebagai kakak tingkat. Perkenalan singkat itu berujung petaka, yang menjadikanku hamil di luar nikah dan terpaksa menikah dengan Rudi yang ternyata brengsek serta tidak bertanggung jawab. 

Dua GenerasiWhere stories live. Discover now