Leonor - 2023

500 67 2
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku pun bergegas untuk merapikan mejaku dan bersiap-siap pulang. 5 menit lagi Gita akan sampai. Hari ini ia bersikeras untuk mengantarku pulang karena sudah beberapa hari kami tidak bertemu. Gita sedang sibuk mengurusi opening restoran barunya, sedangkan aku ya seperti biasa, kalau kata Alejandra, si paling sibuk. Tapi memang begitulah adanya, selama enam kali dalam seminggu aku bekerja. Belum jika harus pergi ke luar kota. Sebenarnya, sudah lama Luisa menawariku posisi di perusahaannya agar aku bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan Alejandra. Tapi, aku sangat mencintai pekerjaanku. Aku belum bisa melepaskan dunia jurnalistik yang memang selalu menarik minatku sedari remaja. Namun sisi buruk dari aku yang terlalu mencintai pekerjaanku adalah aku jadi jarang menghabiskan waktu bersama Alejandra yang semakin hari semakin tidak bisa dikontrol. 

"Are you okay, sayang?," tanya Gita yang membuatku lamunanku buyar sewaktu kami sudah berada di dalam mobil.

"Hari ini Alejandra bikin ulah lagi di sekolahnya, Git. Sampai dapat surat peringatan 1," jawabku yang sudah tidak memiliki tenaga karena seharian ini terlalu banyak masalah.

"Kok bisa? Dia ngapain emang, Leonor?," tanyanya lagi.

"Berantem sama cowok-cowok SMA lain yang gangguin sahabat-sahabatnya," jawabku.

"Sering dia berantem begitu, sayang?," tanya Gita lagi.

"Udah beberapa kali selama dia di SMA. Dia paling nggak terima kalo sahabat-sahabatnya digangguin," jawabku. Gita hanya tersenyum sambil terus fokus menyetir. "Kenapa senyum-senyum? Inget hal yang sama ya kamu?," sindirku kepadanya karena memang Gita juga beberapa kali berantem dengan kakak kelas yang menggangguku atau teman-teman kami yang lain. 

"Waktu Alejandra kecil, kamu nggak mencuci otak dia dengan cerita-cerita tentang aku kan, Leonor? Soalnya hampir semua yang Alejandra suka dan lakukan, benar-benar persis denganku," kata Gita. Aku lalu meninju lengannya yang cukup kekar untuk ukuran seorang wanita.

"Kita tes DNA aja sekalian apa? Curiga banget aku kalo dia bener-bener anak kamu," sindirku sekaligus meledek Gita. Gita lalu menggenggam telapak tanganku dengan telapak tangan kirinya yang sedang tidak bertugas. Ia kemudian mengecupnya. 

"But really deep in my heart, aku berharap memang Alejandra adalah anakku, Leonor. Meskipun dia tidak memiliki darahku, tapi sejak pertama kali aku tahu kamu hamil, aku selalu membayangkan bahwa aku yang selalu ada di sana buat kamu, yang bisa jadi tempat untuk bersandar, berbagi cerita, dan berbagi rasa," kata Gita, begitu manis, sehingga membuatku terharu. Mungkin jika dulu hal itu adalah kenyataan, aku sudah menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini. 

Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di rumah Leticia untuk menjemput Alejandra terlebih dahulu. Ia sudah tertidur pulas di kamar Carlos dan Jose. Aku tahu Alejandra sudah beranjak remaja dan semakin sulit untuk mengaturnya, tapi ketika tidur, aku masih bisa betah berjam-jam menatapnya. Senakal-nakalnya dan sebandel-bandelnya Alejandra, dia tetap gadis kecilku yang manis. Sebenarnya jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin ia cepat-cepat menjadi dewasa. 

"Ale, mami ha llegado, mi amor. Abre los ojos," ucap Leticia yang mengatakan bahwa aku sudah datang dan meminta Alejandra untuk membuka matanya. Suara Leticia begitu lembut dan keibuan. Aku selalu iri dengan sikap yang dimiliki Leticia, hingga bahkan Alejandra pun menganggap Leticia seperti ibunya sendiri. 

Alejandra membuka matanya perlahan dan mengucek-ucek matanya. Ia lalu memberi kecupan di pipi Leticia sebelum mengikutiku masuk ke dalam mobil. Sikap kami berdua masih dingin karena jujur aku pun bingung bagaimana menghadapi si anak ini.

"No estes tan dura con tu hija, Leonor," pesan Leticia kepadaku sebelum aku masuk ke dalam mobil yang mengatakan sebaiknya aku tidak terlalu keras terhadap putriku sendiri. Aku hanya mengangguk dan kembali masuk ke mobil. Alejandra tampak tidak terlalu peduli dengan kehadiran Gita saat ini dan langsung merebahkan tubuhnya di kursi belakang. 

Sesampainya di rumah, Alejandra langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan selamat malam kepadaku. Ia hanya terdiam dan berjalan gontai dengan muka sangat mengantuknya. Aku lalu mendengar ia mengunci pintu kamarnya.

"Aku pulang ya, sayang," ujar Gita yang sedari tadi menjadi saksi kebisuan dan ketegangan yang terjadi di antara ibu dan anak ini. 

"No, can you stay tonight?," pintaku kepada Gita.

"Kamu yakin?," tanya Gita yang sedikit meragukan permintaanku. 

"Aku butuh teman, Git. Aku bingung mau membicarakan masalah Alejandra dengan siapa," kataku yang sudah hampir menangis.

"Hey, hey, I'm all ears for you," ucap Gita yang lalu memelukku untuk sedikit menenangkanku. "Ya sudah, kamu mandi dulu sana. Aku akan nyiapin susu hangat dan sandwich untuk kita," tambahnya. Aku hanya mengangguk dan lalu berjalan ke dalam kamarku. 

Tidak sampai lima belas menit, aku sudah kembali ke hadapan Gita yang tengah sibuk menumpuk sayuran di atas roti. Ia tampak sepenuh hati menyiapkan makanan untuk kami. Aku selalu suka melihat gaya Gita ketika sedang memasak seperti ini, yaitu dengan melipat lengan kemejanya hingga ke sikunya dan mengikat rambutnya dengan gaya ekor kuda. 

"Kenapa senyum-senyum?," tanya Gita ketika tahu aku menatapnya cukup lama sebelum duduk di meja makan. 

"Kamu cool banget kalo lagi masak begini, Git," pujiku kepadanya. Ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian, ia menyajikan sepiring sandwich di hadapanku dan sepiring lagi untuknya. Tak lupa ia juga membawakan segelas susu hangat untukku dan untuknya. 

"Jadi, apa yang bisa aku bantu biar bisa meringankan beban kamu?," tanya Gita. Aku masih fokus mengunyah sandwich yang baru saja masuk ke mulutku. 

"Entahlah, Git. Aku nggak mau ngerepotin kamu terus," jawabku yang memang tidak tahu kali ini harus bersikap seperti apa kepada Alejandra. 

"Kok mikirnya gitu?," tanya Gita dengan nada yang sedikit kecewa. 

"Aku sangat berterima kasih karena bahkan setelah 18 tahun berlalu, kamu masih mau menerimaku apa adanya dan sayang dengan tulus sama aku, Git. Aku nggak mau aja terlalu bergantung banget sama kamu dan...," kataku.

"Dan aku pergi lagi ninggalin kamu gitu?," potongnya. Aku meletakkan sandwich-ku ke atas piring kembali dan menutup mukaku dengan telapak tanganku. Air mataku tak terbendung untuk jatuh. Gita lalu dengan cekatan mendekatiku dan memelukku erat seraya mengecup kepalaku.

"I'm so sorry, Leonor. I didn't mean it," ujarnya meminta maaf. Aku semakin erat memeluk Gita dan menyandarkan kepalaku di dadanya. 

"Maafin aku, Git. Kalo menyangkut anak, aku memang bisa secengeng ini. Gimana nggak cengeng, cuma sendiri aku besarin Alejandra selama 17 tahun. Itu pun, aku masih tidak bisa mengenali anakku sendiri dan apa yang dia mau. Sekarang kamu datang, mengulurkan tanganmu dan menyediakan bahumu buat aku. Aku cuma takut kalo kita nggak bisa selamanya kaya gini, Git. Aku cuma nggak mau ngulangin apa yang terjadi seperti 18 tahun yang lalu," ujarku menumpahkan keraguan dan ketakutanku. 

"Leonor, dengerin aku," kata Gita seraya mengusap-usap pipiku yang mengundangku untuk menatapnya. "Aku mengerti keraguan dan ketakutanmu. Satu hal yang perlu kamu tahu, sayang. Andaikan di negara ini pernikahan sesama jenis diakui secara sah oleh hukum, malam ini juga aku bakal nikahin kamu, Leonor. I swear to God! Andaikan proses mengadopsi Alejandra sebagai anakku juga bisa secepat kilat, saat ini juga aku mau melakukannya agar kita bisa jadi keluarga yang utuh. Sayangnya, di sini aku nggak bisa ngelakuin itu untuk membuktikan ke kamu bahwa I will always be there for you, in good and in bad, in rich and in poor, in sick and in health, till death do us apart," ujar Gita yang kata-kata terakhirnya justru membuatku tertawa, di mana Gita mengucapkannya seperti sedang berada di dalam gereja dituntun oleh pendeta untuk mengucapkan janji pernikahan. "Kok malah ketawa?," tanyanya.

"Abis kamu kaya lagi ngucapin janji pernikahan di depan pendeta barusan ngomong begitu," kataku yang juga membuat Gita tertular tertawa. 

"Sayang, aku janji, apapun yang terjadi, aku nggak bakal ninggalin kamu. Kamu juga harus janji tapi," ucapnya.

"Janji apa?," tanyaku yang bingung.

"Keep that smile and laugh for me, okay?," pintanya. 

Terbawa oleh perasaan yang campur aduk, aku pun lalu melingkarkan tanganku di leher Gita dan mengecup bibirnya. Kali ini, aku cukup berani untuk mengambil langkah terlebih dahulu. Hingga aku tersadar seseorang tengah mengawasi kami dan aku pun melepaskan bibirku dari bibir Gita.


Dua GenerasiWhere stories live. Discover now